Urgensi Pengesahan RUU Perampasan Aset

Urgensi RUU Perampasan Aset kembali disuarakan sejumlah pihak seiring munculnya kasus aparatur negara dengan penambahan harta kekayaan yang tidak wajar dan tidak sesuai dengan profilnya. Selain itu, merosotnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pun membuat urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset kembali mengemuka. Merespon laporan Transparency International terbaru, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mengalami penurunan sebesar 4 poin dari tahun sebelumnya. Dimana pada tahun 2022, Indonesia mencatat skor IPK sebesar 34 yang kemudian menurun dan menyentuh skor IPK sebesar 38. Skor tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat ke-110 dari 180 negara yang telah disurvei, yang mana penurunan tersebut juga menjadi penurunan tertinggi sejak tahun 1995.

Dalam menanggapi hal ini, Presiden Joko Widodo telah memberikan instruksi tegas yang mendorong RUU Perampasan Aset dapat segera disahkan dan dapat digunakan sebagaimana mestinya. Sebagaimana diketahui, RUU Perampasan Aset telah dikaji dan diusulkan selama lebih dari satu dekade, namun nyatanya RUU Perampasan Aset tak kunjung disahkan. Bahkan mengingat saat ini RUU Perampasan Aset telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023, sehingga seharusnya tidak perlu menunggu waktu yang cukup lama untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset tersebut. Namun, pada nyatanya hingga kini pembahasan RUU Perampasan Aset belum tampak meskipun telah masuk dalam daftar prioritas pemerintah.

Diketahui, sejumlah pihak telah menyuarakan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset agar dapat segera disahkan, namun tak jarang orang mempertanyakan apa urgensi RUU Perampasan Aset sebenarnya? Dilansir dari koran.humas.ugm.ac.id, bahwa urgensi Pengesahan RUU Perampasan Aset adalah sebagai berikut:

  • Solusi efektif mengatasi permasalahan korupsi di Tanah Air
  • Menjadi salah satu cara untuk mengembalikan kekayaan negara
  • Menghemat waktu dan biaya penanganan perkara
  • Memperluas jangkauan perampasan aset sehingga meningkatkan potensi asset recovery
  • Substansi aset untuk aset yang tidak dapat disita di luar negeri
  • Memberikan efek jera kepada koruptor
  • Tidak hanya menangani tindak pidana koruptor, RUU Perampasan Aset dapat menangani tindak pidana lain, yaitu:
  • Pendanaan terorisme
  • Penyelundupan
  • Perdagangan manusia
  • Narkotika
  • Kejahatan ekonomi lain

Tak hanya itu, dilansir dari kompasiana.com alasan RUU Perampasan Aset harus segera dibahas dan ditetapkan menjadi undang-undang, yaitu karena proses perampasan aset dan instrumen tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi oleh penegak hukum dirasa kurang fleksibel walaupun telah diatur asas pembuktian terbalik. Kemudian, adanya konsep perampasan aset tanpa penghukuman atau pemidanaan terhadap pelaku yang dikenal dengan non conviction based asset forfeiture.

Disisi lain, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset diharapkan menjadi sebuah sarana penting dalam memberantas tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya. RUU ini dapat memberikan sinyal kuat bahwa pemerintah atau negara tidak lagi bertoleransi terhadap kejahatan-kejahatan tindak pidana tersebut. RUU Perampasan Aset juga diharapkan menjadi instrumen penting dalam hal penyitaan aset yang diperoleh dari hasil tindak kejahatan maupun dalam hal pengembalian aset yang telah dirampas oleh para pelaku kejahatan.

Selain itu, menurut Yenti Ganarsih seorang pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), mengatakan bahwa RUU Perampasan Aset bukan hanya dijadikan sebagai alat untuk merampas aset dari koruptor. Namun juga digunakan untuk pelaku tindak pidana lainnya, seperti pada kasus yang ramai dibincangkan pada beberapa pekan terakhir yakni kasus Rafael Alun hingga kasus-kasus terkait harta atau kekayaan yang didapatkan dari perdagangan narkoba. Seorang peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter juga mengharapkan RUU Perampasan Aset dapat membuat pengusutan perolehan harta seperti pada kasus Rafael Alun tidak berbelit atau bahkan tidak berulang di masa yang akan datang.

 

Penulis: Sherly Ananda C. (SAC)

Sumber:

BBC. (2023, 29 Maret). Mengapa RUU Perampasan Aset penting di tengah terungkapnya kekayaan fantastis pegawai pemerintah?. Diakses pada 31 Maret 2023, dari https://www.google.com/amp/s/www.bbc.com/indonesia/articles/c7287vzd8zko.amp

Fatch, A. (2023, 27 Maret). Urgensi Pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana: Harapan dan Tantangan. Diakses pada 31 Maret 2023, dari https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/ahmadfatch7055/64212cf44addee26d976a662/urgensi-pengesahan-ruu-perampasan-aset-tindak-pidana-harapan-dan-tantangan

Rahayu, K.Y., Nurfaizah, A. (2023, 15 Maret). Pembahasan RUU Perampasan Aset Masih Terkatung-katung. Diakses pada 31 Maret 2023, dari https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/03/14/pembahasan-ruu-perampasan-aset-masih-terkatung-katung

Rahayu, K.Y. (2023, 1 Maret). RUU Perampasan Aset Tak Kunjung Dibahas. Diakses pada 31 Maret 2023, dari https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/03/01/ruu-perampasan-aset-tak-kunjung-dibahas?status=sukses_login&status_login=login

Admin Pusat Pemberitaan. (2023, 14 Februari). Urgensi Segera Disahkannya RUU Perampasan Aset. Diakses pada 31 Maret 2023, dari https://www.rri.co.id/editorial/1396/urgensi-segera-disahkannya-ruu-perampasan-aset?utm_source=editorial_main&utm_medium=internal_link&utm_campaign=General%20Campaign

Harn. (2022, 29 Oktober). Urgensi Pengesahan RUU Perampasan Aset demi Atasi kasus Korupsi. Diakses pada 31 Maret 2023, https://koran.humas.ugm.ac.id/2022/10/29/urgensi-pengesahan-ruu-perampasan-aset-demi-atasi-kasus-korupsi/

 

Kontroversi Proyek Willow Project

Willow Project merupakan proyek kontroversial yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial akhir-akhir ini. Bahkan, tagar #StopWillow di Twitter dan Tiktok sedang menjadi Trending Topic dan digunakan oleh banyak pengguna kedua sosial media tersebut. Proyek ini sendiri dibuat dengan tujuan untuk menaikkan ekonomi masyarakat yang berada di Alaska, proyek ini juga diperkirakan memiliki 600 juta barel minyak yang sangat menguntukan ekonomi wilayah tersebut. Namun, mengapa proyek ini dikecam banyak orang?

Masyarakat dunia, terutama aktivis lingkungan berpendapat bahwa proyek ini dapat menjadi salah satu penyebab dari perubahan iklim yang akan mengancam komunitas satwa, ekosistem dan manusia sendiri. Jika proyek ini berjalan, akan ada sekitar 287 juta ton karbon dioksida yang dilepaskan selama 30 tahun ke depan yang akan menimbulkan pemanasan global.

Pelaksanaan Willow Project di Alaska akan menjadi pusat dari industri minyak bumi selama beberapa dekade ke depan, yang mana mengeluarkan emisi beracun dan polusi gas rumah kaca yang akan mempercepat perubahan iklim global. Setelah kecaman tentang proyek ini meledak di media sosial, sebuah petisi yang mendukung pemberhentian proyek ini muncul di laman change.org dan ditandatangani oleh 4 juta orang lebih.

Kecaman dari masyarakat global ternyata tidaklah cukup untuk memberhentikan proyek besar ini. Pada 13 maret 2023, Joe Biden yang merupakan Presiden Amerika Serikat memberikan izin terhadap pelaksanaan Willow Project. Padahal, Joe Biden berjanji tidak akan menyetujui proyek pengeboran minyak dan gas baru di lahan publik pada pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 2020 lalu.

Setelah persetujuan dari Presiden Amerika Serikat, proyek ini juga didukung oleh kelompok Penduduk Asli Alaska di Lereng Utara. Kelompok ini berpendapat bahwa dengan adanya pengeboran tersebut, akan menjadi sumber utama dari pendapatan di wilayah tersebut. Hal tersebut dikarenakan pendapatan dari proyek ini diperkirakan dapat menciptakan 2.000 lebih lapangan pekerjaan baru dan dapat digunakan untuk mendanai pendidikan, pelayanan publik dan sarana kesehatan untuk wilayah tersebut. Proyek ini juga bermanfaat untuk mengembangkan sumber daya energi yang ada di negara bagian tersebut. Selain itu, kebutuhan energi global juga semakin tinggi dikarenakan konflik Rusia-Ukraina yang menyebabkan minimnya stok energi.

