Wings

By LPM PRIMA FISIP UNEJ

23 Jul 2022 - 15:07:42

1658588860_wings.png
LPM PRIMA FISIP

Oleh : Farhan Surya Indarta

Hari ini cuaca cerah, matahari memancarkan sinar cahayanya yang begitu terang dan terik seakan tersenyum. Aku selalu bersemangat ketika bel sekolah berbunyi tanda pembelajaran sudah berakhir. Seperti biasanya aku pulang sekolah berjalan kaki menyusuri jalan sambil bersenandung dan mengamati orang-orang disekitar yang sedang melakukan aktivitasnya masing-masing. Memang lelah rasanya, tetapi langkah kakiku begitu ringan karena sudah terbiasa berjalan kaki sejuh 2 km setiap harinya.

......

“Assalamualaikum, ibu !” Panggilku bersemangat.

“Waalaikumsalam nak, bagaimana perasaanmu sekolah hari pertama setelah libur semester selama 2 minggu?” Tanya ibuku.

“Senang sekali bu, tadi ibu guru yang mengajarku sangat ramah sekali. Beliau begitu telaten mengajariku dan teman-teman lainnya yang kesulitan dalam memahami materi.” Ceritaku dengan penuh semangat.

“Alhamdulillah kalau kamu senang, yaudah sana makan siang dulu ibu tadi sudah masak tempe penyet kesukaanmu.” Suruh ibuku.

“Baik bu.” Jawabku sambil bergegas menuju meja makan.

Sore harinya setelah tidur siang aku minta izin ibu untuk pergi bermain bola di lapangan karena kemarin sudah janji dengan Joko, teman bermain di rumah yang sepantaran denganku tetapi beda sekolah.

“Bu, aku izin pergi main dulu ya?” tanyaku sambil memohon.

“Iya Dika, hati-hati ya. Ingat jangan pulang larut malam, jam 4 kamu sudah harus ada di rumah.” Jawab ibuku dengan nada yang agak tinggi

“Siap bu.”

Sebelum pergi ke lapangan aku terlebih dahulu ke rumah Joko yang tidak terlalu jauh dari rumahku.

“Assalamualaikum, Joko!” Seruku.

“Waalaikumsalam, eh nak Andika.” Jawab ibu joko.

“Iya, Jokonya ada bu?” Tanyaku kepada ibu Joko.

“Ada nak Dika, sebentar ibu panggilkan.”

“Joko.. Joko.. Joko! dicari nak Andika di depan” Panggil ibu Joko

“Iya bu.” Jawab Joko.

“Ayo Ko main bola di lapangan!” Ajakku kepada Joko

“Baiklah, sebentar aku mau ambil bola dulu ya.”

Aku dan Joko pun bergegas menuju lapangan. Setelah bermain bola cukup lama, aku dan Joko beristirahat sambil bersandar di bawah pohon besar yang berada di tepi lapangan sembari berbincang-bincang.

“Eh Dika, tidak terasa ya kita sekarang sudah kelas 5 SD.” Ujar Joko memulai perbincangan.

“Iya Ko, habis kelas 5 naik kelas 6 habis itu kita akan masuk SMP.” Jawabku sambil memejamkan mata dan menikmati hembusan angin yang sangat sejuk.

“Oh iya, rencana kamu nanti mau masuk SMP mana?” Tanya Joko.

“Sepertinya aku mau masuk SMP Wijaya, kamu tau sendiri kan Ko bagaimana kondisi perekonomian keluargaku.” Jawabku sambil menghela nafa panjang.

“Jangan gitu dong Dika, bagaimanapun keadaannya kita harus tetap bersyukur.” Jawab Joko memberi semangat.

“Iya Ko, bagaimanapun keadaannya aku sudah berjanji pada diriku sendiri kalau aku harus tetap sekolah sampai jenjang yang paling tinggi.” Jawabku sambil mengepalkan tangan dan mengangkatnya tinggi-tiggi.

“Nah gitu dong semangat.” Jawab Joko sambil tersenyum.

“Eh Ko, udah sore nih ayo pulang.” Ajakku sambil bergegas karena takut dimarahin ibu kalau pulangnya kesorean.

Sesampainya dirumah aku langsung mandi kemudian sholat ashar. Setelah selesai sholat aku bersama ibu menonton televisi di ruang tengah sambil menunggu ayah pulang kerja. Tak lama kemudian terdengar suara montor ayah.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Jawab ibu sambil membukakan pintu rumah.

“Andika dimana bu?” Tanya ayah kepada ibu.

“Ada di ruang tengah lagi nonton televisi” Jawab ibu sambil melepaskan jaket yang dipakai ayah.

Ayahku berprofesi sebagai tukang ojek, maka dari itu setiap hari beliau mengenakan jaket untuk melindungi tubuhnya yang tak lagi muda dari teriknya matahari dan guyuran air hujan.

“Andika!” Panggil ayah sambil menghampiriku di ruang tengah.

“Ayah!” Sautku sambil memeluk ayah erat-erat.

“Nak, jangan lama-lama ya nonton televisinya. Ingat, jangan lupa belajar yang rajin supaya apa yang kamu cita-citakan bisa terwujud.” Pesan ayahku.

“Siap komandan.” Jawabku sambil sikap hormat dan kemudian bergegas ke kamar untuk belajar.

Hari sudah semakin malam, aku mengakhiri belajarku dan bersiap untuk tidur. Sebelum aku tidur terlebih dahulu aku ke kamar mandi untuk menggosok gigi. Setiap kali aku mau ke kamar mandi aku selalu mendengar ayah batuk. Entah kenapa setiap malam tiba-tiba ayah sering sekali batuk, aku selalu bertanya-tanya dalam hati. Sampai akhirnya suatu ketika aku bertanya langsung kepada ibuku mengenai hal tersebut. Ibuku bilang kalau ayah hanya sakit batuk biasa saja dan akan reda kalau sudah minum obat dari warung. Tetapi aku merasa ada yang disembunyikan oleh ibuku.

.....

Karena aku sudah berjanji untuk menomersatukan pendidikan, kulalui hari-hari dengan senang hati. Hingga aku merasa memiliki sayap yang bisa membawaku kesana kemari dengan ringannya. Aku membayangkan kalau sayap yang kumiliki ini merupan perwujudan dari kedua orang tua yang selalu mendampingiku dan menjadi motivasi terbesarku untuk terus belajar agar bisa mencapai apapun yang aku cita-citakan.

“Andika Pratama, putra dari Bapak Sujono.”

Pembawa acara wisuda dengan lantangnya memanggil namaku. Tak terasa aku sudah purna dalam menempuh pendidikan selama 6 tahun di SD Utomo. Aku sangat senang  dapat lulus dengan nilai tertiggi. Senyum lebar terpancar pada wajah kedua orang tuaku yayangelihatky menaiki panggung untuk diberi penghargaan karena telah lulus dengan nilai tertinggi.

.....

Aku melanjutkan jenjang pendidikan sekolah menengah pertama di SMP Wijaya walapun sekolah ini bukan termasuk sekolah favorit. Aku masuk SMP Wijaya karena menyesuaikan kondisi perekonomian keluargaku yang bisa dibilang pas-pasan. Selain itu, sekolah ini tidak terlau jauh dari rumah sehingga aku tidak menghabiskan terlalu banyak waktu untuk berjalan kaki pulang ke rumah agar bisa segera membantu ibu berjualan di pasar.

Setelah beberapa bulan masuk sekolah, wali kelasku Ibu Sundarsih memberithukan bahwa akan ada seleksi untuk mengikuti lomba olimpiade matematika tingkat kabupaten mewakili sekolah. Berhubung aku sangat suka dengan pelajaran matematika, begitu mendengar informasi tersebut aku langsung mendaftar dan mengikuti seleksi. Sebelum mengikuti seleksi aku mempersiapkan diri dengan belajar dengan sungguh-sungguh. Seringkali ibu mendapatiku tertidur di meja belajar dengan kondisi buku yang masih terbuka dan pena yang masih dalam genggaman.

“Dika!” Panggil ibuku lirih sambil mengusap kepalaku pelan berusaha membangunkanku.

“Iya bu.” Jawabku sambil merentangkan kedua tangan dan menguap.

“Kalau memang sudah benar-benar mengantuk tidurlah di tempat tidur nak, ini juga sudah larut malam.” Suruh ibuku.

“Baik bu.” Jamwabku sambil membereskan buku

Tiba saatnya seleksi berlangsung, dengan ucapan basmalah aku mulai mengerjakan soal-soal seleksi. Seleksi berjalan dengan lancar, beberapa hari kemudian hasil seleksi diumumkan di papan pengumuman. Aku terkejut dan merasa senang sekali karena namaku berada diposisi nomor 1 dan dinyatakan lolos seleksi dan berhak mengikuti lomba olimpiade matematika tingkat kabupaten mewakili sekolah. Aku langsung memberitahu kabar baik ini kepada ayah dan ibu setelah pulang sekolah.

“Ayah ibu, Andika punya kabar baik.” Kataku memulai obrolan.

“Kabar baik apa nak?” jawab serentak ayah dan ibu yang terlihat penasaran karena sebelumnya aku tidak memberitahu mereka kalau aku mengikuti seleksi olimpiade matematika.

“Mau tau aja atau mau tau banget?” Jawabku meledek.

“Kabar apa sih nak, ibu jadi tambah penasaran.” Jawab ibu sambil saling pandang dengan ayah.

“Andika berhasil lolos seleksi untuk mengikuti lomba olimpiade matematika tingkat kabupaten.” Jawabku sambil memeluk kedua orang tuaku.

“Alhamdulillah, kamu hebat nak. Ayah doakan kamu bisa menang dalam lomba olimpiade matemtika yang nantinya akan kamu ikuti.”

“Ibu juga akan terus mendoakanmu nak.” Saut ibu berkaca-kaca

“Terimakah yah, bu atas doanya, Dika janji akan berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan yang terbaik.”

.......

Aku berhasil menjadi juara 1 olimpiade matematika tingkat kabupaten berkat doa dari kedua orang tua dan juga usaha kerasku selam ini. Juara 1, 2, dan 3 olimpiade matematika tingkat kabupaten berhak untuk mengikuti olimpiade matematika tingkat provinsi. Aku sangat senang dan bersemangat menyambut olimpiade matematika tingkat provinsi yang akan berlangsung satu bulan lagi. Disamping mempersiapkan untuk mengikuti lomba olimpiade matematika tingkat provinsi aku juga tidak lupa dengan tugas-tugas sekolah yang diberikan oleh bapak ibu guru.

Aku benar-benar sudah berusaha semaksimal mungkin dan ku pasrahkan semuanya pada Allah SWT. Lagi-lagi alhamdulillah terucap, aku berhasil menjadi juara 1 lomba olimpiade matematika tingkat provinsi dan berhak mengikuti lomba olimpiade matematika tingkat nasional. Selama dua minggu aku dibimbing oleh Pak Sucipto selaku guru pengajar pelajaran matematika di sekolah untuk mempersiapkan mengikuti lomba. Selama bimbingan aku mendapatkan dispensasi untuk tidak mengikuti pelajaran dalam kelas selama dua minggu.

