Sore ini, langit mendung berhiaskan awan kelabu. Gemuruh terus menggaung memenuhi pendengaran. Suara rintikan hujan sangat serasi menemaniku yang terduduk menatapnya. Ia terbaring, menghadap langit-langit putih. Entah sudah berapa lama ia menatapnya dengan tatapan kosong. Melihatnya tergeletak lemas seperti itu, sungguh terenyuh hatiku. Andai aku bisa menggantikannya berbaring, akan kulakukan hal itu.
Tak terasa, sudah belasan jam aku duduk di ruangan ini. Ruangan yang tak pernah ingin kudatangi. Ruangan dengan bau menyengat yang tak ingin ku pijak. Namun, disinilah aku berada. Di rumah tempat manusia pergi menyembuhkan dirinya, Rumah Sakit Umum Jaya Kusuma.
Aku terbangun saat adzan magrib berkumandang. Kupandangi sekeliling, rupanya ini bukan sekedar mimpi. Kuputar balik memori mengingat kembali apa yang terjadi pada kami beberapa jam yang lalu. Hari Minggu adalah hari dimana kami biasa menghabiskan waktu bersama. Karena hanya hari itu kami dapat berbagi cerita dengan tenang. Hari yang selalu kunantikan setiap waktu. Dia berjanji akan membawaku berjalan di pusat kota. Disana terdapat banyak kuliner dan penjual barang-barang unik yang menarik perhatian.
Kami berjalan di pusat kota untuk mengisi liburan dan membeli jajanan kaki lima. Disana ramai sekali manusia maupun kendaraan berlalu-lalang. Aku membeli beberapa makanan seperti crepes, kue kering, dan juga siomay. Semuanya makanan favoritku. Tentu saja dia yang membayar semuanya. Kulihat sekeliling, betapa senangnya ketika menemukan makanan yang paling aku suka. Kubilang padanya bahwa aku ingin membeli makanan manis kesukaanku, yaitu pudding. Aku menyukainya karena pudding mengingatkanku pada Ibu yang telah tiada beberapa tahun lalu.
“Ayah, aku ingin membeli pudding.”
“Dimana?” tanya Ayahku.
“Itu disana, pudingnya enak sekali.” kataku sambal bergegas menuju tempat penjual pudding yang kusukai, tanpa memedulikan Ayahku yang berteriak menyuruhku agar hati-hati.
Aku berjalan cepat menerobos kerumunan orang yang sibuk berjalan kesana kemari. Tempat penjual pudding itu berada di seberang jalan, tentu saja aku menyeberang jalan untuk mencapainya. Tepat sampai di ujung jalan, aku menunggu nyala lampu hijau untuk pejalan kaki.
Tak lama kemudian, kulihat seekor kucing menyeberang tanpa memerdulikan kendaraan yang melaju. Tanpa banyak berpikir aku berlari untuk menyelamatkan kucing itu. Ayah yang sedang menyusulku, langsung sigap mendorongku agar terhindar dari sebuah mobil yang melaju kencang.
“BRAKKK!!!!!” suara tabrakan itu keras sekali hingga membuatku terkejut setengah mati. Aku terlempar beberapa meter dari kecelakaan itu.
“AYAHH!! AYAH BANGUN!” Aku berteriak panik dan histeris saat melihatnya terbaring bersimbah darah di jalanan. Rintikan hujan membasahi, membuat darah itu mengalir sampai di kakiku. Aku takut sekali saat itu.
Terdengar suara teriakan dan keributan di sekitar. Sirene ambulans pun terus terngiang menyakiti telinga. Hingga pandanganku kabur dan pendengaranku menjadi samar, tak lama aku pun pingsan. Aku masih bisa sedikit mendengar orang-orang yang memanggilku, seseorang dengan pakaian berwarna putih. Ia membawaku bersama rekan-rekannya ke dalam sebuah kendaraan.
Setelah itu, aku tak ingat lagi apa yang terjadi. Begitu aku terbangun, aku sendirian di dalam ruangan yang bernuansa putih ini. Tak lama kemudian, datang seorang suster menanyakan keadaanku yang kujawab baik-baik saja. Jujur, aku hanya merasa kepalaku sedikit berdenyut, selebihnya tak apa-apa.
“Sudah berapa lama aku tak sadarkan diri?” tanyaku begitu ia selesai memeriksa.
“Anda pingsan selama dua jam setelah kecelakaan.” jawabnya yang kutanggapi dengan anggukan saja. Begitu kuingat bahwa Ayahku lah yang mengalami kecelakaan, aku bergegas meminta suster untuk mengantarku pada Ayah.
“Suster, Ayah dimana? Aku ingin menemuinya.” tanyaku dengan gelisah.