Dari sekian banyak keuntungan yang bisa didapatkan dari berjalannya proyek ini, perlu diingat bahwa Willow Project juga harus mempertimbangkan dampak dan konsekuensi jangka panjang bagi lingkungan dan masyarakat setempat maupun global. Saat membuat keputusan tentang proyek pengeboran minyak Willow ini, penting untuk mempertimbangkan dampak perubahan iklim terhadap dunia yang akan terjadi. Oleh karena itu, diperlukan alternatif yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan energi global. 

 

Penulis: Alisha Dyah Shafira (ADS)

Baju Baru Hari Raya: Antara Tradisi dan Konsumerisme

Pandemi covid-19 penyakit menular yang disebabkan oleh coronavirus telah melanda Indonesia selama kurang lebih 3 tahun sejak tahun 2020. Virus ini pertama kali mewabah di Wuhan, Tiongkok. Covid-19 menjadi sebuah pandemi yang melanda banyak negara di seluruh dunia. Covid-19 dapat menyebar dari orang ke orang melalui percikan-percikan dari hidung atau mulut yang keluar saat orang yang terinfeksi batuk, bersin atau berbicara, kemudian menempel di benda dan permukaan lainnya. Orang dapat terinfeksi dengan menyentuh benda atau permukaan tersebut. Menurut databoks katadata, Indonesia telah kehilangan 160,49 ribu orang per 23 Desember 2022 akibat covid-19. Dengan jumlah tersebut, Indonesia menduduki peringkat kedua tertinggi dari Worldometer pada angka kematian covid-19 di Asia. Adanya pandemi covid-19, membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mencegah penularan virus dengan memberlakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). 

Kebijakan PPKM membuat kehidupan masyarakat menjadi berbeda dengan sebelumnya, terutama masyarakat yang beragama Islam terpaksa melalui Bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri di rumah saja. Salah satu tradisi yang biasa dilakukan saat menjelang lebaran ialah membeli pakaian baru di pusat perbelanjaan atau pasar tradisional untuk dikenakan saat Hari Raya Idul Fitri. Namun, karena adanya pandemi dan PPKM masyarakat menjadi tidak bisa membeli pakaian baru secara langsung di mall atau pasar. Akan tetapi, pada tahun 2020 saat menjelang lebaran, masyarakat menjadi lupa kondisi pandemi. Masyarakat berbondong-bondong pergi ke pusat perbelanjaan dan pasar tradisional untuk membeli pakaian baru tanpa memperhatikan protokol kesehatan. Hal ini nyata terlihat dalam beberapa foto yang tersebar di media sosial pada bulan Mei 2020, seperti yang terjadi di Roxy Mall Kabupaten Jember dan Pasar Tradisional Tanah Abang di Jakarta Pusat. Aksi ini merupakan bentuk pelanggaran protokol kesehatan COVID-19. 

Dalam foto yang beredar tersebut, terlihat masyarakat berdesak-desakan menuju pintu masuk mall, bahkan ada warga yang terlihat menggendong anak-anak dan tidak memakaikan anaknya masker. Padahal, anak-anak sangat rentan terpapar virus karena daya tahan tubuhnya yang lemah. Perintah untuk jaga jarak minimal 1 meter pun tak diindahkan sama sekali. Selain itu, terlihat salah satu warga tidak mengenakan masker, ada pula yang mengenakan masker akan tetapi masker diturunkan hingga ke leher. Fenomena ini kembali terjadi pada tahun berikutnya pada bulan Mei 2021 saat menjelang lebaran, Pasar Tradisional Tanah Abang di Jakarta Pusat kembali dibanjiri pengunjung. Masyarakat yang mayoritas beragama islam berbondong-bondong membeli pakaian baru untuk lebaran sebagai simbol rebirth atau lahir kembali ke dunia dalam keadaan bersih. Hal ini dikarenakan Hari Raya Idul Fitri merupakan momen untuk bermaaf-maafan atau biasa disebut kembali ke fitrah (bebas dari dosa). Setelah satu bulan menghapus dosa dengan menjalankan ibadah puasa, maka bulan Ramadan menjadi bulan pengampunan yang akan melahirkan kembali orang Islam seperti bayi tanpa dosa. Sehingga memakai baju baru saat lebaran menjadi simbol umat islam kembali ke dunia dalam keadaan yang bersih.

Ketika pandemi belum benar-benar berakhir, pada tahun 2022 fenomena tahunan ini tetap terjadi. Jumlah kasus positif covid-19 pada tahun 2022 memang sudah banyak mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Hal inilah yang memicu bangkitnya euforia masyarakat untuk berbelanja pakaian baru untuk lebaran. Tidak adanya lagi kebijakan PPKM, membuat masyarakat seperti harimau lapar yang siap menerkam (membeli) pakaian baru di mall dan pasar. Dari tahun ke tahun, saat menjelang lebaran Pasar Tradisional Tanah Abang memang selalu banjir pengunjung. Fenomena ini juga menyebabkan lalu lintas disekitarnya menjadi macet. Pada akhir tahun 2022 kebijakan PPKM telah dicabut, kemudian disusul pada tahun 2023 Presiden Jokowi telah memperbolehkan masyarakat tidak menggunakan masker di luar ruangan. Hal ini menunjukkan pandemi telah berakhir di Indonesia, tidak ada lagi yang akan menghalangi masyarakat untuk berbelanja baju lebaran seperti biasanya, semua back to normal. Melansir dari kompas.id, Pasar Tradisional Tanah Abang telah ramai dibanjiri pengunjung yang akan membeli baju lebaran pada 12 Maret 2023. Padahal pada saat itu bulan suci Ramadan saja belum dimulai, tapi antusias masyarakat untuk melaksanakan tradisi membeli baju baru sudah tinggi.

Bulan suci Ramadan dianggap sebagai bulan pengampunan, yang mana umat islam biasanya akan lebih rajin beribadah dan mengerjakan amalan agar mendapat ampunan dari Allah SWT. Asketisme juga menjadi sebuah ajaran dari datangnya bulan suci Ramadan, kita dianjurkan untuk berfokus ibadah dan meninggalkan segala hal yang sifatnya hanya duniawi. Akan tetapi, tradisi atau kebiasaan yang ada di umat islam Indonesia justru berbanding terbalik, konsumerisme saat bulan Ramadan justru meningkat. Adanya perkembangan teknologi membuat masyarakat menjadi semakin konsumtif dengan berbelanja online. Tak hanya pasar dan mall saja yang ramai, namun berbagai e-commerce juga banjir pembeli. Berdasarkan hasil riset Snapcart tahun 2023, sebanyak 85% responden memilih gratis ongkir sebagai promosi yang paling dicari untuk Ramadan. Lalu, sebanyak 75% responden memilih voucher diskon atau potongan harga, 68% responden memilih cashback, 65% responden memilih flash sale, dan 31% responden memilih keseruan hadiah. Riset lain dari JakPat pada tahun 2022 juga menunjukkan aktivitas belanja online meningkat pada pekan ketiga bulan Ramadan, dengan produk yang paling banyak dibeli adalah pakaian (38%). Sebanyak 28% responden menghabiskan Rp300.000 hingga Rp500.000 untuk berbelanja pakaian pada pekan ketiga bulan Ramadan. 

Fenomena tahunan ini merupakan wujud dari gaya hidup yang konsumtif sebagai ciri dari konsumerisme. Konsumerisme adalah “atribut masyarakat” (Bauman, 2007: 28), lebih dari sebuah tindakan konsumsi yang dilakukan tidak dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan (Lodziak, 2002: 2). Konsumerisme selama bulan Ramadan yang meningkat menjadi perdebatan karena sebagian orang berpikir menyambut lebaran harus dengan membeli pakaian baru apapun situasinya, sedangkan sebagian masyarakat yang lain memilih tidak berbelanja dengan mengedepankan kerasionalan pemikiran untuk membeli pakaian hanya jika sudah tidak layak pakai dan ingin mengurangi limbah pakaian. Fenomena konsumerisme setiap lebaran ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu pertama, tradisi yang sudah tertanam secara turun temurun sulit diubah. Tradisi berbelanja pakaian baru sudah tertanam sejak dahulu pada masyarakat beragama Islam. Hal ini didasarkan atas pemikiran Hari Raya Idul Fitri memiliki arti kembali suci, berarti masyarakat mengenakan sesuatu yang baru dan suci dalam menyambut dan merayakan lebaran.

