Mengutip berita (Liputan6, 2021) pada 10 Maret, terdapat kasus pelecehan seksual di ruang publik. Kabarnya, kasus ini menjadi riset penelitian yang disoroti oleh L’Oreal Paris yang kemudian dikerucutkan menjadi isu riset internal, bekerja sama dengan Ipsos International and Indonesia, serta dalam kemitraan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di bulan Januari yang diikuti oleh 1,498 responden. Survei mengatakan 59 persen responden, menganggap pelecehan seksual di ruang publik menjadi isu nomor satu di Indonesia. Sebanyak 82 persen diantara mereka pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Kemudian, di kabar (Kompas, 2021) berita tentang pelecehan seksual di ruang publik tetap terjadi selama pandemi.
Menurut data Komnas Perempuan, hingga 03 Juli 2021 terdapat 1.902 kasus. Pembatasan sosial yang diterapkan oleh pemerintah selama pandemi, hampir menduduki usia tiga tahun di Indonesia membuat aktivitas masyarakat berpindah tempat. Sehingga, media sosial tempat yang berpotensi terjadi pelecehan seksual. Akan tetapi, tidak hanya media sosial yang menjadi sorotan utama, melainkan tempat umum menjadi potensi insiden pelecehan seksual, seperti di jalan umum, transportasi publik, lalu sekolah dan kampus menjadi sasaran predator seksual.
Pelecehan seksual merupakan hal yang dipahami sebagai seluruh sikap dan perilaku yang terindikasi mengarah terjadinya pada tindakan yang tidak disenangi, mulai dari mata dalam memandang, simbol-simbol dari anggota badan tertentu, siulan tidak pantas, mencolek, menunjukkan gambar yang tidak pantas, mencium, meraba, hingga tindakan pemerkosaan (Sumarni dan Setyowati, 1993: 3).
Artis terkenal di Indonesia yaitu Cinta Laura menjadi korban pelecehan ruang publik selepas turun dari mobil pribadinya, akan tetapi beliau masih mampu menyikapi persoalan ini dengan mendatangi orangnya.
“Aku keluar dari mobil dengan mengenakan celana panjang dan pakaian tertutup, memakai masker juga. Tiba-tiba ada yang bilang ‘uuu seksi sekali’,” ujar Cinta Laura.
Cinta kemudian menemui pelaku sambil mengeluarkan smartphone dan menyalakan rekaman video, kemudian mengatakan “Mas mau bilang seperti itu lagi? Atau saya laporkan langsung” akhirnya pelaku langsung terlihat takut. Tindakan yang dilakukan oleh artis terkenal ini menimbulkan efek jera pada pelaku, supaya mereka tidak mengulangi tindakan yang merugikan pihak-pihak korban pelecehan di ruang publik.
Ruang publik diartikan sebagai bentuk representatif dari adanya pertemuan, secara signifikan dapat dijadikan sebagai katalisator bagi adanya kegiatan-kegiatan sosial, rekreasi, dan budaya. Melalui interaksi sosial terjadi pembelajaran antar sesama individu ke individu, serta individu ke kelompok yang berlangsung secara terus-menerus hingga terjadi kesepahaman bahwa kemajemukan menjadi unsur keterimaan bersama-sama (Sunaryo, 2010).
Berdasarkan hasil responden yang menjawab, ruang publik tergolong menjadi sasaran masif predator seksual. Biasanya, kejadian ini terjadi dari pandangan pelaku yang melihat daya tarik seksualitas korban, diukur pada faktor berpakaian dan keterlihatan paras, serta kemolekan tubuh korban. Di Indonesia maraknya kasus pelecehan seksual sudah tersebar di berbagai media dan banyak terjadi pada skala ruang publik. Benar! Fakta membuktikan sebagian besar masih menyasat perempuan menjadi korbannya. Sementara, mitos berkata bahwa pelecehan seksual hanya terjadi pada perempuan yang sedang sendiri, bermalam hari, dan bertempat di kesepian.