“Beliau ada di ruang UGD untuk sementara waktu. Karena kondisinya masih kritis, anda baru bisa menemuinya ketika sudah dipindahkan ke ruang rawat inap.”
Aku hanya duduk terdiam mendengar jawaban dari suster, merenungi perbuatanku beberapa jam yang lalu. Setelah beberapa waktu, suster datang kembali ke kamarku dan mengajakku untuk menemui ayah di ruangannya. Aku berjalan dengan perasaan yang tak karuan. Gelisah, takut, sedih, dan segala macam perasaan negatif menyelimutiku. Namun, aku harus kuat dan bisa menerima apa yang akan kulihat nantinya. Dan disinilah aku, menatapnya terbaring lemah tak berdaya.
Ayah, maafkan aku.
Dia terbaring dengan selang yang menempel di hidungnya dan juga alat electrocardiogram yang berdiri di sampingnya. Ia sangat nyenyak sama sekali tak terusik oleh suara tangisanku. Aku takut ia nyaman dalam kondisinya saat ini dan tak akan pernah terbangun lagi.
Andai saja aku tak berlari hari itu. Andai aku tak menginginkan pudding kesukaanku. Andai saja aku tak menolong kucing yang sedang menyeberang, pasti ini tak akan terjadi. Aku mulai menyesali semua tindakan ceroboh yang kulakukan.
Ya tuhan, kuatkanlah Ayahku dalam menghadapinya. Aku pasrah kepadamu atas semua yang terjadi pada kami.
Aku terus menemani di sisinya, berharap ia akan segera bangun dari tidurnya. Segala doa telah kucurahkan pada Yang Maha Kuasa. Sampai aku pun tak tau apalagi yang harus kusampaikan padaNya. Jangan tanyakan kemana keluargaku yang lainnya. Aku hanya hidup berdua dengan Ayah semenjak Ibu tiada. Kami hidup sebagai pendatang di tengah kota yang memiliki gedung pencakar langit ini. Untuk itu, aku tak ingin merasakan kehilangan untuk yang kedua kalinya.
Air mata terus menghujani pipi tanpa henti. Hingga kurasakan tangan yang menggenggam lengan Ayahku bergerak perlahan. Ya, dia tersadar. Ayahku telah sadar. Aku melihatnya membuka mata dan menatapku dengan netranya.
Ayah,,,
Cepat-cepat kutekan bel untuk memanggil dokter. Setelah dokter selesai memeriksa, ia memberitahuku mengenai kondisi ayah. Dia berkata bahwa Ayahku mengalami kelumpuhan ingatan sementara karena kepalanya terbentur sangat keras ketika kecelakaan itu terjadi. Ayah juga mengalami keretakan tulang pada lengan kanannya saat berusaha mendorongku menjauh.
Setelah mendengarnya, aku pun terdiam kembali. Apa Ayah tak mengenaliku? Apa Ayah akan baik-baik saja seperti semula? Apa kami dapat berjalan-jalan kembali? Berbagai pertanyaan terus terngiang di kepalaku. Dan yang terpenting, bagaimana aku akan menjalani hari-hariku dengan Ayah yang terbaring seperti ini? kuatkanlah aku Ya Tuhan.
Selang seminggu semenjak kecelakaan itu terjadi, Ayah mulai mengingatku sebagai anaknya. Lengannya juga sudah mulai bisa digerakkan dengan perlahan. Aku bahagia sekali dengan perubahan ini. walau kuakui tak mudah merawatnya saat hari pertama, tetapi kini aku sudah terbiasa.
—------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Setiap hari aku pulang pergi dari rumah sakit ke sekolah. Aku adalah murid SMA kelas akhir, tentu saja aku harus rajin agar bisa lulus dengan nilai sempurna. Saat malam, ketika Ayah terlelap, aku menyempatkan waktu untuk mengulang pelajaran hari itu. Terkadang, aku juga termenung memikirkan kapan Ayah pulih sepenuhnya dan kami bisa pulang ke kediaman. Hah.. sungguh tak terkira apa yang menimpa kami saat ini.
Hari-hari telah kami lalui bersama di rumah sakit. Tak terasa, kini sudah hampir tiga minggu Ayahku dirawat dan hari ini dokter mengizinkan kami pulang. Namun, dengan beberapa syarat dan peraturan yang harus kami lakukan untuk membantu pemulihan Ayahku. Dokter juga menyarankan untuk melakukan check-up satu minggu sekali ke rumah sakit dalam memastikan kondisi Ayah. Tentu semua itu kusanggupi demi kebaikan ayahku.