Saat lomba akan berlangsung aku benar-benar merasa sangat gugup dan kurang percaya diri. Pak Sucipto yang saat itu mendampingiku berusaha untuk menenangkanku.

“Andika jangan gugup ya, Pak Sucipto yakin kamu pasti bisa.”

“Iya pak, bismillah mudah-mudahan lombanya berjalan dengan lancar.”

“Aamiin.” Saut Pak Sucipto.

Lomba berakhir, aku dan Pak Sucipto cemas menunggu hasil lomba yang akan langsung diumumkan segera. Setelah 2 jam menunggu, akhirnya hasilnya diumumkan. Namaku disebut pertama kali dan dinobatkan sebagai pemenang lomba olimpiade matematika tingkat nasional dan mendapatkan beasiswa masuk SMA favorit. Ucapan hamdalah tak henti-hentinya ku ucapkan sambil memeluk Pak Sucipto yang menangis bangga kepadaku. Setelah acara berakhir aku diantar Pak Sucipto pulang ke rumah. Sesampainya di rumah entah kenapa raut wajah ibu terlihat sedih.

“Bu, ada apa?” Tanyaku penasaran.

“Ayah nak, ayah masuk rumah sakit.” Jawab ibu terbata-bata.

“Kok bisa bu? Sebenarnya ayah sakit apa?” Tanyaku semakin penasaran.

“Ayah sebenarnya sakit paru-paru.” Jawab ibu sambil meneteskan air mata.

“Jadi selama ini batuk yang dialami ayah itu sudah parah? Kenapa ibu baru cerita sekarang.” Sedikit kecewa.

“Maafin ibu nak, ibu merahasiakan ini karena biaya untuk berobat ayah itu mahal dan ibu takut kamu cemas.”

“Seharusnya ibu tidak perlu seperti itu.”

Aku dan ibu pergi ke rumah sakit untuk mengetahui kondisi ayah.

“Yah, bagaimana kondisi ayah sekarang?” Tanyaku sambil berkaca-kaca.

“Ayah baik-baik saja nak tidak usah khawatir.” Jawab ayah berusaha kuat dan baik-baik saja.

“Alhamdulillah, ayah sehat-sehat terus ya jangan sampai kecapean.”

“Iya nak.”

“Yah, bu sebenarnya aku mau memberitahukan sesuatu.”

“Ada apa nak?” Tanya ayah.

“Aku berhasil menang lomba olimpiade matematika tingkat nasional.” Jawabku sambil meneteskan air mata karena masih tidak menyangka.

“Alhamdulillah Ya Allah.” Ucap ibuku sambil sujud syukur.

“Ayah bangga nak padamu.” Sambil meneteskan air mata dan berusaha memelukku dengan kondisi yang masih lemas.

.....

Sungguh tak disangka aku bisa masuk SMA Bangsa yang merupakan slah satu sekolah favorit. Sekarang aku tidak perlu memikirkan lagi mengenai biaya sekolah, karena aku masuk sekolah favorit ini melalui beasiswa yang dIberikan saat aku berhasil menjadi juara pada lomba olimpiade matematika tingkat nasional.

Satu tahun telah ku lalui di SMA Bangsa, menginjak kelas 11 aku mencoba mendaftarkan diri untuk mengikuti OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). Setelah mengikuti berbagai tahapan seleksi, pada akhirnya aku terpilih untuk mengemban jabatan sebagai ketua OSIS. Disela-sela kesibukan sekolah dan juga kegiatan OSIS aku juga tidak lupa untuk membantu ibu berjualan di pasar. Dari hasil jualan inilah ibu bisa membayar biaya rumah sakit ayah yang masih dirawat. Aku juga memberikan sedikit tabunganku kepada ibu untuk tambahan membayar biaya rumah sakit ayah walaupun sedikit memaksa karena sebenarnya ibu tidak mau menerima uang pemberianku.

Aku juga menyempatkan menjenguk ayah ke rumah sakit beberapa kali ditengah-tengah kesibukanku disekolah.

“Yah, sudah waktunya makan siang ini Dika bawakan makanan kesukaan ayah.”

“Iya nak, terima kasih ya.” Jawab ayah sambil meraih sendok yang ku pegang.

“Biar Dika suapin aja yah.”

“Baik nak.”

“Ayah harus makan yang banyak ya, biar cepat sehat dan bisa kumpul bareng lagi di rumah.” Ucapku sambil menyuapi ayah.

“Ayah sudah sehat nak, kamu jangan cemas.” Saut ayah.

“Sebentar lagi Dika mau naik kelas 12, Dika mau nanti ayah sama ibu bisa menghadiri acara wisuda.”

“Iya nak, ayah janji pasti bisa cepat sembuh dan akan menghadiri acara wisuda bersama ibu.”

Satu periode masa jabatan sebagai ketua OSIS sudah berakhir. Ini adalah tahun terakhirku menempuh pendidikan di SMA Bangsa. Berbagai rangkaian ujian telah terlaksana dan terselesaikan, waktu wisudapun akan segera dilangsungkan.

Aku merasa senang karena tidak lama lagi akan diwisuda untuk yang ketiga kalinya setelah wisuda SD dan SMP. Namun, disisi lain aku juga merasa sedih karena kondisi ayah yang semakin hari semakin memburuk. Disini aku merasa salah satu dari sayapku terluka parah dan aku tidak bisa terbang jauh lagi.

Undangan wali murid untuk menghadiri acara wisuda telah dibagikan kepada setiap siswa. Sampai akhirnya tiba dimana akan dilangsungkannya wisuda ayah masih terbaring di rumah sakit. Walapun ayah sudah berjanji akan datang tapi aku memaklumi karena kondisi ayah yang tidak memungkinkan untuk bisa hadir dalam acara wisuda.

“Mutiara Citra Patmasari, putri dari Bapak Sugeng.”

“Wisudawan selanjutnya, Muhammad Faisal Malik, putra dari Bapak Maliki.”

Satu per satu nama siswa sudah dipanggil, tibalah giliran namaku dipanggil.

“Andika Pratama, putra dari Bapak Sujono.”

Aku pun berjalan menaiki panggung dengan raut wajah campur aduk, tersenyum tetapi juga ada rasa sedih karena ayah tidak bisa hadir dalam acara penting ini. Ketika menuruni panggung aku melihat ibu nampak sedang berbincang-bincang ditelepon sambil sesenggukan. Ku hampiri ibu dan bertanya.

“Kenapa bu?” Tanyaku panik.

“Ayahmu nak?” Jawab ibu sambil tak berhenti meneteskan air mata.

“Ayah kenapa bu?” Tanyanku semakin panik dan cemas.

“Barusan ibu mendapat telepon dari dokter kalau ayahmu sudah dinyatakan meninggal dunia.” Jawab ibu sambil gemetar

“Tidak mungkin bu, pasti ayah baik-baik saja kan? Ayah pasti segera sembuh kan bu? Pasti ibu salah dengar.” Sambil menangis.

“Tidak nak, dokter benar-benar mengatakan kalau ayahmu sudah meninggal dunia.”

“Ayah! Ayah!” teriakku sekencang-kencangnya

Aku dan ibu segera bergegas ke rumah sakit meninggalkan acara wisuda yang masih berlangsung. Sesampainya rumah sakit, ayah sudah terselimuti oleh kain kafan. Disitulah tangisan ibu dan tangisanku pecah sejadi-jadinya.

“Ayah bangun! Yah bangun!” Seruku sambil menggerak-gerakkan badan ayah.

“Sudah nak, ikhlaskan saja ayahmu. Doakan agar ayah mendapatkan tempat terbaik disisiNya.” Ibu mencoba menenangkanku sambil mengelus bahuku.

Kemudian jenazah ayah dibawa ke rumah menggunakan mobil ambulan rumah sakit. Sesampainya dirumah jenazah ayah disholatkan kemudian segera dimakamkan di TPU (Tempat Pemakaman Umum) terdekat.

Terhitung dua bulan ayah telah meninggalkanku dan ibu untuk selamanya. Masih terasa sulit untuk melepaskan ayah, tetapi aku percaya ini semua sudah menjadi suratan dari Sang Pencipta. Sayapku patah satu, yang dulunya aku bisa terbang kesana kemari sekarang untuk berjalan saja aku sempoyongan seperti tak punya tenaga. Aku benar-benar terpuruk dengan kepergian ayah.

Aku tidak mungkin membiarkan ibuku yang hampir menginjak kepala lima bekerja sendirian, aku putuskan untuk mencari pekerjaan dan mengubur sementara impianku yang ingin melanjutkan pendidikan lebih tinggi lagi di bangku perkuliahan. Lulusan SMA sepertiku mungkin nantinya tidak bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang tinggi, tetapi setidaknya aku bisa sedikit meringankan beban ibuku.

Aku diterima kerja di toko kelontong, setiap harinya aku harus menjaga toko tersebut hingga larut malam. Sebelum aku berangkat bekerja, setiap habis subuh aku membantu ibu untuk menyiapkan barang dagangan yang akan dijual di pasar. Mungkin seharusnya upah yang aku terima menyesuaikan jam kerjaku, tetapi realitanya upahku tak sebanding dengan lamanya aku bekerja. Meskipun begitu aku tetatap bersyukur menerima apa yang telah Allah SWT berikan kepadaku.

Semakin hari keadaan perekonomian keluargaku semakin memburuk karena lilitan beberapa hutang untuk tambahan biaya rumah sakit bapak dulu. Suatu ketika saat aku berangkat bekerja, aku melihat sosok laki-laki yang sudah lanjut usia menjajakan koran di lampu merah. Aku memanggil laki-laki itu dengan tujuan untuk membeli korannya.

“Pak! Pak!” Teriakku sambil melambaikan tangan kepadanya.

Sosok laki-laki itu menoleh dan menghampiriku di tepi jalan.

“Iya nak, ada apa ya?” Tanya laki-laki itu.

“Saya mau beli koran bapak.” Sambil menyodorkan uang yang sengaja kulebihkan.

“Wohh iya, ini nak korannya. Nak, ini uangnya kelebihan.” Ujar laki-laki itu.

“Tidak apa-apa pak, anggap saja itu rezeki dari Allah SWT.” Jawabku sambil menolak pengembalian dari laki-laki itu.

“Makasih ya nak. Maaf sebelumnya, ini dengan nak siapa ya?” Tanya laki-laki itu sambil mengajukan tangannya untuk bersalaman.

“Nama saya Andika pak, bapak sendiri namanya siapa?” Jawabku sambil bersalaman.

“Panggil saja Pak Sujiwo, saya lihat dari raut wajah nak Andika apa benar sedang ada masalah?” Ujar Pak Sujiwo yang seperti dapat membaca pikiranku.

“Iya pak.” Jawabku singkat sambil menundukkan kepala.

“Kalau nak Andika tidak keberatan, nak Andika bisa cerita ke bapak mungkin nanti bapak bisa memberikan solusi.”

“Baru beberapa bulan yang lalu saya ditinggal pergi selamaya oleh ayah saya, semenjak itu saya benar-benar terpuruk dan tidak tau lagi mau melakukan apa serta harus bagaimana?” Jawabku sambil menahan air mata.

“Apa ibunya nak Andika masih ada?”

“Masih pak, kenapa?” Tanyaku penasaran.