Kita perlu memiliki sikap bodo amat, agar tidak mudah percaya dengan suguhan situs online, karena banyak orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk menggunakan data pribadi korban. Pelecehan seksual tidak hanya menyoal sentuhan lagi, pelecehan di jalanan, melakukan paksaan kencan, dan melontarkan pertanyaan yang sifatnya terlalu pribadi, atau sederet lainnya. Pelecehan di dunia maya pun dapat terjadi melalui komentar-komentar yang tidak sepatutnya dilakukan. Teman-teman! Pelecehan seksual di ruang publik ini bukan semata-mata jumlah angka korban, tetapi batasan dengan sepak terjang bagi para perempuan. Perempuan akan mengalami keterbatasan ruang gerak, diciutkan nyalinya, tidak diterima dalam berekspresi dan diberatkan langkahnya. Sehingga, dibuat bertanya-tanya “Apakah diri kita berharga?”. Ini semua terjadi di ruang publik, tempat yang seharusnya terlindungi karena tertoreh kata ‘publik’ yang terkadang fenomena ini menjelma di sekitar kita. Akan tetapi, kita hanya bisa memasang mata yang terpaku dan menjadi batu. Apakah kita terkejut, takut, bimbang dan ragu-ragu untuk menyikapinya?
Predator Seksual mengakibatkan dampak secara psikis, ketika berusia remaja dalam perspektif kesejahteraan sosial diperuntukkan pada korban mulai mengalami stimulus penyintas gangguan kecemasan. Korban merasakan kecemasan adanya peristiwa dan terekam pada alam bawah sadarnya. Tingkat sadar merupakan kegiatan mental yang disadar dalam waktu tertentu. Sadar dapat dibagi pada bagian terkecil dalam kehidupan korban terutama dalam kehidupan korban, terutama pada kehidupan mental seperti pikiran, persepsi, perasaan, dan ingatan. Sebab, kesadaran adalah bagian terkecil dalam kehidupan mental, maka berarti tingkatan ini hanya memiliki peran yang paling kecil pula dalam teori Freundian, dalam bukunya: Bimbingan dan Konseling (Mufrihah, 2018).
Insiden tak diinginkan terjadi dikala pandemi Covid-19 menjelma. Masa yang sulit bagi kehidupan masyarakat sekitar, dimana seharusnya kita perlu tetap fokus pada kondisi kesehatan, namun dikejutkan dengan fenomena ini yang seakan-akan menarik perhatian khusus untuk mempelajari arti pentingnya memahami kemanusiaan. Insiden ini, jika melihat perkembangan masa produktivitas nanti dapat menghambat langkah berproses selanjutnya. Lagi-lagi dibingungkan dengan permasalahan moralitas yang memunculkan pertanyaan ‘Tindakan apa yang harus kita lakukan ketika melihat fenomena ini?’.
Hal ini memerlukan upaya penanganan komprehensif. Merealisasikan penanganan, sudah seharusnya peranan dilakukan oleh lembaga penyedia layanan, para pakar dan ahli, serta keterlibatan mahasiswa menjadi kaum perubahan yang lebih baik. Kaum perubahan dapat memberikan layanan terbaik, sebagai bentuk kepedulian yang sangat diharapkan oleh korban. Adanya masyarakat sebagai struktur lapisan sosial, menjadi kelompok terpenting dalam upaya perlindungan, maka diperlukan suatu kerja sama yang baik untuk mewujudkan kesejahteraan pada korban.
Sehingga melihat insiden ini, muncul pendekatan 5D sebagai tahapan melindungi seseorang dari adanya pelecehan seksual, yaitu: (1) Ditegur; (2) Dialihkan; (3) Dilaporkan; (4) Ditenangkan; dan (5) Direkam. Metode 5D ini, pada kampanye Pelatihan Stand Up Again Street Harassment dari L’Oreal Paris dalam kemitraan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mencetuskan program yang dirancang untuk membantu mencegah pelecehan di tempat umum dan mendirikan ruang yang aman dan inklusif bagi semua orang. Lembaga pembuat produk kecantikan di Indonesia, menyoroti dengan adanya isu sosial serta melihat masih banyak tindakan pelecehan seksual di ruang publik saat pandemi. Penggunaan pendekatan 5D ini menjadi upaya pemberantasan pelecehan seksual dengan melalui program pelatihan sebagai bentuk usaha edukasi yang ditawarkan kepada masyarakat.