Kedua, stigma negatif yang diberikan oleh sebuah kelompok masyarakat sebagai konsekuensi dari tradisi yang sudah tertanam. Stigma itu akan muncul ketika salah satu dari anggota kelompok masyarakat  tidak menjalankan tradisi. Mereka akan dianggap sudah melenceng dari tradisi dan terkesan tidak menghargai datangnya Hari Raya yang suci. Dalam Islam saat merayakan Hari Raya Idul Fitri hal yang harus kembali suci adalah diri seseorang, bukan penampilan luar seseorang. Maka merayakan lebaran tanpa mengenakan pakaian baru bukan suatu kewajiban melainkan hanya sebuah kebiasaan. Ketiga, rasa gengsi dan eksistensi.  Dahulu ada ungkapan cogito ergo sum oleh Descartes seorang filsuf ternama asal Prancis yang berarti aku berpikir maka aku ada. Sekarang di era konsumerisme seolah muncul ungkapan baru yaitu aku belanja maka aku ada. Dimana masyarakat berlomba-lomba berbelanja untuk memenuhi rasa gengsi dan menjaga eksistensi agar diakui oleh masyarakat. Pemenuhan rasa gengsi dan eksistensi dapat terpenuhi dari simbol yang melekat pada barang yang dibeli. 

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jean Baudrillard bahwa yang dikonsumsi bukan lagi use atau exchange value, melainkan “symbolic value”,  maksudnya orang tidak lagi mengkonsumsi objek berdasarkan karena kegunaan atau nilai tukarnya, melainkan karena nilai simbolis yang sifatnya abstrak dan terkonstruksi (Boudrillard, 2004). Simbol yang dimaksud adalah sesuatu yang bersifat abstrak yang melekat pada barang yang dibeli, sehingga mengenakan pakaian baru menjadi simbol yang tersorot pada saat merayakan lebaran atau lambang merayakan. Eksistensi yang berusaha dibangun justru melupakan nilai kebenaran, hal ini dapat dilihat ketika masyarakat nekat berdesak-desakan untuk belanja pakaian saat pandemi covid-19. Mereka rela untuk tidak menjaga jarak (melupakan kebenaran), demi menjaga eksistensi saat lebaran dengan berpakaian baru. Hal ini menunjukkan tindakan yang dilakukan bukanlah tindakan rasional instrumental, yang mana seharusnya tindakan ini dilakukan apabila antara keinginan memenuhi tradisi berpakaian baru saat lebaran (tujuan) dan pembelian pakaian baru sesuai protokol COVID-19 (cara) masuk akal.

 

Penulis: Fatimah Alya (FA)

 

Referensi:

Darmawan, Agus Dwi. (2022). Total Kematian Covid-19 Indonesia Urutan Ke-2 di Asia. Diakses pada 30 Maret 2023, dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/12/23/total-kematian-covid-19-indonesia-urutan-ke-2-di-asia

Dihni, Vika Azkiya. (2022). Belanja Online Meningkat Jelang Lebaran, Ini Produk yang Banyak Dibeli. Diakses pada 30 Maret 2023, dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/05/01/belanja-online-meningkat-jelang-lebaran-ini-produk-yang-banyak-dibeli

Rahayu, Isna Rifka Sri. (2023). Tren Perilaku Konsumen Jelang Ramadhan: Pilih Gratis Ongkir Ketimbang Promo Lainnya. Diakses pada 30 Maret 2023, dari https://money.kompas.com/read/2023/03/18/183000226/tren-perilaku-konsumen-jelang-ramadhan.

Ramadhan, Azhar Bagas. (2023). Jokowi: Di Luar Ruangan Sudah Tak Wajib Pakai Masker. Diakses pada 30 Maret 2023, dari https://news.detik.com/berita/d-6584262/jokowi-di-luar-ruangan-sudah-tak-wajib-pakai-masker.

Tipsen, Kebiasaan Buruk Mahasiswa yang Dilestarikan Bersama

Fenomena titip absen atau tipsen di kalangan mahasiwa, merupakan sebuah fenomena buruk yang tidak jarang kita temui selama masa perkuliahan dan mungkin, kita juga pernah melakukan tipsen semasa perkuliahan kita. Sebenarnya, mengapa tipsen ini masih marak dilakukan oleh mahasiswa?

Titip absen masih marak dilakukan bisa disebabkan oleh banyak hal. Contohnya seperti kurangnya rasa tanggung jawab atas dirinya-sendiri. Dengan kurangnya rasa tanggungjawab ini, mahasiswa akan menggampangkan perkuliahan dan merasa “yang penting presensi aja”. Selain itu, kegiatan tipsen yang sebenarnya adalah pelanggaran justru dianggap sebagai sesuatu yang biasa (dinormalisasi oleh mahasiswa). Sebab itu, kebiasaan buruk ini terus berlangsung hingga sekarang, dan tentunya dampak tipsen ini merugikan mahasiswa itu sendiri. Walaupun jumlah presensi mahasiswa tetap penuh 100% tetapi tentu saja mahasiswa melewatkan pembelajaran penting yang disampaikan dosen. 

Selanjutnya, aktivitas tipsen selain berdampak buruk untuk pelaku juga berdampak buruk bagi mahasiswa lain, terkhusus teman sekelas. Dalam perkuliahan di kelas ketika ada salah satu mahasiswa yang melakukan tipsen, dosen melakukan pengecekan presensi dan diketahui bahwa ada mahasiswa yang mengisi presensi namun tidak hadir. Maka dosen akan menilai kelas tersebut sebagai kelas yang buruk dan mereka yang datang yang mendapatkan getahnya, seperti; omelan dan sindiran. Sehingga kebiasaan tipsen ini harus diubah. Dengan berubahnya kebiasaan buruk tipsen ini, mahasiswa bisa menjadi manusia yang lebih bertanggungjawab atas dirinya-sendiri dan sekitarnya sebagai seorang mahasiswa.

Untuk mengurangi kebiasaan tipsen selain dari mahasiswa, dosen juga perlu mengambil peran dengan cara melakukan pengecekan ulang mengenai siapa saja yang presensi dan siapa yang hadir, apakah sesuai atau tidak. Dosen juga bisa menggunakan wewenangnya untuk menindak lanjut siapa-siapa saja yang melakukan tipsen. Dengan upaya aktif dari pihak mahasiswa dan dosen, kita bisa meminimalisir para oknum mahasiswa tipsen ini. 

Terimakasih. Jangan tipsen, ayo kelas!

 

Penulis: Rima Kumara Dewi (RKD) 

Editor: Tim Redaksi LPM PRIMA FISIP

Diskusi, Ibarat Senjata Perang bagi Mahasiswa

Diskusi mampu menciptakan iklim kompetitif yang akan melahirkan ide untuk diangkat sebagai topik pembicaraan. Mencari ide untuk topik diskusi terkadang sulit untuk beberapa orang, tetapi bagi sebagian orang lain menciptakan ide adalah hal yang biasa. Sebagai contoh topik pembicaraan dapat menemukan kejadian yang sedang hangat di lingkungan sekitarnya dan isu atau wacana baru yang sedang terjadi.

Berstatus sebagai mahasiswa di kampus, dugaan saya mereka hanya berorientasi untuk mendapatkan nilai “A” atau “AB”; tanpa ada kebolongan kehadiran; lulus cepat; dan cari kerja. Lebih jauh dari itu, seorang mahasiswa akan dihadapkan dengan tanggung jawab dibenaknya, atas yang didapatkan selama dibangku perkuliahan. Mahasiswa yang memang benar-benar berjuang dan meniti proses pembelajaran di kampus akan merasakan pahitnya menjalani proses itu. Belum lagi gelarnya, belum lagi peranannya di kala pengabdian kepada masyarakat.

Kehidupan kampus merupakan dunia yang menyimpan begitu banyak potensi yang dapat dieksplorasi dengan baik. Potensi itu ada di dalam diri seorang mahasiswa dengan memanfaatkan fasilitas yang ada. Diri seorang mahasiswa akan berkembang jika ada dukungan dari faktor lingkungan yang mumpuni, serta faktor usaha kesadaran akademik sehingga mampu memupuk kemajuan intelektual mahasiswa dari adanya interaksi positif. Faktor usaha tersebut menyoroti bahwa mahasiswa merupakan generasi muda yang memiliki peranan penting dalam proses maju dan berkembangnya suatu bangsa. Sebab, tanggung jawab mahasiswa salah satunya adalah “Meneruskan keberlangsungan negara yang merupakan tugas kaum muda, termasuk mahasiswa di dalamnya”.