“Nak Andika, intinya kehidupan itu harus tetap berjalan bagaimanapun kondisi dan keadaannya. Kita harus tetap bersyukur dengan apa yang kita miliki saat ini. Nak Andika masih punya ibu, sudah sepatutnya kebahagian ibu nak Andika yang nomer satu. Nak Andika harus mencari dan menemukan cara bagaimana supaya ibu nak Andika selalu bahagai dalam kondisi apapun. Mungkin masalah nak Andika sekarang masih terbilang ringan karena Pak Jiwo dulu dilahirkan dalam keluarga yang terpecah, ayah dan ibu Pak Jiwo bercerai. Semenjak usia dua tahun Pak Jiwo dirawat dan dibesarkan oleh nenek hingga Pak Jiwo menemukan tambatan hati dan akhirnya menikah. Setelah usia 7 tahun pernikahan Pak Jiwo belum juga diberikan keturunan, dimana dalam berkeluarga itu yang dinanti-nantikan adalah seorang anak. Menginjak usia 8 tahun pernikahan istri Pak Jiwo mulai depresi karena permasalahan tersebut dan mulai menyalahkan diri sendiri serta yang paling parah ingin mengakhiri hidupnya. Tepat usia pernikahan ke 9 tahun, setelah pulang kerja Pak Jiwo mendapati istri Pak Jiwo gantung diri di pintu kamar. Kejadian itu juga membuat Pak Jiwo terpukul dan terpuruk. Semenjak meninggalnya istri Pak Jiwo, Pak Jiwo memutuskan tidak menikah lagi dan memilih untuk hidup sendiri. Seperti yang nak Andika bisa lihat sendiri, semangat Pak Jiwo saat ini masih membara setelah melewati masalah yang cukup berat dan juga usia yang tidak lagi muda.” Jawab Pak Jiwo panjang lebar.

Cerita Pak Jiwo membuat semangatku untuk melanjutkan kehidupan muncul lagi. Aku mulai mencari informasi mengenai beasiswa untuk kuliah melalui media cetak seperti koran, majalah, poster-poster di jalan hingga melaui media sosial. Aku juga menghubungi beberapa guru SMA untuk meminta bantuan agar aku diberitahu nantinya jika beliau-beliau mendapatakan informasi mengenai beasiswa untuk sekolah.

Beberapa hari kemudian setelah melakukan pencarian informasi beasiswa kuliah, Bu Sundarsih wali kelasku dulu waktu SMA menghubungiku dan memeberikan informasi terkait beasiswa masuk kuliah. Menurut informasi yang kudapatkan, beasiswa ini tidak hanya dapat digunakan untuk kuliah di dalam negeri tetapi juga dapat digunakan untuk kuliah di luar negeri. Aku segera mungkin mempersiapkan berkas-berkas yang butuhkan dan segera mendaftarkan diri. Untuk bisa mendapatkan beasiswa ini aku juga harus menempuh tes wawancara.

Satu minggu berlalu setelah aku mendaftar beasiswa. Pengumumanpun dikirim melalui email masing-masing. Beribu-ribu alhamdulillah ku ucapkan, aku dinyatakan lulus dari seleksi dan berhak mendapatkan beasiswa tersebut. Aku memberitahu ibu segara mengenai hal ini.

“Ibu!” Panggilku sambil sedikit berteriak.

“Iya nak, ada apa?”

“Ini lo bu, aku lolos seleksi beasiswa untuk kuliah.” Jawabku sambil memeluk erat ibu.

“Beneran nak?” Tanya ibu sekali lagi yang masih belum percaya.

“Iya bu, benar.”

“Ibu doakan kuliahmu nanti lancar, bisa mendapatkan nilai terbaik dan bisa lulus cepat.”

“Aamiin bu.” Sautku.

Terlihat jelas raut wajah ibu begitu sangat bahagia mendengar kabar baik dariku. Aku memutuskan menggunakan beasiwa itu untuk mendaftar kuliah di luar negeri dengan harapan bisa mendapatkan ilmu yang jauh lebih banyak dan beragam dan nantinya dapat dijadikan bekal untuk meningkatkan derajat ibu serta dapat selalu membahagiakan ibu. Sebenarnya berat meninggalkan ibu sendiri dirumah, tetapi aku benar-benar berjanji akan sungguh-sungguh dalam menempuh bangku perkuliahan agar bisa segera lulus dan kembali ke pelukan ibu.

Dengan ini, sayap patahku rasanya seperti kembali utuh dan aku bisa terbang lagi kesana kemari. Kembalinya sayapku membuatku tidak lagi merasakan beban dan aku akan terbang lebih tinggi lagi serta lebih jauh lagi untuk bisa menggapai semua yang telah aku cita-citakan. Tunggu aku bu, aku akan segera pulang dan juga akan mengajak ibu terbang bersamaku menuju kebahagiaan yang luar biasa.

 

 

 

Artikel Lainnya
1679051548_Enigma.jpg

17 Mar 2023

ENIGMA

Kurasa eksistensi ibu peri yang sering diceritakan dalam buku dongeng pengantar tidur memang benar adanya. Bukan seorang wanita bertudung dengan tongkat ajaib yang terayun-ayun di tangannya atau makhluk bersayap yang turun dari langit dengan bubuk kerlip yang mengitari tubuhnya ketika ia berjalan. Wujud ibu periku datang dalam bentuk seorang gadis bernama Skylar.

Sebelum bertemu dengannya, aku tinggal bersama ibuku. Hari-hariku selalu ditemani oleh umpatan membabi buta yang keluar dari mulutnya. Aku yakin akan tiba hari dimana dia akan menyingkirkanku dari kehidupannya, dan sebelum hal itu terjadi, aku memutuskan untuk kabur.

Skylar membawaku ke Pluto, Pluto yang kumaksud disini bukanlah benda yang berhubungan dengan tata surya, melainkan sebuah bangunan sempit dua lantai di sudut kota Whitecapel yang dingin. Seperti sebagian besar bangunan di East End, kesan yang ditampilkan adalah lusuh dan kumuh. Jelaga mengerak pada dinding luarnya, tirai-tirai tipis menggantung di jendela, lampu depannya berkedip-kedip dan kurasa tidak ada yang berniat untuk menggantinya. Pemilik bangunan ini adalah Mrs.Evans, seorang janda baik hati yang memiliki sebuah toko buku di pusat kota. Melihat dari keadaan Pluto sekarang ini, sepertinya bisnis itu tidak berjalan lancar.

Di tengah kemelaratan dan lingkungan yang serba buruk ini kami hidup bahagia, aku, Skylar, si kembar Isabel dan Isaac, Jensen, Mrs.Evans dan Reaper, kucing jalanan botak milik Isabel. Kami menghabiskan waktu musim dingin di depan perapian, mendengarkan cerita-cerita dari koleksi buku setinggi pinggang milik Skylar (yang tentu saja dibacakan oleh Skylar sendiri). Mungkin hal itu terdengar payah, tapi kami tidak pernah bosan mendengar ceritanya. Semangat Syklar yang menggebu-gebu dan senyumannya yang mengembang saat bercerita membuat kami teralihkan dari rasa dingin yang menggigit kulit.

Skylar yang baik, Skylar dengan semangat yang menyala-nyala dan rasa ingin tahu tanpa batas, dia adalah gabungan dari semua warna indah dalam tingkat kecerahan yang paling tinggi. Semua orang menyayanginya, semua pujian yang ditumpahkan orang lain kepadanya membuatku senang dan bangga karena aku adalah salah satu teman baiknya.

Aku merasa sudah mengenal Skylar dengan baik. Tapi, ternyata aku salah.

Selama tinggal di Pluto, aku hampir tidak pernah mendengar apa-apa tentang masa lalunya. Aku tidak tahu apakah orang tuanya berada di kota ini, bagaimana kehidupannya sebelum tinggal di Pluto, atau kenapa dia memanggil rumah ini dengan sebutan ‘Pluto’? Aku bahkan tidak tahu nama belakangnya. Skylar jarang membicarakan emosi, hasrat atau pengaruh yang mendorongnya untuk melakukan hal-hal usil seperti melempari penduduk yang lewat dengan balon air.

Rahasia membuntuti Skylar seperti kibaran rambutnya yang tertiup angin. Pada awalnya ini tidak menjadi masalah bagiku, sebelum ulang tahunnya yang ke-17. Aku melihatnya sedang terduduk di undakan pintu luar dan menangis sambil memeluk kedua lutut. Aku tidak mengingat ada hal buruk yang terjadi padanya waktu itu, yang kuingat hanyalah permohonannya sebelum ia meniup lilin dan memakan kue basi itu. “Aku ingin menemukan tempat yang belum pernah dikunjungi orang lain, aku tidak peduli dimanapun itu. Aku harap tempat itu memiliki sinar matahari yang hangat, damai, tenang dan tidak ada kucing bau yang mengganggu waktu tidurku.” Ia melirik ke arah Reaper yang meringkuk di pangkuan Isabel dan meniup lilin. 

Itu pertama kalinya Skylar mengatakan hal yang ia inginkan kepada kami.

 

 

Aku terbangun oleh suara benda jatuh dan rintihan dari seseorang. Sepertinya. aku tidak terlalu yakin. Aku mengangkat kepala dan menemukan Skylar yang tengah memandangku dengan kengerian luar biasa, seolah aku ini adalah mayat yang bangkit dari kubur.

“Sky?”

Ia meletakkan jari telunjuknya di depan bibir dan berjalan mendekat ke arahku. Sinar redup dari lentera yang kuletakkan di nakas mengenai wajahnya, disitulah aku menyadari bahwa kedua pipinya basah.

“Aku ingin pergi sebentar…” Ia menaikkan selimutku hingga ke dagu dan berjalan pelan kearah pintu agar tidak membangunkan yang lain.

Aku ingin menanyakan banyak hal padanya, kenapa ia pergi di tengah malam seperti ini? kemana? Kenapa ia menangis di undakan tadi? Apa dia baik-baik saja? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantam kepalaku seperti meteor, tapi aku tidak mengatakan apapun karena kepalaku pusing dan sebagian nyawaku hilang entah kemana.

“Maafkan aku Ann…” Ia bergumam pelan, pelan sekali. Tapi aku masih bisa mendengar ucapannya .

Dari sudut mataku, aku melihat bayangan Skylar yang perlahan menghilang di balik pintu. Rasa kantuk yang luar biasa menyerangku, lalu aku kembali terlelap seperti bayi.

 

 

Aku kembali terbangun oleh tangan mungil Isabel yang mengguncang tubuhku. Aku langsung terjaga penuh, duduk tegak di ranjang, kebingungan hingga akhirnya pikiranku cukup jernih untuk mendengar.

“Kau tidur seperti orang mati.” Jensen berdiri di ambang pintu dengan segelas susu.

“Jam berapa ini?”

Aku melirik ke arah ranjang Skylar dan mendapati bahwa ranjang itu kosong. Hanya ada beberapa buku yang diletakkan di atasnya.

“Dimana Sky?” 

Pertanyaan yang keluar dari mulut Isabel membuat kepingan-kepingan memori dari kemarin malam kembali memasuki benakku. Aku bangkit dari ranjang dengan gerakan kaku, mulutku mencecap rasa tidak enak, seolah baru saja menelan sesuatu yang busuk dan aromanya masih bertahan. Rasa takut mulai merayapi diriku.