Pelatihan yang ditawarkan pertama ialah mengenalkan tahapan ‘ditegur’, secara tegas terhadap pelaku yang melakukan tindakan pelecehan seksual yang disebabkan oleh hasrat pribadinya. Kabarnya, metode yang diteliti oleh L’oreal Paris ini merupakan cara yang paling beresiko dan membutuhkan keberanian lebih dari korban. Cara ini, memastikan kondisi korban harus benar-benar aman, karena permasalahan baru akan terjadi pada korban. Sudut pandang korban menjadi hal terpenting dalam cara ini, sebab korban akan melakukan suatu bentuk intervensi, jelas harus memikirkan sudut pandang pelaku.
Berlanjut tahapan kedua ‘dialihkan’, menggunakan bentuk pengalihan pada korban maupun pelaku. Sehingga, pelecehan yang terjadi bisa terhenti. Disini, kita berusaha menciptakan upaya gangguan saat terjadi aksi pelecehan seksual. Cara ini, dilakukan oleh kita yang menyadari dengan adanya fenomena lingkungan sekitar. Biasanya, kita sering mendengar istilah ‘sok kenal’, inilah langkah pencegahan yang sangat disarankan bagi pihak ketiga agar pelaku tidak menyasat si korban.
Kemudian, tahapan ketiga ‘dilaporkan’. Bila pihak ketiga sebutan ‘kita’ tidak mampu membendung atau mengalihkan aksi pelaku, sangat disarankan untuk meminta bantuan dari orang disekitar kita dengan terang-terangan meminta tolong untuk memberhentikan tindakan yang dilakukan pelaku. Lalu, siapapun dapat menjadi partner ajakan bersama-sama dan disatukan dengan pihak kepolisian, selaku lembaga perlindungan dan keamanan masyarakat. Akan tetapi, kita perlu mengetahui juga dan mengingat bahwa tidak semua korban nyaman dengan keterlibatan polisi. Maka, membutuhkan penilaian dan identifikasi secara cepat dan tepat menyoal tindakan yang harus dilakukan.
Setelah langkah-langkah sebelumnya belum dapat mencegah aksi pelaku, langkah keempat ini ‘ditenangkan’, yakni suatu upaya ketika pelecehan seksual di ruang publik telah terjadi. Upaya menanyakan pada korban, berusaha untuk tidak panik dan mencoba menenangkan dirinya terlebih dahulu. Upaya menawarkan bantuan pada korban yang dapat diberikan, dengan mengajak korban berdiam sejenak dengan santai. Menjadi catatan bagi kita, jangan sampai menanyakan keadaan yang tidak perlu pada korban.
Metode terakhir dalam upaya mengentaskan pelecehan seksual, yaitu dengan ‘direkam’ dijadikan sebagai barang bukti valid dan dapat dipertanggungjawabkan atas kebenarannya. Merekam aksi pelecehan seksual bisa menggunakan kamera smartphone, gunakan kelengkapan fitur video dan potret kejadian secara langsung ditempat dengan diarahkan pada pelakunya, selain itu merekam tempat disertai tanggal dan waktu kejadian. Sehingga, korban terbekali dengan bukti bila ia ingin melaporkannya pada pihak berwenang. Wajib! Dicatat ini oleh kita pihak ketiga jangan sampai langsung menyebarkan ataupun mengunggahnya ke media sosial. Korban, memiliki hak atas ini semua untuk menentukan apa yang ia ingin lakukan dengan rekaman tersebut. Media menjadi ujung tombak.
Kita semua berharga, kita berhak untuk melakukan tindakan pembelaan, dan kita berhak atas ini semua. Dikhawatirkan usia produktif menjadi masa-masa mencekam, tidak ingin lagi melihat hal positif, tidak ingin berjejaring secara sosial, tidak ingin mengetahui potensi yang dimiliki, dan mirisnya hingga melakukan upaya bunuh diri karena timbul anggapan dari dalam diri korban:
“Aku sudah tidak berharga lagi, Aku telah ternodai oleh tangan-tangan kotor yang tidak bertanggung jawab” pandangan korban pelecehan seksual.
Menjadi tanggung jawab bersama untuk peduli pada peristiwa di sekitar, salah satunya ruang publik menjadi pusat perhatian khusus, sebab kita perlu menyadari dan peka dengan fenomena-fenomena sosial di masyarakat.
Penulis: Muhammad Farhan (MF)
Editor: Tim Redaksi LPM PRIMA FISIP