Jika dicermati, arah perkembangan mahasiswa lebih kepada tuntutan akan potensi dan semangat untuk melahirkan motivasi. Menjadikan mahasiswa yang luar biasa, cerdas, serta berbudi pekerti luhur yang sejalan dengan negara dan bangsa ini memang tidaklah mudah. Untuk itu, mahasiswa benar-benar harus mengasah kepribadiannya dengan kesadaran di mana dirinya berada. Budaya membaca, diskusi, dan menulis merupakan budaya yang mengakar secara turun-temurun yang masih melekat menjadi tradisi.

Mahasiswa tanpa membaca, berdiskusi, dan menulis. Selayaknya perang tanpa membawa senjata, karena dari ketiga tradisi itu membuat pribadinya dapat menggali banyak pengetahuan. Membiasakan membaca adalah suatu hal yang dapat dikatakan wajib bagi seorang mahasiswa, dengan membaca dapat memperoleh banyak informasi dan pengetahuan baru tak terbatas. Jika mengikuti perkembangan media kini yang sedang hangat, ialah “Pengesahan Perppu Cipta Kerja” yang melahirkan isu turunan “Degradasi Check and Balances dalam Negara Hukum”, “Perppu Cipta Kerja Untuk Siapa?” ataupun “Kepentingan Rakyat atau Kepentingan Oligarki?”.

Diskusi adalah proses pertukaran pikiran, gagasan dan pendapat antara dua orang atau lebih. Tujuannya adalah untuk mencari kesepakatan dari pandangan ataupun pendapat, tetapi tidak semua proses pertukaran pikiran itu disebut diskusi. Diskusi dilakukan jika ada permasalahan yang hendak dicari alternative solusinya untuk memunculkan solusi (kesepakatan akhir dari hasil berdiskusi) tentang segala persoalan yang dijadikan bahan pembicaraan.

Kata diskusi berasal dari bahasa latin “discussus” yang berarti to examine. Discussus terdiri dari akar kata “dis” dan “cuture”. Dis memiliki arti “terpisah” sedangkan “cuture” yaitu menggoncangkan atau memukul. Secara etimologi, dicuture berarti suatu pukulan yang memisahkan sesuatu atau dengan kata lain membuat sesuatu menjadi jelas dengan cara memecahkan atau menguraikan (Arief, 2002): 145).

Lebih lanjut, kegiatan akademik dilakukan oleh individu yang berusaha mengembangkan potensi dirinya guna memperluas wawasannya. Kegiatan akademik tidak terlepas dari diskusi, sebagaimana diketahui bahwa dengan berdiskusi menjadikan sarana memperluas wawasan dan jejaring sosial melalui interaksi kedua pihak ataupun lebih.

Seorang akademisi sangat penting untuk mengedepankan etika diskusi. Sebab, akan memungkinkan terjadinya keberlangsungan diskusi yang kacau-balau, seperti praktik debat kusir yang tidak menemukan titik terang. Penggunaan bahasa yang baik, menyampaikan pendapat dengan sopan santun, menghargai pendapat lawan bicara, dan menjaga sikap adalah poin penting dalam etika berdiskusi.

Seringkali diskusi masih dipandang sebelah mata. Maka, menyamakan persepsi adalah jalan untuk memudahkan dalam menyelaraskan pandangan yang disampaikan dengan baik. Bertolak belakang dengan tujuan awal bahwa berdiskusi dapat menemukan solusi, melainkan mendapati kebingungan karena informasi yang didapat tidak utuh (simpang siur).

Menurut Killen dalam (Majid, 2013): 200) “diskusi adalah metode pembelajaran yang mengedepankan seseorang pada suatu permasalahan. Tujuan utama metode ini adalah untuk memecahkan masalah, menjawab pertanyaan, menambah dan memahami pengetahuan seseorang, serta untuk membuat suatu keputusan.”

Dari sini dapat ditelaah bahwa ada manfaat dari berdiskusi, yakni: (1) Membiasakan sikap saling menghormati dan menghargai; (2) Dapat mengembangkan daya pikir kritis, pengetahuan dan pengalaman; (3) Melatih untuk berpikir kritis; (4) Menumbuhkan kreativitas; dan (5) Melatih kemampuan berbicara di depan umum. Sehingga, tidak terlepas juga dengan manfaat lingkungan yang mendukung sebagai upaya untuk meningkatkan mutu di bidang akademik ialah dengan cara melalui perbaikan proses belajar. Berbagai konsep, wawasan, dan model tentang proses belajar yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dengan mengomparasikan konsep- konsep baru.

Aktualisasinya dapat berupa: diskusi kelas, diskusi kelompok kecil, simposium, diskusi panel, dan lokakarya untuk memaksimalkan proses pembelajaran di bidang akademik. Diskusi kelas merupakan kelompok pemecahan masalah yang biasanya ditemukan di ruang kelas dengan keterlibatan tenaga pendidik (guru/dosen) dan seluruh mahasiswa sebagai peserta diskusi. Lanjut, diskusi kelompok kecil dilakukan dengan melibatkan mahasiswa yang dikelompokkan secara spesifik/khusus yang biasanya beranggotakan 3-5 orang, pelaksanaannya dimulai dengan dosen menyajikan permasalahan secara umum, kemudian dilanjutkan kepada pembagian sub masalah yang harus dipecahkan oleh kelompok kecil. 

Kemudian, simposium sebagai metode mengajar dengan membahas suatu persoalan yang dipandang dari berbagai sudut pandang berdasarkan kemahirannya, ciri khasnya adalah sudah ada tim perumus kongkret untuk memutakhirkan dalam menyampaikan kesimpulan. Lalu, diskusi panel biasanya membahas masalah yang dilakukan oleh beberapa panelis (orang yang bertugas untuk menilai dan memberikan tanggapan, serta fenomena untuk mengujinya), keterlibatan peserta dengan berperan sebagai peninjau para panelis yang sedang melakukan kegiatan diskusi. Selanjutnya, lokakarya sebagai bentuk pertemuan yang membahas masalah praktis, teknis, dan operasional ditandai dengan tindak lanjut dari hasil seminar untuk memelihara perihal konseptual untuk diaktualisasikan secara kontekstual.

 

Penulis: Muhammad Farhan (MF)

 

Sumber Rujukan:

Arief, A. (2002). Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press.
Majid, A. (2013). Strategi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Majid, A. (2013). TEORI METODE DISKUSI DAN MOTIVASI BELAJAR . Retrieved Maret 25,

2023, from https://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB21413112073.pdf

Toleransi Masa Kini, Masih Penting atau Hanya Formalitas

Toleransi merupakan salah satu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal. Terkadang toleransi timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan, disebabkan karena adanya watak individu atau kelompok manusia untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari suatu perselisihan (Soekanto, 1982:71).

Menilik sejarah yang ada, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang toleran demi memungkinkan keadaan untuk menghindarkan diri dari perselisihan-perselisihan yang ada sebagai konsekuensi keberagaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Halim (2008) dalam artikel yang berjudul “Menggali Oase Toleransi” menyatakan bahwa toleransi berasal dari bahasa latin yaitu tolerantia yang berarti kelonggaran; kelembutan hati; keringanan; dan kesabaran. Secara umum istilah ini mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela, dan kelembutan. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menjelaskan toleransi sebagai sikap yang saling menghormati, saling menerima, dan saling menghargai ditengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi, dan karakter manusia. Oleh karena itu, toleransi harus didukung oleh wawasan pengetahuan yang luas, bersikap terbuka, berdialog, kebebasan berfikir dan beragama. 

Perlu kita ketahui bahwa terdapat dua model toleransi, yakni yang pertama ialah toleransi pasif yang berarti sikap menerima perbedaan sebagai sesuatu yang bersifat faktual. Sedangkan yang kedua ialah toleransi aktif berarti sikap yang melibatkan diri dengan hal yang lain ditengah perbedaan dan keberagaman (diversity). Toleransi aktif merupakan ajaran semua agama. Hakikat toleransi adalah hidup berdampingan secara damai dan saling menghargai diantara keberagaman yang ada. 

Lantas, muncul pertanyaan apakah toleransi dimasa kini masih menjadi hal penting untuk diterapkan atau hanya sekedar formalitas saja? Secara harfiah jika menyangkut tentang "toleransi" pada konsep kehidupan bangsa Indonesia tentu jawabannya ialah masih menjadi hal yang penting untuk diterapkan hingga saat ini. 