Dia belum kembali?

“Annie, kau baik-baik saja?” Jensen bertanya kepadaku, tapi aku tidak mempedulikannya.

Dengan gerakan secepat kilat, aku menyambar mantel, berlari menuruni tangga dan pergi keluar rumah, tidak menghiraukan Jensen yang terus memanggil namaku.

Aku berlari lebih kencang dari biasanya, melewati gereja, toko-toko, rumah-rumah yang terkunci, dan nyaris tertabrak kereta kuda yang sedang melintas. Bulan November itu dingin, tapi peluh mengaliri tulang wajahku dan mulai menjilati leherku. Otot-ototku sakit dan kerikil kecil di jalan menusuk telapak kakiku yang tidak terbalut alas kaki, kepulan asap dingin keluar dari mulutku saat aku bernafas.

Lari. Lari. Lari.

Kakiku membawaku ke danau Porlock, tempat favorit Skylar untuk membaca buku di saat musim panas. Aku berjalan melewati pepohonan dan berhenti di tepi kolam air biru yang luas dan berselimutkan cahaya matahari. Entah kenapa waktu itu aku tidak menyadarinya, danau itu lengang dan damai. Begitu damai sehingga aku berpikir bahwa Skylar pasti sudah kembali ke Pluto sekarang, sedang memakan sepiring panekuk bersama yang lainnya.

Aku hampir saja berbalik untuk pulang, sebelum aku melihatnya.

Tas selempang milik Skylar, di atas batu besar, diletakkan di dekat sepatu bot dan mantelnya yang dilipat rapi, seolah batu itu adalah lemari pakaiannya. Aku berjalan mendekati batu itu dan terdiam, Lama sekali. Hingga aku bisa mendengar denyut nadiku sendiri di telingaku.

Tidak, Tidak

Aku berlutut di samping batu dan meletakkan kedua tanganku di atas mantelnya lalu beralih untuk merogoh isi tas seperti orang kesetanan, berharap dia akan muncul dan memarahiku karena dia tidak suka jika barang pribadinya disentuh. Aku menemukan jurnal usang milik Skylar dan memasukkannya ke saku mantelku tanpa berpikir.

“Sky…” bisikku.

Aku berdiri dan merasakan kedua mataku yang mulai memanas.

“Skylar!” Aku berteriak.

Aku melepaskan mantel dan terjun ke air. Aku menyelam sedalam yang ku mampu, mengarah langsung ke dasar. Semakin jauh aku menyelam, airnya semakin dingin dan gelap, membuatku kembali berenang ke permukaan untuk mengambil napas karena rasa takut yang menyerang. Aku menyelam lagi dan lagi, sedalam mungkin sebelum kepalaku tersentak ke permukaan karena air yang masuk ke hidungku.

Aku tidak bisa menemukannya.

Pada satu titik, aku tahu dia sudah pergi. Walaupun sudah mengetahui hal itu, aku tetap menyelam dan berenang, naik-turun dan bolak-balik hingga aku merasakan pusing yang membuatku mual, seakan ada serangga kecil yang berlarian di kulitku. Leherku pegal. Ketika aku sudah tidak kuat melakukannya, aku merangkak ke tepian, kelelahan dan seluruh badanku menggigil.

Aku mengambil mantel milik Skylar dan duduk bersandar pada batu, kedua tanganku memeluk mantelnya dengan erat seolah akan ada orang yang mengambilnya dariku saat itu juga. Aku duduk di tepi danau hingga langit biru berubah warna menjadi jingga, namun ia tidak pernah kembali. Jadi aku datang ke tempat yang sama keesokan harinya, untuk menunggu. Di hari berikutnya, lalu hari berikutnya, tapi Skylar tidak kunjung kembali.

Jika aku mencegahnya untuk pergi malam itu, apakah keadaannya akan berbeda?

Bahkan ketika Sherif Whitecapel datang dan mengangkat tubuh itu dari dalam air beberapa hari setelahnya, aku tidak pernah berpikir itu dia. Skylar yang kukenal memiliki kulit putih cemerlang, bukan kulit keriput yang membengkak, Skylar yang kukenal memiliki bibir mawar kuarsa yang cantik, bukan bibir pucat yang membiru.

Dia tidak mati, Skylar yang kukenal sedang berkelana mencari tempat baru dan melakukan hal-hal menakjubkan seperti biasanya. Aku tidak tahu dimana tempat itu, tapi aku harap, tempat itu damai, tenang, dan memiliki sinar matahari yang hangat, seperti permohonan yang ia ucapkan di hari ulang tahunnya.

Penulis: Alisha Dyah Shafira (ADS)

 


1678967809_esti.jpg

16 Mar 2023

Sudut Lembab Lemari

Cantik, pikirku. Rambutnya panjang sampai punggung, merah dan bergelombang. Kissed by fire, katanya dulu. Aku mengintip susah payah dari sudut sini, menatapnya lewat celah-celah horizontal di pintu lemari. Dia menggerutu sendirian sambil memegang jidat—oh, rupanya jerawat baru, tapi aku tidak peduli, bagiku dia perempuan paling menggemaskan dan memesona yang pernah aku lihat. Tingginya tidak bertambah banyak, dia pendek, sih—aku akui, tapi tetap saja menggemaskan!

“Lily, ready?” Itu Nyonya Johnson, Mamanya Lily, asal kalian tahu. Oh ya, perempuan yang sedang aku pandangi ini Lily Johnson, usianya 15 tahun sekarang. Dia sering marah akhir-akhir ini karena jerawat, menstruasi, mood yang seperti ombak pantai—tidak jelas.

Ready,” ujar Lily bersemangat—oh, God, dia berjalan ke arah sini. Aku menahan nafas, berharap banyak, dia membukanya, membuka lemari pakaian dan… yah—bukan aku yang dipilih. Aku menatap Black Shirt—dia kaos oversized yang sering dipakai Lily akhir-akhir ini. Black Shirt tersenyum lebar, aku bisa merasakan dia akan jadi lebih sombong saat kembali dari mesin cuci. Mama Lily mengerutkan alis, bertanya, “Pakai itu lagi?”. Lily mengangguk, mengenakan Black Shirt kemudian keluar dari kamar, dia akan pergi piknik bersama teman-temannya. Aku bergumam dalam hati, “Have fun, Lily. Cuacanya sedang cerah seperti senyumanmu”.

Helaan nafas dariku mencuri perhatian dari penghuni lemari pakaian yang lain, aku ditinggal untuk kesekian kalinya di sudut lemari yang lembab dan gelap, aku ingin digantung seperti baju-baju kesayangan Lily yang lain, aku sudah lupa rasanya dicuci, dijemur dan digantung, menjadi hightlight lemari.

“Jangan sedih, lelah tau kalau sering dipakai, sering masuk mesin cuci berkali-kali dan dijemur--“ sebelum Greenie menyelesaikan kalimatnya, aku sudah terlebih dahulu membentak “Diam, kamu cuma celana dalam, tidak tau rasanya dibanggakan di depan teman-teman Lily!” Mataku melotot ke arah celana dalam hijau di laci lemari, semua penghuni lemari diam dan tidak berkomentar apa-apa lagi.

“Kamu harusnya jangan marah pada Greenie, dia mencoba menghibur, kamu-pun juga harus menerima kalau Lily memang sudah bosan memakaimu, siapa yang masih memakai motif bunga di tahun ini? Lily bukan anak-anak lagi,” oceh Luvie. Aku meliriknya sinis dan emosiku semakin memuncak karena melihat Luvie, aku iri, Luvie itu dress mewah pertama yang dibeli Lily, merah dan berkilauan. Lily suka sekali memakainya saat ada pesta besar

Aku diam, melihat salah satu polaroid kecil di dinding kamar Lily, foto kami berdua saat Lily bermain ke kebun binatang. Lily sangat cantik kalau mengenakan pakaian berwarna cerah, aku ingat ekspresinya saat melihatku di mall, dia seperti jatuh cinta di pandangan pertama, matanya berbinar cerah sekali, usianya masih 13 tahun saat itu. Sejak Papa Lily bilang iya dan membawaku pulang ke rumahnya, Lily sering sekali memakaiku, apalagi saat musim panas. Dia bilang kalau dia suka warna kuningku yang cerah dan motif bunga matahari kecil di seluruh dressnya—dia bilang dia jatuh cinta dengan motifku. Sakit ya, Lily sudah punya pakaian yang lebih bagus dariku, dia sudah remaja dan remaja mana yang mau memakai bunga-bunga?! Tunggu, aku baru ingat, 2 hari lagi ada perayaan panen bunga matahari di rumah nenek Lily, aku yakin Lily akan memakaiku.

3 Hari Kemudian.....

Hari panen tiba, yang aku tunggu-tunggu semenjak Lily menaruhku di sudut lemari, Lily sedang mengeringkan badannya yang basah sehabis mandi—God, dia datang. Seluruh penghuni lemari menatapku dengan ekspresi heran dan takut, mereka tau kalau Lily akan memakaiku untuk Hari Panen. Aku menatap mata Lily yang sibuk melihat pakaian-pakainnya. Dia—dia memilihku. Akhirnya aku kembali merasakan kulit Lily. Mata semua penghuni lemari melotot tidak percaya, aku menatap Lily dan menelan ludah “Apakah mimpi?” batinku.

Mama Lily mengintip dari ambang pintu. “Sudah dipilih?” Tanya Mama Lily. Lily menoleh dan tersenyum, “Sudah, Ma. Anak-anak panti pasti suka dengan dress ini.” Tunggu, apa katanya? Aku kembali menatap mata Lily, dia melipatku dengan rapi kemudian memasukkanku ke dalam box kardus yang tertulis “DISUMBANGKAN”.

Penulis : Esti

Editor   : Tim Redaksi LPM Prima

 


1678713319_cerpen.jpg

13 Mar 2023

GIMANA YA

Di teras kelas saat suasana sore hari yang nampak mendung oleh karena sisa rintikan hujan membuat seorang pemuda asik melamun dan menikmati alam khayalnya. Galih namanya, ya seorang pemuda berusia 19 tahun. Galih seorang mahasiswa yang tengah menempuh kuliah semester 3 jurusan Ilmu Politik di salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Kota Solo. Galih dapat dikatakan sebagai mahasiswa yang biasa-biasa aja dan tidak mencolok. Entah apa yang membuatnya melamun seperti orang kesambet itu, namun yang pasti ia melamun dengan menghadap ke langit. "Hadehh, gimana ya ini?" katanya sambil berdialog kepada langit. Tak lupa juga ia menyeruput Floridani yang dibelinya di kantin fakultas. 

"Masa sih nilaiku beneran ngga bisa diperbaiki? Perasaan aku ngga bodo-bodo banget dah di mata kuliah ini?" tanyanya lagi kepada diri sendiri sembari melihat website kampusnya di handphone

Tak lama kemudian nampaklah seorang pemuda sekaligus mahasiswa lain di kampus tersebut. "Dor!!" teriaknya mengagetkan Galih. Ternyata mahasiswa tersebut ialah Dodi yang notabenenya teman Galih walaupun beda jurusan, yakni mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi. 