“Ayah, sekarang kita sudah pulang.” kataku begitu tiba di kediaman kami.
“Maaf, karena Ayah kamu menjadi tidak terurus dengan baik.”
“Tidak kok, aku bisa merawat diriku sendiri.”
Ayah hanya tersenyum menatapku, tapi aku tau bahwa ia merasakan kesedihan di balik senyumnya itu. Senyumannya hanya kubalas dengan anggukan kecil seraya memapahnya ke dalam kamar.
“Ryura, sini duduk di samping Ayah.”
“Kenapa, Ayah?”
“Kamu fokus belajar aja ya untuk ujian, sudah dekat kan ujian kelulusannya?”
“Tentu saja aku rajin belajar. Aku ingin jadi lulusan yang terbaik saat kelulusan nanti.”
“Ayah harap kamu memilih jalan yang benar. Apapun yang kamu pilih nanti, Ayah berharap kamu dapat bertanggung jawab sampai akhir.”
Air mata menggenang ketika mendengar ayah berpesan seperti itu. Namun, aku harus kuat menahannya agar tidak jatuh di hadapannya.
“Kamu anak yang kuat, kamu mandiri. Kelak, kamu akan jadi manusia hebat yang selalu ayah banggakan.” Perkataannya membuat tangisku pecah seketika. Aku memeluknya erat, sangat erat hingga membuatku sesak. Ada apa ini, mengapa Ayah berkata seperti ini. Tangisku tumpah di dada Ayahku.
Keesokan paginya, aku menyiapkan sarapan kesukaan Ayahku, sup ayam. Ya, aku pandai memasak sejak ditinggal oleh ibu. Setelah masakan siap, kupanggil Ayah untuk bersiap sarapan. Tiga kali aku memanggil, tak ada satu pun yang terjawab. Aku mulai khawatir, bergegas lari ke kamar Ayahku.
Dan benar saja, Ayah terbaring di lantai dengan detak jantung yang amat cepat. Lagi-lagi aku menangis seraya menelpon ambulans untuk datang ke rumah. Belum genap sehari aku bersamanya di rumah, tetapi hal tak terduga terjadi lagi. Pikiranku kacau balau mencerna semua peristiwa yang kualami.
Ya Tuhan, mengapa ini terjadi lagi…
Aku menunggu di depan ruang UGD dengan perasaan cemas dan was-was. Jangan sampai hal buruk terjadi lagi pada Ayah. Selang beberapa waktu, dokter datang menemuiku dengan raut wajah tak terbaca. Perasaanku semakin tak karuan melihatnya. Hingga kudengar dia berkata
“Mohon maaf, kami berusaha semaksimal mungkin untuk menormalkan detak jantungnya, tetapi Ayah Anda tetap tidak tertolong.”
Seketika kakiku lemas, aku jatuh terduduk di lantai rumah sakit yang dingin itu. Pandanganku buram dan pendengaranku semakin samar. Lantas dokter membawaku untuk duduk demi menyadarkanku. Benar, aku harus sadar dalam situasi ini. Ayah hanya punya aku, demikian juga diriku yang hanya punya Ayah. Kutatap nanar ruangan yang berbau antiseptik itu.
Ternyata Ayah pulang untuk selamanya
Bukan ke rumah kami, melainkan rumah-Nya
—------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kini, aku sedang berdiri di atas podium. Aku, Ryura, berhasil menjadi siswi lulusan terbaik diantara ribuan siswa lainnya. Namun, aku tak tahu apa yang kurasakan. Aku tidak merasa bahagia dengan penghargaan ini. mungkin karena beliau telah tiada. Mereka telah tiada, untuk selamanya.
Ayah, kupersembahkan ini untukmu.
Jaga aku dari tempatmu berada.
Aku takut akan salah langkah.
Ibu, aku berhasil menjadi yang terbaik, sesuai harapanmu dulu.
Aku selalu merindukan kalian. Aku selalu mendoakan kalian.
Ku harap Tuhan selalu menyertaiku dan membimbingku di jalan yang benar.
Karena itu merupakan harapan terbesar kalian.
Itulah perkataanku di hadapan makam Ayah dan i=Ibu dengan disaksikan hujan lebat yang menghantamku. Bait terakhir yang terucap sebelum aku pergi ke tempat yang asing tak kukenali.
Aku pergi untuk menenangkan diri, dan mungkin tak kan pernah kembali. Hatiku kutinggalkan disini. Ternyata benar, takdir tak kan kemana. Begitu pula dengan kematian mereka.
Hujan, engkau selalu setia menemani mereka. Ya, hujan selalu mejadi saksi kisah memilukan yang kualami.
Penulis: Niken Ayu Dyah Setyorini (NADS)