Pada tahun 2014 Rusia telah menganeksasi keseluruhan wilayah di Semenanjung Krimea, Ukraina. Dan pada Desember 2021 lalu, tak kurang dari 100.000 pasukan militer Rusia ditempatkan di beberapa titik perbatasan Ukraina. Tak pelak, aksi ini membuat panggung percaturan politik dunia turut memanas. Beberapa pakar menyatakan bahwa ini bisa jadi pemicu Perang Dunia III.
Lantas apa yang melatarbelakangi Rusia menempatkan ratusan ribu pasukannya di perbatasan Ukraina?
Semua ini bermula dari satu tokoh, Vladimir Putin, Presiden Rusia. Dilansir dari BBC News, ada tiga ultimatum yang diberikan pemimpin Negeri Beruang Merah tersebut kepada NATO.
Pertama, adanya jaminan bahwa NATO tidak akan menerima keanggotan baru lagi dari negara mana pun, terutama Ukraina. Kedua, NATO dan Amerika diminta untuk berhenti melakukan ekspansi di perbatasan Rusia. Ketiga, NATO dan Amerika berhenti melakukan intervensi dalam bentuk apapun di Eropa Timur.
Jika semua itu tidak dilaksanakan, maka Vladimir Putin mengancam akan melakukan invasi besar-besaran ke Ukraina dan menganeksasi wilayah Ukraina menjadi bagian Rusia.
Mengetahui permintaan Putin, baik NATO dan Amerika menolak dengan tegas. Mereka berdalih tidak ada wewenang dan hak dari mana pun termasuk Rusia, untuk mengatur hubungan NATO dan Amerika dengan pihak lain. Karena negara-negara yang dimaksud telah berdaulat.
Jika kita mengulas balik fakta sejarah yang ada, alasan mengapa Rusia begitu protektif terhadap Ukraina maka semua itu bermula dari pecahnya Uni Soviet.
Rusia dan Ukraina adalah dua dari 15 negara pecahan Uni Soviet. Dan lepasnya Ukraina ini banyak pihak yang menyayangkan, terutama Rusia. Karena mereka menganggap nenek moyang mereka berasal dari kerajaan Keivan Rus yang tak lain adalah Ukraina sekarang.
Putin menganggap harusnya Rusia dan Ukraina berada dalam satu atap negara yang sama. Karena alasan kesamaan suku bangsa dan budayanya.
Kemudian pada tahun 2013, NATO terus melebarkan sayap invasinya hingga Eropa Timur dekat dengan Rusia. Dan saat itu Presiden Ukraina, Viktor Yanukovych, yang haluan politiknya lebih pro-Rusia, membatalkan kerja sama dengan Uni Eropa.
Rakyat Ukraina yang kontra terhadap putusan pemimpinnya mengadakan demo. Terjadilah revolusi besar di Ukraina yang akhirnya Viktor dilengserkan dari jabatan presiden, pada 2014.
Dilansir dari Kompas, pelengseran itu berbuntut pada terbaginya pemerintahan menjadi dua kubu, yakni pro-Rusia (wilayah Krimea) dan pro-Uni Eropa (Ukraina daratan). Krimea pun meminta Rusia untuk membantu menyelesaikan konflik yang terjadi namun, pada akhirnya Rusia mencaplok seluruh wilayah Semenanjung Krimea.
Selang beberapa tahun, tepatnya pada 2019, Ukraina yang dipimpin Presiden Volodymyr Zelensky, seorang mantan pelawak itu, lebih mendekat ke Barat dan telah merundingkan untuk bergabung dengan NATO.
Inilah pemicu utama perang antara Ukraina-Rusia yang terjadi hingga sekarang. Karena Rusia menganggap, dengan begabungnya Ukraina ke NATO itu akan mengancam eksistensinya.
Kondisi keduanya kian memanas. Hingga pada 21 Februari lalu, dalam pidato yang Putin sampaikan, Rusia telah mengakui kemerdekaan Donetsk dan Lushansk, dua wilayah sparatis Ukraina.
Putin menyebut, bahwa negara-negara Barat telah mengancam keamanan Rusia karena memindahkan tentara NATO ke Eropa Timur.
Dan secara resmi pada Kamis, 24 Ferbuari 2022, Putin menyampaikan bahwa negaranya telah menginvasi Ukraina. Perang kini sedang berkecamuk, ratusan ribu warga Ukraina mengungsi dan sejauh ini belum ada pemberitaan pasti terkait jumlah korban jiwa (Diki)