"Kenapa Lih? Kok keliatan puyeng gitu?" tanya Dodi sebagai basa-basi.

"Iyanih Dod, bingung aku perkara nilaiku ngga bisa diperbaiki" jawab Galih. 

"Ealah, emang kamu dapet berapa sih itu nilainya?" kata Dodi.

"Ini aku dapet BC, padahal yo aku ngga bodo-bodo banget loh waktu matkul ini. Aku juga ngga pernah bolos kok, terus tugas selalu ngerjain maksimal." jelas Galih kepada Dodi sambil merengut-merengut. 

"Walahh, terus? Tapi itu tugas-tugasmu selalu ontime atau suka telat ngumpulin?" tanya Dodi balik.

"Hehehehe ya agak telat sih, soalnya aku pengen banget tugasku tuh sem-pur-na, titik ra nggawe koma." sanggah Galih sambil cengengesan. 

"Oalah pekok, ya pantesan kalau nilaimu jadi BC gitu. Worang udah tahu sendiri konsekuensi kalau telat ngumpulin itu gimana" cerca Dodi kepada Galih. 

"Ya gimana ya, maafin aja deh bang." 

"Ya udah lain kali kalau ada tugas tuh langsung dikerjain aja. Jangan yang ngoyo-ngoyo banget, sing penting kamu yakin kerjain tugasmu itu terus kelar dah dikumpulin sebelum waktu deadlinenya." kata Dodi yang menjelaskan panjang lebar kepada Galih. 

"Oke oke siap, yang penting ngga ngulang mata kuliah ini aman dah." Galih menjawab dengan nada pasrah.

"Heem, terus kamu ini mau ngapain? Mau demo nilai, mau ndeprok disini atau mau pulang?" tanya Dodi. 

"Ya pulang lah, ngapain lama-lama disini. Fakultas kita banyak nyamuk, bisa bentol-bentol nanti aku." jawab Galih dengan memperagakan orang gatel-gatel. 

"Heleh heleh, kamu kayak ngga tau fakultas kita aja. Fasilitas kurang, banyak nyamuk, area parkiran minus, eh kamar mandi juga minus, mana licin banget pavingnya. Dah lah ayo pulang ae." ajak Dodi sambil merangkul pundak Galih yang tinggi tidak seberapa itu. 

 

Penulis: Christina Maharani

 


1658820739_parkiran FISIP.jpg

26 Jul 2022

Selamat Datang Di Gedung Rimbun Fakultasku

FATAMORGANA

Oleh: Rosiana Balqis

“Selamat datang di gedung rimbun fakultasku.”

Jangan ditanya fakultas apa? Nanti akan kubuat kalian tahu tanpa kuberi tahu. Gedung tua dengan mayoritas dindingnya berwarna orange kekuningan yang membuatnya tampak lebih bersinar dari sebuah bohlam pijar. Di sekitar halamannya banyak tumbuh pepohonan hijau yang menjuntai, bahkan kala hujan pun bingung mencari celah untuk jatuh ke tanahnya. Tersebar beberapa saung yang terbuat dari kayu dengan posisi melingkar biasa digunakan untuk beradu humor dengan sesama, meski terkadang banyak serangga kecil menggigit yang seolah-olah ingin turut bercengkrama dengan manusia. Entah, mungkin karena fakultasku terlalu bersih dan asri hingga banyak serangga pun berebut ingin menempatinya. Saat malam tiba, terlihat beberapa lampu taman yang menyala sehingga tak perlu takut jika datang untuk kuliah di malam hari.

Tidak seperti hutan belantara yang menakutkan, itulah mengapa fakultasku tetap indah meski dipandang di gelapnya rembulan malam. Tentu dapat dibayangkan bukan suasana di sana? “Jangan Iri!” Ini masih bagian depan yang kuceritakan, selanjutnya ayo ikut aku masuk ke dalamnya. Fakultasku terbagi dalam 8 program studi dan saat ini aku menginjak semester pertengahan di program studi yang bergelut dalam keilmuan bisnis dan apa pun tentang perusahaan. Tak hanya itu, aku bahkan mempelajari dasar administratif dan sedikit tentang sosial ketatanegaraan.

Pasti cerebrum kalian sedang bertanya-tanya ini fakultas apa. Jangan terburu-buru! Masih banyak clue yang akan kusampaikan. Fakultasku terkenal sangat memperhatikan kenyamanan penghuni di dalamnya, bahkan banyak sekali fasilitas dan ornamen yang mendukung kegiatan mahasiswa di dalamnya seperti lapangan basket di samping gedung yang selalu dirawat sehingga tampak selalu bersih dan baru, musholah kecil lengkap dengan lemari berisi mukenah, sarung, Al – Qur’an bahkan tempat wudhu yang luas dan tertutup sehingga mahasiswa tidak perlu mengantri dan tidak terganggu dengan aktivitas lain. Ruang-ruang yang memadai untuk tiap unit kegiatan mahasiswa, bahkan fakultasku menyediakan aula khusus untuk kegiatan seni dan olahraga.

Tidak seperti fakultas sebelah yang meletakkan musholah disamping ruang seni, bagaimana penghuninya bisa beribadah dengan khusyu’ jika saat sujud justru terngiang lagu dangdut. “Huft! Untung saja bukan fakultasku”. Tak heran jika di sini tidak ada fasilitas atau ornamen terbengkalai dan tidak penting, semua fasilitas fisik dapat dimanfaatkan dengan baik dan bijak. Apa aku sudah berhasil membuat kalian iri ? Oke, belum. Selanjutnya kita masuk ke ruang kelas. Setiap ruang kelas dalam program studiku memiliki bangku yang menyatu dengan mejanya, terdapat satu papan dan satu proyektor di dalamnya, tak hanya itu ruang kelas kami dilengkapi dengan AC dan penerangan yang baik sehingga saat perkuliahan tidak merasa ‘pengap’ dan mengantuk. Sayangnya, aku baru beberapa kali menempati kelas itu karena terhambat pandemi.

Konon fakultas sebelah masih menggunakan bangku panjang terbuat dari anyaman rotan yang alas duduknya sudah remuk. Jenaka sekali bukan? Pasti mereka sedang bercanda. Selain fasilitas fisik, fakultasku juga terkenal dengan pelayanan yang amat baik. Mengapa demikian? Karena fakultasku selalu berusaha untuk bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Di era digitalisasi saat ini, tentu perubahan kurikulum dan sistem pun semakin maju. Untuknya, perlu berbenah dalam mengubah sistem yang masih bersifat konvensional ke sistem yang modern agar tidak tertinggal. Masalah pengadministrasian di fakultasku entah perizinan kegiatan, persyaratan beasiswa hingga permohonan dana dapat diatasi dengan sekejap melalui sistem online, hal ini karena orang-orang di dalamnya sangat tanggap dan responsif terhadap kebutuhan mahasiswanya.

Aku iba, fakultas sebelah masih belum bisa menyamai fakultasku, katanya kemarin sempat ada mahasiswa yang gagal mendaftar beasiswa hanya karena belum selesai mengurus administrasi yang dipersulit dengan proses yang lama sehingga ia tertinggal. Setelah sepanjang kisah dari mahasiswa jelata ini, apakah cukup membuat kalian iri? Apakah kalian bisa menebak fakultas apa ini? Yaaa betul sekali !!!.

“Kringgg!! Kringgg!! Kringgg!!” (suara alarm berbunyi.) Ternyata aku baru bangun dari tidur dan mimpi indah semalam.

(LITERAKSI BEM FISIP X LPM PRIMA) 


1603092000_wik.jpg

19 Oct 2020

BREATH

Bagaimana rasanya, menjadi sosok yang teramat dibanggakan walau hanya dengan sedikit tindakan? Bagaimana rasanya, menjadi kesayangan semua orang tanpa harus meminta belas kasihan. Pasti menyenangkan bukan?

Asya duduk termenung menatap kerumunan orang yang berada dihadapannya. Sosok yang berada ditengah kerumunan itu membuatnya iri hati. Bukan karena pencapaian yang didapatkannya namun iri terhadap kehangatan yang menyelimuti sosok itu. Dalam hatinya, Asya ingin merasakan kehangatan itu sekali saja. Sekali saja, ia ingin ditatap dengan pandangan bangga dan dielu-elukan oleh keluarganya. Sekali saja, ia ingin bertukar posisi dengan sang kakak. Sosok yang selalu menjadi nomor satu di keluarga kecilnya bahkan di keluarga besar.

Asya adalah mahasiswi semester awal yang masih berjuang untuk menyesuaikan diri dengan dunia perkuliahan. Jalannya menuju bangku perkuliahan tidak sehangat dan semudah jalan sang kakak, Jihan. Jika Jihan saat berjuang untuk mendapatkan kampus dan jurusan yang diinginkan mendapat dukungan penuh dari orang tuanya, berbeda dengan Asya yang harus mengadu urat sebelum akhirnya diperbolehkan. Jika Jihan melakukan sedikit kesalahan, orang tuanya akan memaafkan tanpa banyak bicara dengan diberi sedikit nasehat. Namun, jika Asya yang melakukan kesalahan sedikit saja, kesalahan itu akan nampak secara berlebihan dikedua mata orang tuanya.

“Hah....” Sudah kesekian kalinya, Asya menghela napas berat.

“Bengong aja...” Atensi Asya teralihkan oleh suara dengan logat jawa yang kental milik Dinda. Ia hanya menyunggingkan senyum kepada sahabatnya itu. Tak ada lagi suara yang terdengar. Asya kembali larut dalam pikirannya sendiri, sedangkan Dinda hanya duduk menemani.

Tujuh menit dihabiskan keduanya dalam diam. Dinda yakin dengan apa yang ada di pikiran Asya yang tengah menatap kakaknya saat ini. Dinda hanya menunggu Asya untuk memulai pembicaraan. Sepuluh tahun persahabatan mereka, menjadikan keduanya hafal tabiat masing-masing.

“Din, kapan ya aku bisa kaya Kak Jihan? Bisa dikerumunin keluarga kaya gitu? Dibanggain kemanapun mereka pergi.” Tanya Asya tanpa mengalihkan pandangannya.

“Sya..” Dinda tidak tahu harus menanggapi sahabatnya ini seperti apa. Hatinya ikut tersayat saat mendengarkan keluhan-keluhan yang keluar dari bibir Asya. Keluhan tentang keluarganya yang seakan tidak bisa adil dalam memberikan kasih sayang.

“Salah gak sih Din, aku suka iri sama Kak Jihan? Aku tahu ini salah, tapi aku gak bisa pungkiri kalau aku suka iri sama dia.”

Asya menatap nanar kearah gerombolan kakaknya yang tampak senang hati karena kelulusan mereka. Jihan menjadi salah satu lulusan terbaik dan mahasiswi berprestasi di jurusannya. Kedua orang tuanya sangat senang sampai tidak bisa membendung air mata. Sama seperti yang mereka lakukan saat mereka mengetahui Jihan diterima di kampus dan jurusan pilihannya.

“Aku berjuang keras untuk bisa ada di tahap ini Din. Di tahap aku kuliah di kampus dan jurusan yang aku mau. Walaupun jurusanku gak setenar jurusan Kak Jihan, setidaknya aku bisa satu kampus dan satu fakultas sama dia.”