Namun, tidak terlepas dari konsep kehidupan bangsa Indonesia, sangat disayangkan saat ini Indonesia dapat dikatakan minim toleransi. Mengapa seperti itu? Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya keberagaman yang muncul di Indonesia membuat sebuah ketidakseimbangan yang dinamis, maksudnya ialah perbedaan yang terus berkembang dan berubah seiring dengan berjalannya waktu sehingga masyarakat hanya menerima keberagaman tersebut sebagai sebuah kenyataan tanpa adanya campur tangan sebagai bentuk toleransi dari masyarakat Indonesia sendiri. 

Disisi lain, semakin berkembangnya zaman dan pesatnya keberadaan perkembangan teknologi membuat sebuah budaya toleransi mengalami perubahan. Tentunya hal ini akan sangat berpengaruh kepada kehidupan, hal-hal yang ada di dalam teknologi khususnya dunia internet memberikan efek pada pemikiran masyarakat Indonesia dalam lingkup toleransi. Semakin berkembangnya akses media sosial akan membuat hilangnya batas-batas toleransi pada keberagaman yang ada di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa kasus yang muncul di media sosial tentang sikap dan tindakan intoleran antar masyarakat bernegara.

Dengan demikian, sangat diharapkan bagi dan kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia dari Sabang sampai dengan Merauke untuk menerapkan konsep toleransi aktif sebagai gaya hidup bernegara. Sehingga, bukan hanya sekedar sebagai masyarakat yang menerapkan toleransi pasif di kehidupan sehari-hari. Semakin berkembangnya teknologi dan zaman, serta berjalannya waktu. Tentu di dalamnya akan melibatkan banyak perbedaan serta muncul keberagaman. Harapannya, masyarakat Indonesia mampu membawa diri mereka untuk ikut bergabung dalam keberagaman negara Indonesia (suku, agama, ras, etnis, adat istiadat, dan budaya) dan bukan menjadi masyarakat yang “hanya menerima” sebuah keberagaman Indonesia sebagai sebuah fakta atau kenyataan. Dengan catatan bahwa masyarakat Indonesia perlu lebih mendalami, memahami, dan menerapkan wawasan toleransi antar warga negara.  

 

Penulis: Christina Maharani

 

Satu Dekade Lebih RUU Perampasan Aset Belum Disahkan, Sampai Mana Progresnya

Satu dekade lebih pengerjaan draft RUU Perampasan Aset bukan merupakan waktu yang singkat, namun hingga kini RUU Perampasan Aset tak kunjung disahkan. Tentu hal ini membuat pertanyaan besar dari berbagai kalangan pihak yang mendengar, sampai mana progresnya? Mengingat RUU tersebut dibutuhkan sebagai payung hukum untuk merespons kasus-kasus korupsi yang ada di tanah air. Perlu diketahui, RUU Perampasan Aset sebenarnya telah dibuat oleh pemerintah tepatnya Kementerian Hukum dan HAM pada tahun 2012 silam. Namun seiring bergantinya tahun, perkembangan RUU tersebut tidak ada. Seorang peneliti Formappi Lucius Karus pun mempertanyakan sikap pemerintah yang tidak mengusulkan RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas 2021. 

Bahkan, pada Bulan April 2022 kemarin sangat disayangkan sikap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menolak RUU Perampasan Aset masuk dalam daftar prioritas. Padahal, melihat kondisi Indonesia yang banyak diselimuti oleh kasus korupsi seharusnya RUU tersebut sangat urgent untuk segera dibahas dan juga disahkan. Melihat kondisi tersebut, sikap pemerintah dan DPR yang sama-sama tidak memperjuangkan pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset menunjukkan lemahnya semangat pemberantasan korupsi di tanah air. 

Urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset pun kembali mengemuka setelah ramai pemberitaan kekayaan pejabat publik yang tidak sesuai dengan profil pendapatannya. Fenomena yang dikenal sebagai “flexing kekayaan” yang menunjukkan gaya hidup mewah para pejabat publik dan keluarganya, membutuhkan pembuktian terbalik. Hal ini memicu munculnya pertanyaan publik mengenai progres dari RUU Perampasan Aset saat ini.

Per tanggal 14 Februari 2023, Kantor Staf Presiden (KSP) memberikan keterangan bahwasannya pemerintah masih dalam proses pematangan draf RUU, yang mana dalam waktu tersebut RUU Perampasan Aset masih dalam pembahasan pengajuan surat presiden (surpres) agar draft tersebut dikirimkan kepada DPR. 

Selain Kantor Staf Presiden (KSP), Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly setelah menghadiri acara penandatanganan komitmen pelaksanaan Aksi Pencegahan Korupsi 2023-2024, beliau menyampaikan bahwa draft RUU Perampasan Aset sudah diharmonisasi oleh Menkumham. Beliau juga berharap draft RUU tersebut bisa dikirimkan ke DPR tahun ini.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Edward Omar Sharif Hiariej juga mengungkapkan bahwasannya progres RUU Perampasan Aset per tanggal 10 Maret 2023 masih dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Beliau juga menambahkan bahwa dalam waktu dekat RUU Perampasan Aset tersebut akan diserahkan kepada presiden, yang kemudian akan dikirimkan kepada DPR setelah Surat Presiden (Surpres) terbit. 

Sebagaimana diketahui, RUU Perampasan Aset merupakan salah satu hal yang menjadi prioritas pemerintah, yang mana saat ini RUU Perampasan Aset telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah memberikan instruksi dan mewanti-wanti agar RUU Perampasan Aset segera disahkan. Seperti yang telah dipaparkan beliau dalam Konferensi Pers di Istana Merdeka pada Selasa (07/02/23), beliau mendorong agar RUU tentang perampasan aset dalam tindak pidana dapat segera diundangkan dan segera memulai pembahasan RUU pembatasan transaksi uang kartal. Oleh sebab itu, RUU Perampasan Aset ini harus segera disahkan dan dapat segera digunakan dengan sebagaimana mestinya karena peraturan ini bernilai penting, tidak merugikan siapapun selain orang yang melakukan korupsi dan tentunya peraturan ini dapat memberikan keuntungan bagi negara.

 

Penulis: Sherly Ananda C. (SAC)

 

Sumber: 

Jogjatribunnews.com. (2023, 10 Maret). RUU Perampasan Aset Masih Diharmonisasi, Wamenkumham: Kita Serahkan ke Presiden. Diakses pada 24 Maret 2023, dari https://www.google.com/amp/s/jogja.tribunnews.com/amp/2023/03/10/ruu-perampasan-aset-masih-diharmonisasi-wamenkumham-kita-serahkan-ke-presiden

Kompas.com. (2023, Maret 8). "Menkumham Ungkap Progres RUU Perampasan Aset yang Sudah Lama Mandek" [video]. Youtube, https://youtu.be/6xBgoauD9fo

Telusur.co.id. (2023, 6 Maret). PSI: Yang Menghambat Pengesahan RUU Perampasan Aset, Berarti Pro Korupsi. Diakses pada 24 Maret 2023, dari https://telusur.co.id/detail/psi-yang-menghambat-pengesahan-ruu-perampasan-aset-berarti-pro-korupsi

RRI.co.id. (2023, 14 Februari). Pemerintah Masih Matangkan Draft RUU Perampasan Aset. Diakses pada 24 Maret 2023, dari https://www.rri.co.id/anti-korupsi/163295/pemerintah-masih-matangkan-draf-ruu-perampasan-aset

M.kumparan.com. (2022, 14 April). RUU Perampasan Aset yang Terombang-ambing Selama 10 Tahun. Diakses pada 24 Maret 2023, dari https://www.google.com/amp/s/m.kumparan.com/amp/mfandra55/ruu-perampasan-aset-yang-terombang-ambing-selama-10-tahun-1xse9omEQj7

Jendelanasional.com. (2022, 21 April). RUU Perampasan Aset Ditolak DPR, Politik Kita Tidak Berpihak pada Rakyat. Diakses pada 24 Maret 2023, dari https://jendelanasional.id/headline/ruu-perampasan-aset-ditolak-dpr-politik-kita-tidak-berpihak-pada-rakyat/

Kompas.com. (2021, 15 April). RUU Perampasan Aset: Dibutuhkan tetapi Tak Kunjung Disahkan. Diakses pada 24 Maret 2023, dari https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/nasional/read/2021/04/15/10152721/ruu-perampasan-aset-dibutuhkan-tetapi-tak-kunjung-disahkan

 

Mempertanyakan Urgensi Perppu Cipta Kerja

Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja diterbitkan Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022 dan telah disahkan menjadi Undang-Undang oleh DPR RI dalam Rapat Paripurna, Selasa 21 Maret 2023. Penerbitan Perppu Ciptaker mendapat banyak dikritik oleh pakar hukum dan aktivis masyarakat sipil. 