Dinda yang paham betul hanya bisa menganggukkan kepalanya beberapa kali. Pernah sekali Asya bercerita perihal bagaimana tanggapan orang tuanya saat ia menjadi lulusan terbaik di SMA-nya dan berhasil masuk ke kampus juga jurusan pilihannya. Asya yang berangan-angan akan diberi pelukan hangat dan kata-kata menyenangkan untuk ia dengar, harus kandas dengan sebuah ucapan selamat tanpa mengalihkan pandangan dari aktivitas yang mereka lakukan.

“Sesak Din rasanya..” Tanpa disadari, air mata Asya jatuh membasahi pipinya.

OOO

Sedari kecil, Asya sering menyimpan semuanya sendiri. Ia merasa bahwa dirinya lebih aman dan nyaman ketika semua kekecewaan yang mendera dipendam dalam-dalam agar ia tidak kalut dan sedih perkepanjangan. Toh nanti akan berlalu. Begitu pikirnya sedari dulu. Asya tidak menyangka, rasa kecewa terhadap orang tua dan keluarganya itu akan mencapai titik puncak dimana dia sudah tidak sanggup lagi untuk menahan semuanya. Kilasan memori bagaimana ia diperlakukan tidak cukup adil oleh keluuarga semasa kecil hingga dewasa tengah melalang buana di pikirannya.

Ia duduk diatas kasur dengan lutut yang ditekuk, menyembunyikan parasnya di dalam sana. Dadanya seperti dihimpit oleh batu besar yang membuatnya sesak. Napasnya begitu pendek dibanding dengan biasanya. Asya merai gawai yang tergeletak tepat disamping tubuhnya. Menekan satu nama dan segera dibuat panggilan. Kurang dari satu menit, suara dengan logat jawa menyapa rungunya. Asya hanya diam, tidak memberi jawab walau sekedar menyapa kawannya itu.

Tidak seperti panggilan suara yang mendapat sahutan begitu cepat, Asya memilih untuk diam beberapa saat. Dinda, orang yang berada diseberang panggilan mengikuti kemauan kawannya ini. Dibiarkan Asya untuk menata hati serta kata-kata yang ingin ia lontarkan. Dibiarkannya Asya mencari waktu nyamannya untuk berbicara tanpa harus tergesa-gesa.

“Aku gak kuat Din.. semakin aku tahan, rasanya semakin sesak.” Keluhnya membuka suara setelah cukup lama.

“Kamu gak perlu tahan itu lagi Sya. Sudah banyak rasa kecewa yang kamu terima dan kamu pendam sendirian. Kamu gak akan kuat kalau harus menyimpannya sendiri Sya. Aku gak tahu seberat apa rasa kecewa yang kamu alamin, tapi aku yakin kamu butuh waktu seenggaknya sebentar aja buat luapin semuanya. Buat ambil napas yang cukup berat dan bisa buat kamu tenang.” Asya mendengarkan semua penuturan Dinda. Mungkin memang benar penuturan kawannya tersebut. Ia butuh waktu untuk meluapkan semuanya, dan mengambil napas walau barang sejenak.

“Sekarang waktunya kamu buat istirahat, tarik napas dampai kamu ngerasa lega. Kalaupun kamu mau nangis, gak masalah Sya. Manusia punya titik lemahnya masing-masing dan kamu dititik itu sekarang.”

Asya mencerna apa yang dilontarkan Dinda. Semakin dicerna, semakin sesak pula dadanya. Satu persatu bulir air matanya membasahi pipi. Asya terisak dalam heningnya kamar, hanya ditemani Dinda diseberang sambungan. Ia berusaha menarik napas lebih dalam, menghembuskannya dengan kasar diiringi dengan sebuah isakan. Malam ini, Asya ingin menuntaskan rasa sesak di dadanya hingga habis tak bersisa.

Diseberang sana, Dinda masih dalam diamnya. Ia sedang menyusun kata-kata penenang untuk sahabatnya. “Gak akan ada yang nyalahin kamu sekarang Sya.. lepasin aja semuanya.”

Sekarang Asya paham bahwa semua yang dipendam itu tidak baik. Asya paham, kekecewaan yang ia pendam dari lama bukannya menghilang seiring berjalannya waktu, namun terpupuk dan tumbuh subur dalam dirinya tanpa disadari. Dan disinilah dia sekarang, menuai apa yang sedari lama telah disimpan. Kesedihan dan kekecewaan yang berlipat ganda.

Dinda yang menemani Asya membungkam mulutnya. Ia mecoba memposisikan dirinya di posisi Asya saat ini. Namun sayang, rasanya mustahil untuk dilakukan. Semakin dicoba, semakin tidak sanggup pula dirinya. Bagi Dinda, tidak apa membuat kesahan, karena orang lain juga pasti melakukan kesalahan. Tidak apa mengistirahatkan diri sejenak dari hiruk-pikuk dunia untuk menghela napas. Karena menurut Dinda, semua orang punya titik lemahnya masing-masing dan merupakan hak mereka untuk meluapkan isi hati.

“Aku memang gak bisa memposisikan diri jadi kamu Sya, aku gak tau seberat apa bebanmu selama menyimpan ini semua sendiri, tapi gak masalah. Kamu bebas sekarang. Aku disini buat temani kamu sampai kamu ngerasa lega. Kamu sudah terlalu lama berjuang sendirian Sya, aku tahu itu. Kamu sudah sangat bekerja keras selama ini. Sekarang waktunya kamu ambil napas dan istirahat dari hiruk pikuknya dunia untuk sejenak.”

Kalimat panjang dari Dinda, sepenuhnya menyadarkan Asya. Dirinya memang sedang tidak baik-baik saja. Tawanya adalah bentuk tipuan guna tutupi kesedihan. Sifat riang yang selalu dia tunjukkan merupakan sebuah tameng untuk membendung kesedhian yang semakin menerjang. Mungkin benar kata Dinda, saat ini dirinya harus bernapas lebih berat sejenak dan menyingkirkan diri dari ramainya dunia.

Penulis: W


1600759542_coba ya.jpg

22 Sep 2020

Saudade

Aku menutup buku A Portugese: A Modern History setelah menyelesaikan separuhnya. Terbiasa membaca buku fiksi bertema ringan, bukan buku sejarah non-fiksi seperti ini membuatku agak kesulitan menamatkannya. Namun di separuh halaman, aku menemukan sesuatu yang menarik.

Sejarah mencatat, pada abad ke-15 Portugis mengirimkan para pemudanya ke berbagai penjuru dunia untuk membuka jalur perdagangan dan mendirikan koloni-koloni. Berpuluh-puluh tahun petualangan dan pelayaran membuat Portugis harus kehilangan sebagian besar dari mereka dan tak pernah kembali pulang.

Kehilangan itu bagi perempuan, anak-anak, dan orang tua yang ditinggalkan tidak hanya diiringi kesedihan dan mandalam, tetapi juga harapan bahwa kekasih, abang, dan anak-cucu mereka hilang bukan untuk selama-lamanya. Bukan hanya sekedar duka, apa yang mereka rasakan adalah melankolia kolektif. Melankolia membuat orang-orang mengubur objek kehilangan dalam ego masing-masing, bukan melepasnya pelan-pelan. Mereka menamai perasaan campur aduk itu saudade.

Aku menandai halaman itu dengan sticky notes sebelum berhenti membacanya dan berjanji akan menerusakannya ketika telah sampai di rumah. Menghela nafas panjang, aku merasa punya suatu hal dalam diriku yang berkaitan dengan itu. Aku memilih menyesap kopi dari papercup, lalu diam memandang keluar jendela di sisa waktu perjalananku dalam kereta Jayakarta dari Pasar Senen menuju Jogjakarta sore ini.

Tiba-tiba perasaan gugup menyergap dan reflek aku mengeratkan genggaman tangan sendiri.  Bagaimanapun, pulang ke Jogja setelah 5 tahun lamanya menjadi sesuatu yang berat buatku. Tiap libur semester saat kuliah dulu, aku lebih memilih menetap di Jakarta dan bekerja paruh waktu lebih banyak dari biasanya. Namun kali ini aku ingin pulang, tidak ada alasan partikular. Aku hanya ingin pulang

****

Di dalam rumah ini akhirnya aku berada. Semua furnitur dan hiasan dinding dalam rumah ber-cat krem ini masih terawat seperti terakhir kali aku berada disini. Tempat ini tidak pernah berubah namun keadaan iya. Aku masih dapat mengingat di ruang keluarga ini, bertahun-tahun lalu, setiap sore aku dan Ibu menonton televisi bersama sambil menunggu Ayah pulang bekerja. Semuanya terasa baik dan kami bahagia.

Lamunan ku hilang saat terdengar seorang membuka pintu. Ternyata budhe datang membawa dua tas yang aku tebak berisi rantang makanan. Belum sampai ia duduk, budhe sudah menyerangku dengan pertanyaan,

“Sampai Jogja jam berapa Kina? Kenapa ga telfon budhe? Dari stasiun naik apa kesini?”.

Aku mengambil tas budhe dan menaruhnya di atas meja.

“Jam 4 budhe, naik ojek online. Kina ngga mau merepotkan budhe makanya ngga telfon dulu.”

Budhe duduk di sampingku. Ia memandangku dengan sorot mata khawatir. Persis seperti 5 tahun lalu saat ia mengantarku ke stasiun untuk berangkat ke Jakarta. Kala itu satu-satunya yang aku punya adalah budhe dan keluarganya. Berbekal uang tabungan budhe yang cukup hanya untuk membayar biaya kuliah, makan, dan tempat tinggal selama satu semester, aku berangkat ke Jakarta untuk kuliah.

Budhe adalah kakak dari Ibu dan ia sudah kuanggap seperti Ibuku sendiri sekaligus orang yang paling mengerti aku. Ia tahu persis, aku ingin meninggalkan Jogjakarta bagaimanapun caranya. Ia lalu menyuruhku untuk mendaftar di kampus negeri yang tidak terlalu prestisius dengan uang kuliah yang tidak terlalu mahal di sana. Sepeninggal Ibu, aku hidup sendiri dan apa yang ingin aku lakukan selepas SMA  hanyalah kelur dari kota ini dan bekerja untuk menyambung hidupku sendiri.

Budhe berkali-kali meyakinkanku untuk meneruskan kuliah tapi aku yang sudah cukup dewasa saat itu mengerti bahwa biaya kuliah terlampau mahal untukku yang piatu. Namun karena budhe lah akhirnya aku berangkat. Budhe meyakinkanku berulang kali, dengan kuliah lah masa depanku dapat terjamin. Namun sepertinya kali ini budhe salah.

“Budhe senang sekali kamu pulang, nduk, setelah 5 tahun ini. Budhe tau berat buatmu ke Jogja lagi, apalagi pulang kesini,” Budhe menggenggam tanganku.

Benar, mengingat dan kembali ke Jogja sama halnya seperti menarikku ke lubang hitam masa lalu. Jakarta tidak lebih baik dari Jogja untuk urusan keteraturan, tapi setidaknya aku bisa memulai hidup menjadi Kina baru dimana tidak seorangpun di Jakarta tau aku siapa.