Selain penerbitan Perppu Ciptaker dianggap menyalahi aturan, isi Perppu juga dianggap merugikan warga negara, utamanya pekerja. Masyarakat merasa tidak puas dengan produk kebijakan pemerintah, akan tetapi DPR tetap mengesahkan Perppu tersebut menjadi Undang-Undang. 

Secara definitif, Perppu dijelaskan sebagai peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden karena ada kegentingan yang memaksa. Sehingga aturan ini berkedudukan sama dengan Undang-Undang dan dikeluarkan presiden dalam situasi darurat. 

Dalam konteks Perppu Cipta Kerja, sebenarnya kegentingan seperti apa yang membuat presiden mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Melansir dari kompas.com, alasan pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja yang dijelaskan oleh Menko Airlangga adalah karena adanya kebutuhan mendesak, peningkatan inflasi dan ancaman stagflasi, perang Ukraina-Rusia, perang dagang AS-Tiongkok dan ketegangan geopolitik taiwan yang belum selesai. Sehingga, pemerintah merasa perlu untuk mengeluarkan Perppu No.2 Tahun 2022 untuk memberikan kepastian hukum pada investor.

Pertanyaan pertama, mengapa pemerintah tidak memperbaiki UU No. 11 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja seperti yang diamanatkan dalam Putusan MK No.91/PUU-XVII/2020 saja? Bahkan Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk segera memperbaiki dalam jangka waktu dua tahun sejak putusan ini ditetapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilaksanakan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja dianggap inkonstitusional secara permanen. Pemerintah justru mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2022 yang memiliki materi muatan yang mirip dengan UU No.11 Tahun 2020. Apakah waktu dua tahun tidak cukup untuk membuat perbaikan? Padahal DPR kita punya track record kilat dalam pembuatan undang-undang, meskipun di tengah masa reses dan pandemi. 

Pertanyaan kedua, bukankah kondisi ekonomi yang buruk, perang Ukraina-Rusia, konflik AS-Tiongkok sudah berlangsung sejak lama? Menurut mediaindonesia.com, perekonomian Indonesia tidak baik sejak pandemi, dalam pemberitaan detik.com potensi perang Ukraina-Rusia sudah terlihat sejak November 2021, dan potensi konflik AS-Tiongkok sudah terlihat Agustus tahun 2020 seperti yang disampaikan oleh Menteri Pertahanan Tiongkok, Wei Fenghe dalam pemberitaan mediaindonesia.com. Lalu kenapa pemerintah baru saja menerbitkan Perppu dengan pertimbangan antisipasi kondisi-kondisi diatas? Jika dibandingkan, materi muatan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja mirip dengan UU No.11 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, apakah pemerintah tidak mampu melakukan antisipasi sejak awal?

 

Penulis: Amar Ardiansyah

Menjelang Ramadan, Bagaimana Kabar Mahasiswa Rantau

Awal puasa atau 1 Ramadan 1444 H  diprediksi jatuh pada hari kamis tanggal 23 Maret 2023 menurut kriteria wujudul hilal dan Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS). Hal ini berarti puasa akan dimulai dua hari lagi. Bulan Ramadan tentunya bulan yang ditunggu oleh banyak orang khususnya kaum muslim, karena merupakan bulan yang penuh dengan ampunan. Tak hanya itu, dalam bulan Ramadan ini setiap pahala akan dilipat gandakan. Maka tak jarang kaum muslim berlomba-lomba untuk memperbanyak ibadah pada bulan berkah ini.

Dalam bulan Ramadan biasanya banyak tradisi yang melekat di Indonesia. Misalnya ngabuburit yang merupakan kegiatan menunggu waktu azan maghrib. Biasanya orang-orang ngabuburit dengan berburu takjil. Untuk takjil sendiri merupakan kudapan yang dimakan setelah berbuka puasa seperti gorengan, es campur, kolak pisang, dan lainnya. Tak hanya itu, ada juga tradisi sahur maupun berbuka bersama keluarga atau kerabat terdekat. Sayangnya tidak semua orang bisa melakukan tradisi tersebut bersama keluarga atau kerabat terdekat khususnya bagi mahasiswa rantau.

Sebagai mahasiswa yang baru merantau ke kota orang untuk menempuh pendidikan, ini merupakan pertama kalinya saya menjalani ibadah puasa Ramadan jauh dari keluarga. Tentu rasanya campur aduk, merasa sedih dan takut kesepian. Selain itu, saya sebagai mahasiswa perantauan akan mengalami suasana ibadah pada bulan Ramadan berbeda dari tempat tinggal. Perbedaan yang paling menonjol mungkin ketika sahur dan berbuka puasa. Apabila saat di rumah kita makan masakan orang rumah dan berburu takjil bersama, kali ini kita harus memikirkan sendiri, ingin makan apa, beli masakan atau memasak saja? Sungguh kebiasaan yang baru. 

Ditambah lagi saat sahur biasanya dibangunkan oleh orang rumah, kini harus effort untuk bangun sendiri. Adapun kebiasaan yang baru yaitu perihal ibadah tarawih, saat di rumah saya hanya perlu datang ke masjid terdekat. Namun, di kota orang ini tidak semua tempat tinggal mereka dekat dengan masjid termasuk kos saya.

Begitulah mungkin yang akan dialami oleh orang perantau kebanyakan, aneh, sedih, canggung dengan suasana puasa yang baru dan jauh dari keluarga. Tetapi kita perlu ingat bahwa kita tidak sendiri, banyak mahasiswa yang merantau di kota ini yang tentunya akan memiliki banyak kesamaan perihal kebiasaan yang baru tersebut. Sebagai sesama mahasiswa perantau kita harus saling mengingatkan, menyayangi satu sama lain seperti keluarga. Semoga ibadah puasa di perantauan tidak mengurangi eksistensi ibadah kita kepada Tuhan.

Penulis : Allysa Salsabillah

Editor : Tim Redaksi LPM PRIMA

 

Penerbitan Perppu Cipta Kerja Mengabaikan Partisipasi Publik

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022. Namun, perumusan dan materi muatan Perppu Ciptaker justru menjadi polemik dan mendapat banyak kritik. Perppu Cipta Kerja diterbitkan untuk menggantikan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan Inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). 

Seperti yang kita ketahui bersama, pengujian Undang-Undang Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi adalah menyangkut tata cara perumusan Undang-Undang Cipta Kerja yang tidak sesuai prosedur pembuatan Undang-Undang, sehingga cacat secara formil. Menurut DR. Ahmad Yani, SH. MH konsekuensi cacat formil itu membuat seluruh Undang-Undang Ciptaker, mulai dari pertimbangan hukum, batang tubuh hingga penjelasan Undang-Undang Ciptaker menjadi inkonstitusional. 

Cacat Formil pembentukan Undang-Undang Ciptaker memang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam banyak hal. Dalam putusannya, Makamah Konstitusi memberi waktu untuk pembuat undang-undang memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka waktu 2 tahun setelah putusan dibacakan. Artinya, apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja otomatis sinyatakan inkonstitusional bersyarat secara permanen. 

Alasan ketidakpastian hukum ternyata digunakan oleh Presiden sebagai dalil untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang memiliki materi muatan mirip dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Padahal, dalam Putusan MK No.91/PUU-XVII/2020 mengamanatkan pemerintah dan DPR agar memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja, bukan malah menerbitkan Perppu. 

Dalam proses penyusunan Undang-Undang Ciptaker tidak ada partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation). Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa selain yang ditentukan dalam aturan legal formal, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga terwujud keterlibatan masyarakat yang sungguh-sungguh. Dalam Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020, MK mengartikan partisipasi yang bermakna sebagai : pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard) kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered) dan ketiga, hak untuk mendapat penjelasan atas pendapat yang diberikan (right to be explained)

Penerbitan Perppu dapat dianggap sebagai langkah “alternatif” pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan investasi dan lapangan kerja, dari pada memperbaiki UU Cipta Kerja seperti yang diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sehingga dalam proses penyusunan peraturan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) tidak terjadi,  seharusnya dalam proses penyusunan peraturan, pemerintah harus menghadirkan ruang partisipasi masyarakat yang bermakna, khususnya bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas.

Dan hari ini, Selasa 21 Maret 2023 Perppu Cipta Kerja telah disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang. hiks.

 

Penulis: Amar Ardiansyah

Editor  : Tim Redaksi LPM PRIMA

 

Memangnya FISIP UNEJ Punya Perpus

Apapun program studinya, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) selalu mendambakan serta mengharapkan adanya kelengkapan dan kelayakan fasilitas yang ada di FISIP. Namun, sangat disayangkan hingga saat ini harapan-harapan mahasiswa FISIP masih jauh dari kata terwujud. Realitanya, proses pemenuhan harapan tersebut masih selalu menjadi  pertanyaan dari banyak mahasiswa. Sebagai contoh, kebanyakan dari mahasiswa baru tidak mengetahui bahwa FISIP memiliki perpustakaan. Bahkan, mahasiswa semester tengah (semester 4) berkata jujur bahwa dirinya kaget dan tidak tahu jika fakultasnya memiliki perpustakaan.  

Peletakan perpustakaan FISIP  berada di paling pojok lantai dua gedung C. Sehingga, jika ditinjau dari segi lokasi penempatan perpustakaan saja sudah terbilang tidak strategis. Hal ini dikarenakan lokasi tersebut jarang dilewati oleh kebanyakan mahasiswa, terutama mahasiswa baru. Lantai dua gedung C merupakan ruangan-ruangan yang sering di akses oleh mahasiswa semester akhir yang akan menuju ruang sidang. Sehingga mahasiswa baru dan mahasiswa semester tengah jarang berlalu lalang di situ. Dari tata letak perpustakaan FISIP, kita menemukan faktor pertama mengapa mahasiswa FISIP mengutarakan pertanyaan “Memang FISIP punya perpus?” atau “Dimana perpustakaan FISIP?”.

Menindaklanjuti persoalan faktor kurang eksisnya perpustakaan milik FISIP, bisa kita ingat  kembali. Saat masa penerimaan mahasiswa baru, apakah pihak Fakultas memberikan sebuah pengenalan dan sosialisasi bahwasanya FISIP memiliki perpustakaan yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh mahasiswa FISIP? Hal ini perlu ditanggapi oleh pihak Fakultas, agar keberadaan perpustakaan FISIP dapat memberikan akses literatur bagi seluruh mahasiswa FISIP. 

Berbicara mengenai literatur, faktor lain yang memunculkan pertanyaan mengapa sebagian besar mahasiswa, terutama mahasiswa baru FISIP tidak sadar bahwa fakultasnya memiliki perpustakaan ialah penyediaan akan buku literatur yang ada di perpustakaan. Buku literatur yang ada, didominasi oleh dokumentasi-dokumentasi berkas skripsi mahasiswa. Alhasil perpustakaan FISIP beralih fungsi menjadi tempat penyimpanan skripsi-skripsi mahasiswa.

Lalu, apakah bisa perpustakaan FISIP ini  berfungsi dengan sebagaimana mestinya? Jawaban atas pertanyaan tersebut akan bisa diwujudkan apabila pihak fakultas menaruh perhatian dan menindaklanjuti agar perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember menjadi sumber literatur yang dapat diandalkan dan dimanfaatkan oleh seluruh civitas akademika FISIP.

Penulis: Syahrina Rojabar Rizqiyah

 

 

Teknologi untuk Anak Usia Dini: Bagaimana Peran Orang Tua

Tidak dapat kita pungkiri perkembangan zaman saat ini begitu pesat, dan menghasilkan berbagai macam perubahan, yang terdiri dari perubahan sosial, lingkungan, pendidikan, hingga karakter seorang individu. Hal menarik yang perlu diperhatikan dari adanya perkembangan teknologi ialah efek dari keberadaan teknologi itu sendiri. Jaman sekarang kita dapat dengan mudah mengakses internet, sehingga bisa leluasa menelisik dunia maya. Keberadaan teknologi tersebut tidak hanya diperuntukkan kepada orang yang usia dewasa, melainkan juga kepada usia muda hingga lanjut usia. Hal ini dikarenakan internet sebagai salah satu keunggulan percepatan teknologi tidak memandang usia penggunanya dan semua orang tentu dapat menggunakannya. 

Jika teknologi atau internet diperuntukkan untuk segala usia lalu bagaimana dengan anak usia dini? Ya, saat ini dapat kita perhatikan bagaimana perilaku anak usia dini (dimulai dari usia 6 tahun-12 tahun) telah berubah. Dikatakan berubah dengan artian perilaku mereka telah cenderung meniru dari apa yang mereka tonton dan apa yang mereka simak dari internet. Tentu hal ini menjadi sebuah tanggung jawab moral yang perlu dibenahi. 

Bagi anak usia dini, tentu orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan karakter anaknya. Namun, mirisnya orang tua jaman now lebih gemar memberikan sebuah gadget kepada anaknya dengan alasan agar anak tersebut diam dan dapat bermain sendiri tanpa mengganggu urusan orang tuanya. Dari hal inilah orang tua perlu intropeksi diri, karena dengan memberikan sebuah gadget yang didalamnya terdapat akses internet dapat menyebabkan hal-hal yang mungkin tidak diinginkan bagi perkembangan otak sang anak. 

Ditambah lagi dengan beredarnya berita tidak mengenakkan yang menyangkut anak dan gadgetnya. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa 90% anak Indonesia telah kecanduan internet dan membuat mereka menjadi individu yang pasif pada sosialnya dan lebih aktif pada dunia mayanya. Saat ini banyak ditemukan kasus-kasus yang menunjukkan perubahan temprament atau kondisi emosional seorang anak yang berubah drastis karena dipengaruhi oleh hal-hal dalam gadget

Lalu jika demikian, bagaimana peran orang tua dalam mengawasi anaknya? Sebagai orang tua hendaklah dan memang seharusnya lebih mampu mengontrol anaknya dan mampu mengarahkan anaknya untuk dapat lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan sosialnya secara real life. Disisi lain, orang tua memang memiliki hak dan kebebasan dalam memberikan gadget kepada anaknya, namun alangkah baiknya jika setiap orang tua dapat mengatur waktu anak ketika menggunakan gadget tersebut. 

Hal ini menjadi tanggung jawab moral bagi orang tua modern dalam mendidik anaknya. Mengapa begitu? Hal ini bertujuan agar nantinya anak tersebut dapat bijak dalam menggunakan media internet. Dengan demikian, maka berhati-hatilah dalam menerapkan wawasan teknologi serta waspada ketika telah memberikan sebuah gadget kepada seorang anak, khususnya anak dibawah umur yang perkembangan otaknya masih mengikuti atau meniru apa yang ia lihat.

 

Penulis: Christina Maharani

Lingkungan Kampus: Hal yang Penting atau Hanya Sampingan

Sebagian besar calon mahasiswa pasti akan melihat seberapa bagus kampus yang akan dimasukinya, dari segi kualitas akademik, pelayanan sampai fasilitas yang dimiliki. Setiap mahasiswa pasti selalu memikirkan kampus impian mereka, yang nantinya akan membantu mereka selama proses pembelajaran. Apakah kampus itu swasta atau negeri? Apa saja yang disediakan kampus? Apakah lokasi kampus strategis?. Banyak pertanyaan yang selalu ada di pikiran mahasiswa. Sesuai dengan pepatah lama “Semakin bagus pendidikannya, semakin mahal pula biayanya”. 

Setiap kampus memiliki budaya lingkungan yang berbeda. Entah itu dari lingkungan sosial maupun lingkungan dalam kampus seperti fasilitas ruangan kelas, kamar mandi, perpustakaan, dan sebagainya. Lingkungan kampus menjadi aspek penting dalam menjalani perkuliahan mahasiswa. Mengapa? Apakah yang harus diperhatikan hanyalah pendidikan yang ditawarkan?. Setiap anggota komunitas, baik itu besar maupun kecil, pasti mencari rasa aman dan nyaman selama melakukan kegiatan. Karena rasa aman dan nyaman tersebut dapat mempengaruhi psikologi individu. “Semua kondisi dalam dunia ini yang dengan cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku, pertumbuhan, perkembangan atau life processes seseorang...” pengertian lingkungan menurut Sartain (seorang ahli psikologi Amerika). 

Setiap tahun kampus di Indonesia dibanjiri dengan kedatangan mahasiswa baru. Sehingga hal yang diperhatikan oleh kampus hanya sampul luar saja demi menarik “pelanggan”. Masih banyak kampus-kampus yang kurang memperhatikan lingkungan di dalam, karena mereka hanya beranggapan jika belajar di kelas sudah cukup baginya. Peran kampus bukan sekedar memberikan pendidikan saja tetapi memperhatikan lingkungan juga penting. Banyaknya prestasi yang dicapai mahasiswa di kampus, memang dapat menjadi poin tambahan terhadap reputasi kampus. Akan muncul anggapan “pasti kampus tersebut lingkungannya bagus, karena banyak keluaran mahasiswa prestasi disana”. Akan tetapi, prestasi tersebut hanya terdapat pada sebagian kecil mahasiswa. Prestasi tersebut juga dapat memberikan manfaat kepada mahasiswa lain di kampus, karena setiap mahasiswa sebenarnya memiliki tujuan yang berbeda-beda. 