Aku mengelus pelan tangan budhe, tangannya terasa kasar karena harus bekerja keras memasak pesanan catering setiap hari. Aku menatap mata satu-satunya orang yang paling mempercayaiku, mengertiku, dan memberikan ruang luas untuk kasih sayangnya padaku. Wajah budhe tampak keriput dan rambutnya beruban. Perasaanku tiba-tiba menjadi sentimental. Doa  untuk keselamatan dan umurnya yang panjang adalah hal yang tak pernah selesai aku panjatkan. Aku berharap masih ada waktu buatku untuk memberi lebih dari apa yang telah budhe beri kepadaku selama ini.

Budhe tersenyum, “Gimana kabarmu, Kin? Baik?”

Aku tidak bisa menjawab apapun selain “Baik” meskipun kenyataanya sebaliknya. Memilih jurusan keguruan dan pendidikan saat kuliah, berharap aku bisa menjadi guru, suatu pekerjaan yang layak dan mapan menurutku.  Namun sepertinya hidupku tidak berakhir sebaik cerita novel atau film dimana anak yang hidup bekerja keras lalu mendapat ganjaran yang sesuai, yaitu cita-citanya terpenuhi dan sukses.

Kuliah sambil bekerja di salah satu toserba saat sore hingga malam hari adalah suatu hal yang tidak mudah. Akibatnya aku sering terlambat masuk kuliah karena terlalu lelah bekerja di hari sebelumnya. 4 tahun perkuliahan yang tidak berjalan mulus, ditambah saat setelah lulus aku susah mendapat pekerjaan dimana-mana.

Aku mendaftar di bimbingan belajar, sekolah dasar hingga menengah swasta, lembaga les privat, sampai CPNS, tidak ada satupun yang berjalan mulus kecuali salah satu sekolah dasar swasta di Jakarta Selatan yang menerimaku. Gajinya terbilang kecil, hanya cukup untuk biaya sewa kosku yang kecil dan kebutuhan sehari-hari yang harus di hemat sedemikian rupa selama satu bulan.

Selepas berbincang singkat aku membantu budhe memindahkan lauk dari rantang ke piring-piring di dapur.

“Kina apa tidak mau tinggal disini saja?” budhe bertanya padaku yang sedang mengelap piring. Aku tidak pernah siap dengan pertanyaan ini.

Rumah ini dan Jogja membawaku pada trauma masa lalu dan bagaimana aku membenci Ayahku sendiri. Aku tidak siap. Budhe masih fokus berkutat memindahkan makanan dan melanjutkan,

“Maksud budhe, Kina bisa melamar kerja jadi guru disini. SD tempat pakde mu mengajar sedang butuh guru. Budhe hanya khawatir.” Budhe melanjukan.

Aku diam dan melanjutkan mengelap piring. Nafasku tercekat ditenggorokan dan tidak tahu harus menjawab apa.

Budhe membalikan tubuhku untuk menghadapnya, ia menggenggam tanganku lagi.

“Maafkan ayahmu, Kin. Apapun yang ia lakukan, maafkan.”

Aku tidak menyangka kita akan sampai pada topik ini. Aku menghindari pembicaraan tentang hal ini sejak hari itu, bahkan kepada Ibuku sendiri. Aku tidak ingin beliau berbicara apapun tentang Ayah.

“Kina, 6 bulan yang lalu istri kedua ayahmu datang ke rumah ini. Kebetulan budhe mampir untuk membersihkan rumah. Ia datang dan mengabari kalau Ayahmu meninggal. Budhe tidak langsung memberi tahu karena budhe tahu benar kamu tidak ingin membicarakannya.” Budhe melanjutkan dan setelahnya ia menunduk. Mungkin terlampau tidak tega melihat bagaimana ekspresiku setelahnya.

Tiba-tiba ada sesuatu dalam diriku yang bergejolak dan hendak tumpah, yang akhirnya aku tahu itu adalah semua kesedihan, kekecewaan, kemarahan dan kebencian kepada Ayahku. Dalam hidupku, hanya sampai umur 12 tahun aku menganggap Ayahku adalah sosok Ayah yang baik. Selebihnya, sejak hari itu hingga sekarang umurku 25 tahun, apa yang aku bayangkan dari Ayah adalah hanya kebencian.

Ayah meninggalkan aku dan Ibu saat usiaku 12. Hari itu Ayah menyeret kopernya keluar rumah, Ibu menahannya, yang kudengar adalah teriakan, tangisan Ibuku, dan suara tamparan Ayah pada Ibu. Beberapa minggu kemudian telah ku ketahui bahwa Ayah menikah lagi. Ibuku? Sakit jiwa. Aku tidak mengerti apa yang diderita Ibu secara spesifik. Namun setidaknya itu yang aku tangkap dari apa yang Psikiater katakan saat ia memeriksa Ibu.

Setahun sebelum kepergiannya, aku merawat Ibu sendiri dan budhe sesekali mengunjungi kami. Emosi ibu tidak stabil. Ibu yang melamun sendiri di depan jendela kamarnya, lalu tiba-tiba marah dan membanting semua barang-barang adalah hal yang aku lihat setiap hari. Ibu rutin minut obat meski kadang-kadang kambuh dan akhirnya tutup usia saat usiaku 17.

Apa yang kuharapkan saat pemakaman ibu adalah Ayah datang. Namun sampai hari ini, aku tidak pernah melihatnya lagi. Ayah meninggalkan kita, itu membuat Ibu sakit jiwa. Mereka berdua meninggalkanku dan aku sendirian. 

Aku jatuh terduduk di dapur. Budhe menenangkanku yang menangis. Hal yang tidak pernah benar-benar aku pahami, aku tahu aku masih mengharap Ayah datang kerumah ini lagi, betatapun aku membencinya. Sama seperti perempuan, anak-anak, dan orang tua yang ditinggalkan kekasih, abang, dan anak-cucu mereka dalam pelayaran Portugis 6 abad lalu dan masih mengharap kehadiran mereka, hal yang sama juga terjadi padaku. Ayah memutuskan untuk pergi dan aku kehilangannya, lalu aku membencinya, tapi masih mengharap kehadirannya. Selama ini aku tidak pernah bisa benar-benar melepaskan Ayah, aku mengubur Ayah dalam egoku.


1586348552_uwi cerpen.jpg

08 Apr 2020

Rela

            Malam ini, aku duduk sendiri di tepian sungai Han. Disebuah bangku panjang berwarna putih, menatap aliran sungai yang tampak tenang. Angin berhempus menerpa dingin kulit wajahku. Tersenyum sumbang saat dinginnya angin menjalar ke seluruh tubuh.

            “Ku cari di rumah, tak tahunya kau ada disini..” atensiku teralihkan oleh suara bariton milik lelaki yang aku kenal menghampiri gendang telinga. Ku tolehkan kepala pada sumber suara. Netraku menangkap satu sosok dengan senyum lebarnya.

            “Ada apa kau mencariku?” tanyaku kemudian dengan menggeser duduk memberi dia ruang untuk menempati tempat tersebut.

            “Hanya, mencarimu saja... tidak boleh? Salah ya?” hanya tersenyum. Itulah jawabanku untuk lelaki yang kini sudah duduk disamping kananku. Helaan nafasnya terasa berat saat di dengar.

            “Ceritalah, bila kau ingin bercerita.. kau tahu kan kalau aku bisa menjadi kotak surat berjalan?”

            “Aku merasa lelah dengan hubunganku bersama Haera. Dia seperti anak kecil yang selalu merengek. Selalu ingin dimengerti tapi dia tidak mau mengerti padaku.” Kembali, helaan nafas itu masuk dalam gendang telingaku.

            “Lalu, kau masih ingin bertahan dengannya?”

            “Tidak, aku tidak ingin.. aku sudah lelah dengannya. Bantulah aku memikirkan cara untuk memutuskan hubungan laknat ini dengannya.”

            “Yak! Hubungan laknat katamu? Oh Tuhan.. di awal kau sangat menikmati hubunganmu itu bukan? Dan sekarang kau mengatakan itu hubungan laknat? Kau pria kejam Sungjin-ah!” sungguh, aku sudah tidak bisa menahan amarahku pada lelaki satu ini. Bagaimana mungkin, ia mudah bosan saat menjalin hubungan? Tak bisa ku pikirkan.

            “Kau tahu sifat asliku Han, kau mengerti dengan amat sangat jelas. Dan, yah beginilah aku.”

            “Dari pada kau marah, lebih baik kau bantu aku untuk memutuskan hubungan dengannya..” Sungjin menjambak rambutnya frustasi. Selalu seperti ini apabila ia sudah bosan dengan hubungan percintaanya. Datang, dan meminta saran padaku. Aku tak masalah, hanya saja....

            “Bertengkar. Setahuku, itu cara yang paling ampuh untuk memutuskan hubungan bukan?!”

            “Sudah ku lakukan..” ada jeda sesaat sebelum ia melanjutkan kata-katanya.

            “Tak berhasil.. dan aku kehabisan akal untuk meminta putus dengannya.”

            “Selingkuh?” Sungjin membulatkan netranya. Tak percaya dengan kata yang baru saja terucap dari mulutku.

            “Kau gila Han!” mendengar ucapan itu, aku tersenyum masam. Memandang lelaki itu dengan tatapan dalam.

            ‘Ya, aku gila.. dan kamu penyebabnya.’ Jawabku dalam hati.

            Menjadi seorang wanita itu sulit. Banyak yang tidak bisa dilakukan karena tuntutan menjadi seorang wanita yang lemah lembut serta penuh dengan kehormatan. Banyak pula ucapan yang ingin dilontarkan namun tidak bisa terucap karena takut dengan martabat dan kodrat sebagai wanita.

            Soal perasaan, wanita lebih sering memendam dan tidak mau mengutarakan. Entah itu hal yang diinginkan atau tak diinginkannya. Wanita lebih memilih untuk diam dan menutupi segalanya. Berpura-pura bahwa ia baik-baik saja. Mungkin tak semua, namun, mayoritas dari wanita itu sama.

            Begitu pula denganku, yang lebih memilih untuk diam tanpa berucap dan menutupi segalanya dengan berkata bahwa ‘aku tidak apa-apa’ atau ‘aku baik-baik saja’. Karena bagiku, itu adalah sebuah tameng yang bisa menjaga hati agar tidak terluka. Membatasi diriku agar tidak menangis karena hal yang sia-sia.

            Aku mencintai seseorang yang tak akan pernah bisa aku miliki. Meskipun tahu seperti apa akhirnya, hatiku tak mau berhenti untuk mendamba serta memuja. Setiap hari aku dibuatnya jatuh cinta. Kepada laki-laki yang saat ini tengah gundah karena ikatan yang ia buat. Kepada kawanku, kepada partnerku.

            Ini hanyalah sebuah kisah klasik. Berawal dari ikatan pertemanan, yang merasa nyaman satu sama lain, dan berujung pada salah satu dari mereka yang meginginkan lebih. Dalam kisah ini, akulah yang menginginkan kelebihan itu. terdengar tidak tahu diri, namun itulah yang sedang ku hadapi.

            “Ah! Molla! Apapun yang terjadi, aku harus putus dengannya esok.”\

            “Lakukan semaumu.. ku beri saranpun kau tak menggubris.”

&&&

            Siklus kehidupan ‘percintaan’ yang aku jalani terdengar sangat monoton. Siklus itu bergantung pada satu sosok. Seseorang yang mampu membuat hatiku berdebar lebih cepat dari biasanya. Apabila pria itu tengah menjalin hubungan dengan seorang wanita, secara otomatis aku akan membuat jarak dengannya.

            Bukan karena aku membencinya, bukan. Namun aku tak ingin hatiku terluka melihat keduanya. Karena aku berusaha menghargai diriku juga wanita itu. Seberapa lama hubungan itu aku terus bertahan untuk menghindar atau bahkan menghilang. Hanya sesekali aku memantau keduanya. Memastikan keadaan.

            Ketika dia datang dan meminta saran padaku, seperti malam itu, barulah aku mendekat kearahnya lagi. Mencoba memahami dan mengerti kepribadiannya. Berusaha menjadi kotak surat yang mau mendengarkan keluh kesahnya. Aku senang. Karena itu, menandakan bahwa ia percaya sepenuhnnya kepadaku. Aku sungguh menghargai itu.

            “Hentikanlah cinta sepihakmu itu Han.” Tegur Alea padaku sembari memberikan cup americano yang ku pesan beberapa waktu lalu.

            “Sudah saatnya kau bahagia Han. Jangan terbelenggu oleh cinta sepihakmu itu.”

            “Aku tidak terbelunggu Al, dan aku bahagia dengan perasaanku ini.” Sergahku.

            “Bahagia katamu? Kau gila?! Bagaiaman kau bahagia disaat dia terus menyakitimu dengan mengencani wanita lain seperti itu?! Tuhan! Sadarkanlah kawanku ini!”

            “Selama aku bisa dekat dengannya, aku bahagia Al.. toh kalau nanti jadian bisa putus.. sedangkan hubunganku dengannya tidak akan pernah putus. Dia juga tidak mengetahui perasaanku.”

            ‘semoga’ tambahku dalam hati.

            “Dia itu tahu perasaanmu Han! Tapi dia berpura-pura tidak tahu dan dengan brengseknya menyakiti hatimu secara terus menerus! Dia tak pernah melihatmu lebih dari sekedar teman. Dia tak pernah melihatmu sebagai seorang wanita! Mengertilah.” Alea terus saja memekik. Meluapkan amarahnya kepadaku. Aku mengerti perasaannya, tapi apa mau dikata? Hatiku terus menolak untuk melupakan dia.

            “Aku tahu Alea, aku tahu..”

            “Kalau kau tahu dan mengerti, lepaskan dia Han. Aku tak kuasa melihatmu terus menerus disakiti oleh pria brengsek itu. Dia hanya menghamprimu jika dia butuh.. selanjutnya? Tidakkan?!”

            “Aku yang memintanya seperti itu.” Alea menggeram. Berusaha menetralkan emosinya dan menengguk cappucino miliknya.

            “Aku akan berhenti Al. Sungguh. Ketika dia sudah bahagia dan tidak bosan dengan pilihannya. Aku berhenti. Setidaknya, aku ingin melihatna bahagia, tersenyum tanpa beban dan tanpa sesal. Setelah itu, aku akan berhenti.” Jelasku kemudian.

            “Sampai kapan kau akan bertahan Han?”

            “Sampai waktunya tiba.”

&&&

Hari terus berganti menjai bulan. Bulan-bulan pun berganti menjadi tahun. Selama satu tahun ini, siklusnya masih sama. Aku masih bergantung padanya. Dan satu tahun terakhir ini, ia tak bercerinta tentang wanita. Selama satu tahun ini ia habiskan bersamaku. Melalui berbagai musim bersama. Sungguh, aku bahagia karenanya.

            Pernah terbesit tanya dihatiku, apakah dia mulai emelihatku sebagai wanita? Namun pertanyaan itu tak mampu aku lontarkan. Aku terlalu takut mendengar jawabannya. Terlalu takut mengetahui sebuah fakta. Takut dengan segala resikonya.

            Selama satu tahun ini, perasaanku padanya tak pernah berubah. Malah semakin menjadi karena momen-momen bahagia yang telah kami lalui bersama. Kalaupun boleh meminta, aku hanya menginginkan satu permintaan. Tuhan, bisakah kau rubah hatinya? Bisakah kau buat ia jatuh cinta kepada seorang wanita sepertku?

            “Apa yang kau pikirkan?” tanya lelaki itu padaku.

            “Tak ada..”

“Han, selama beberapa bulan terakhir ini aku dekat dengan seorang wanita.. aku ingin menjadikannya wanitaku, menurutmu bagaimana?” hatiku merasa nyeri saat mendengar pengakuannya. Seperti tergores dengan pisau.

“Bisa kau ceritakan dia seperti apa?”

“Dia cantik, baik.. dan dia juga pendengar yang baik sepertimu. Dia mirip dengan tipe ku.” Ia pun mulai bercerita tentang wanita itu. tentang segala perasaannya terhadap wanita itu. aku terus mendengarkannya. Membiarkannya berceloteh tentang wanita itu. rasa nyeri yang aku alami semakin menjadi saat ia mengatakan sudah mantap dan yakin akan pilihannya kali ini.

Aku hanya tersenyum saat mendengarkan celotehannya. Bukan senyum bahagia seprti biasanya, namun senyuman getir untuk menutupi luka. Luka yang teramat sakit dan mungkin sulit untuk terobati. Netraku terus saja menatap wajahnya. Menatap bagaimana binaran netranya saat ia bercerita tentang wanita itu. Terasa panas dan pedih, seolah air mataku ingin tumpah ruah dan membasahi pipi. Ingin rasanya aku berteriak, meluapkan segalanya. Namun, yang aku lakukan sekarang hanyalah tersenyum bodoh dan diam seribu bahasa.

“Doakan agar aku diterima esok hari.” Pintanya padaku. Aku hanya mengangguk, setelah itu, ia pergi meninggalkanku sendiri. Lagi, dan lagi terjadi seperti ini. Terulang kembali dengan luka yang menyayat hati.

&&&

Enam bulan berlalu. Namun, aku masih merasa terbelenggu, dengan sosok dirinya yang masih senantiasa memenuhi hatiku. Memori enam bulan lalu, saat ia bercerita tentang sosok wanita itu, masih terasa segar dalam benakku. Seakan tak ingin enyah begitu saja.

Alea menjadi saksi betapa hancurnya aku hari itu. Betapa kerasnya aku menumpahkan segala emosiku. Kini, iapun menjadi saksi, bagaimana rapuhya diriku etelah menerima kabar bahwa lelaki idamanku akan menihaki wanitanya. Menjadikan wanita itu miliknya dan untuk selamanya.

Dia memberiku sebuah undangan pernikahan yang bertuliskan namanya dan juga wanita itu. ia memberikannya dengan sebuah senyum bahagia, yang enggan untuk memudar barang sesaat.

“Aku gak akan datang Al, aku gak mau..”

“Apa aku salah kalau gak datang Al?”

“Aku bukannya apa, hanya saja aku ingin menjaga hatiku untuk terakhir kalinya..” gumaman-gumaman itu terus saja keluar dari bibirku. Disertai dengan isakan-isakan yang tak mau mereda.

“It’s okay Han.. gapapa.. itu tandanya kamu masih menghargai perasaan kamu sendiri.. udah ya,, jangan nangis lagi..”

“Aku mau berhenti, tapi susah Al..”

“Pelan-pelan kamu teangin diri kamu..” aku masih saja sesenggukan dalam pelukan Alea. Saat memejamkan mata, bayangan wajah bahagianya terlintas dalam pikiranku. Bayangan tawa serta senyumnya terasa nyata dan mampu menyayat hatiku.

Tuhan, apakah ini saatnya untuk aku melepas pria itu? apakah ini waktu yang tepat untuk aku memulai kehidupan yang baru? Tanpa adanya dia disampingku? Bila ini saatnya, mampu kah aku untuk bertahan? Mampukah Tuhan?!

&&&

Hari ini adalah hari pernikahannya. Aku memilih untuk tidak datang, karena aku takut merusak acara bahagianya. Aku duduk bersimpuh diatas ranjang. Ditemani oleh Alea yang masih setia bersamaku. Bila tak ada Alea, aku tidak yakin kalau aku masih hidup saat ini. Karena aku sudah lelah oleh kehidupanku, dan berpikir untuk mengakhiri hidupku. Karena setelah mendapat undangan itu, duniaku serasa berhenti berputar. Terpaku dalam satu waktu yang menyakitkan.

“Udah, jangan di inget terus.. kamu berhak bahagia Han karena kamu wanita yang baik.. kamu mempunyai banyak teman yang sayang dan penuh perhatian padamu.. kamu juga punya kerabat yag masih senantiasa mendukungmu.. you deserve someone better than him Han. You should be happy in your way.”

“Aku pamit pulang dulu, kalau ada apa-apa kamu bisa hubungi aku.”

Selepas kepergian Alea, aku terpaku. Merenungi segala ucapannya. Membuat berbagai pertanyaan tentang ucapan Alea barusan. Setelah lama aku merenung, ku rasa aku mendapatkan jawabannya. Seperti kata Alea, aku harus mampu bahagia tanpa pria itu.

Ku raih ponsel yang tergeletak di nakas dekat ranjang milikku. Jariku mengetikkan beberapa nomor pada dial pad, usai tanda hijau ku tekan, ku dekatkan ponsel itu ke telinga.

“...”

“Maaf, aku tak bisa datang ke pernikahanmu, karena ada banyak alasan yang membuatku memilih untuk tidak datang. Kau tau Sungjin-ah,, aku bahagia atas pilihan yang kau buat.. aku berharap yang terbaik untukmu.. aku bahagia melihat kau bisa menentukan pilihanmu pada seorang wanita yang kau cinta.. aku harap, ini yang terakhir ya.. hahaha”

“..”

“Kau harus bahagia dengan pilihanmu itu.. jangan sampai bosan dengannya karena aku yakin dia tidak semembosankan aku.. jangan sakiti dia, karena aku yakin jika dia adalah wanita yang sangat baik, tentunya lebih baik dariku.. perlakukan dia dengan baik, pantas dan lembut, karena aku yakin bahwa dia berhak mendapatkan hal itu darimu..”

‘Lebih pantas dariku’ imbuhku dalam hati.

“Karena kau sudah bahagia, mungkin ini saatnya untuk diriku merasakan arti kata bahagia. Kau tahu, sampai sekarang aku tak paham betul dengan arti kata itu.. sekarang, aku ingin lebih memahaminya, dan aku tidak mau memahaminya bersamamu. Aku ingin kita berjalan sendiri terlebih dahulu. Mencoba untuk melupa sesaat hingga saat yang lebih baik nantinya.. terdengar egois memang, tapi, ini adalah pertahanan terakhir dari diriku.. ku harap kau mengerti itu. terima kasih atas segalanya. Semoga kau bahagia atas pernikahanmu. Aku pergi dulu, sampai bertemu di lain waktu..”

 

TUT... TTUUTT.... TTTUUUTT...

 

Penulis : [bungsu]