Di kampus mahasiswa tidak hanya sekedar pergi kuliah, absen, belajar, dan pulang saja. Mereka juga bersosialisasi, berinteraksi dengan yang lain dan mengembangkan character-nya. Dengan penjelasan tersebut, masihkah ada pertanyaan “apakah lingkungan kampus itu penting?”. Kesadaran menjaga lingkungan kampus tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa, melainkan pihak kampus juga menjadi peran penting. Kampus masih menjadi kepercayaan mahasiswa sebagai “anak tangga” untuk meraih keberhasilan masa depan.  Lingkungan kampus menjadi faktor penting dalam meraih keberhasilan selama belajar di kampus. Dengan begitu, sadarkah kalian dengan lingkungan kampusmu?

Penulis: Abidah Sholsholat 

 

KEBEBASAN BERPIKIR MASIHKAH MENJADI MIMPI MAHASISWA UNTUK MENYUARAKAN KEBEBASAN TANPA ADANYA INTERVENSI

Lalu apa yang terlintas dipikiran menyoal suatu bentuk kawalan yang dikekang? Sejak lahir seorang individu dibekali pikiran untuk terlatih memikirkan segala hal yang sedang terjadi di lingkungan sekitarnya. Tahapan dia sebagai individu untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya akan berhadapan dengan keluarga, sanak saudara, dan masyarakat di tempat tinggalnya. Tempat tinggalnya mengajari banyak hal dari keberadaan dia sebagai seorang individu, serta konteks dimasyarakat yang selalu dituntut untuk memenuhi pemuas dan ketidakpuasan  dalam mencari sesuatu yang diinginkan untuk terwujudkan. Alhasil tidak sedikit pertanyaan yang muncul sejak lahir hingga seorang individu mengetahui sisi baik-buruk di lingkungan sekitar yang mendorong untuk berpikir melakukan pengamatan, penelitian dan penyeliikan. Sebenarnya, pengalaman yang sudah disuguhkan sejak dirinya lahir mampu untuk bersikap pada kebebasan berpikirnya sedari dini. 

Mengenal media informasi yang sering berada di postingan publik, seperti koran, majalah, dan media kabar lainnya, ternyata saat ini lebih memilih menggunakan cara-cara mudah dalam menyuarakan suara kabar terkini melalui bentuk yang efektif dan efisien untuk pemanfaatan ruang-waktu. Perkembangan menyuarakan suara kabar tersebut dihadapkan dari ragamnya dinamika pers dengan iklim dan situasi sosial politik pada suatu negara-masyarakat didalamnya terpahat mengenai eksistensi jagad pers. 

Eksistensi dan peran pers mahasiswa di Indonesia mulai muncul sejalan dengan lahirnya bentuk kesadaran semangat kebangsaan anti kolonialisme, para mahasiswa Nusantara yang dulunya mengenyam Pendidikan di Belanda sebagai pelopor lahirnya Gerakan-gerakan propaganda melalui suara kabar yang diterbitkan. Memang tidak terlepas degan hadirnya sejarah bangsa penjajah sebelum kemerdekaan Indonesia, dunia pers semakin menghangat dengan terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah suara kabar pertama yang dikelola oleh kaum muda bangsa ini. Kemunculannya dimaknai sebagai masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers dengan citra politik. Pemerintah Belanda meyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra), (NEWS, 2014). Namun, saat terbitnya kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Keorganisasian) pada Surat Keputusan Nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus, berdampak dikehidupan kampus menjadi kawasan “steril” dari aktivitas politik. Dengan kemunculan Surat Keputusan tersebut, mahasiswa tidak boleh melakukan kegiatan bernuansa politik. Jika ada yang nekat. Sanksi keras berupa pemecatan sudah disiapkan oleh birokrasi kampus, yang pada itu pemerintah memiliki power untuk mengintervensi di berbagai kampus. Kebijakan tersebut disertai oleh pembubaran “senat mahasiswa” dan “dewan mahasiswa” di perguruan tinggi. Kemunculan ini, ditandai dengan surat keputusan lanjutan Nomor 037/U/1979 tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan yang berhasil  menghilangkan aktivitas perpolitikan dan organisasi mahasiswa di kampus. 

Dengan begitu mengartikan bahwa mahasiswa pada hakikatnya menjadi manusia penganalisa, melalui peran penting yang dilakukan. Peran mahasiswa kini salah satunya identik dengan belajar menjadi wartawan yang sungguh dapat dikatakan bentukan profesi yang mulia. Wartawan atau pewarta adalah seorang yang berusaha memberi kabar tentang apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Profesi wartawan bisa diibaratkan sebagai profesi kenabian karena wartawan dituntun untuk menyebarkan kebenaran. Jika profesi nabi adalah menyebarkan kebenaran sesungguhnya, maka profesi wartawan adalah menyebarkan kebenaran faktual. Seperti halnya nabi, menjadi wartawan berarti siap menerima berbagai resiko. Resiko terberat wartawan adalah apabila kebenaran yang ia sampaikan salah atau kebenaran yang ia sampaikan, meskipun benar, tidak diterima orang lain. Seperti halnya seorang nabi, resiko wartawan adalah ditolak dari lingkungannya. Selain ditolak dari lingkungannya, nyawanya juga bisa terancam apabila kebenaran yang ia ungkapkan tidak disukai oleh orang lain. Seperti adagium yang menyatakan bahwa “ucapkanlah kebenaran walau itu pahit.”.

Meski begitu, undang-undang telah melindungi profesi wartawan dengan segala resikonya yang sedang bergelut di dunia pers . Perlindungan undang-undang terutama pada UU No. 40 Tahun 1999. Pasal 8 UU No.40 Tahun 1999 menyatakan bahwa “dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.” Perlindungan hukum tersebut sesuai dengan asas kebebasan berpendapat dalam demokrasi. Kebebasan berpendapat dalam demokrasi merupakan suatu yang esensial apabila asas ini bisa dilaksanakan dengan baik. Ternyata regulasi tersebut merupakan undang-undang pokok yang pertama kali dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) yang mengatur mengenai dunia pers Indonesia saat era reformasi. Sebelumnya, negara menggunakan UU NO. 21 Taun 1982 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Sebagaimana telah diubah dengan UU No.4 Tahun 1967.  Produk legislasi era “Orde Baru” dinilai merupakan cara pemerintah untuk mengekang kebebasan pers. Kekangan itu, ternyata juga mencoba untuk membredeli terhadap media massa, serta mendominasi sumber dan arah penyebaran informasi kepada khalayak publik.

Konsepsi trias politika (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Kekuatan pers menjadi pilar keempat dalam konteks demokrasi. Kekuatan pers sebagai pilar keempat demokrasi bersentuhan langsung dengan usaha untuk menjaga keseimbangan antara pilar-pilar penyelenggara negara, juga menjadi sarana bagi masyarakat untuk mengawasi hadirnya pemerintah  yang sudah pasti memiliki mandat untuk menjalankannya. Tentunya, usaha tersebut tetap berada pada ‘Ruang lingkup’. Ruang lingkup yang dimaksud ialah kampus, bahwa pers sebagai sarana media belajar dalam merespon fenomena dengan isu yang menjadi objek kawalannya

Wartawan setiap hari mengejar berita dan informasi untuk disiarkan melalui media atau tempat bekerja. Kerja para sesungguhnya mirip dengan apa yang dilakukan para filsuf, terutama dilihat dari upaya mencari kebenaran melalui pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan kepada narasumber. Mereka itu bagaikan para filsuf-filsuf masa kini, yang lebih memprioritaskan pertanyaan pada persoalan-persoalan sesuai momentum yang berkaitan dengan masalah kebahagiaan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat.” Buku Jurnalisme Modern, Saidulkarnain Ishak halaman 8. (Ishak, 2014)

Konteks kebebasan berpikir ialah apabila seorang wartawan/pewarta terkena kasus karena menulis konten yang sensitif, maka pers memiliki hak-hak sebagai usaha untuk merawat lahirnya pribadi yang kritis. Diantaranya, ada tiga hak yang dimiliki oleh wartawan ketika ia sedang melakukan kerja-kerja keprofesianannya. Hak pertama adalah hak tolak. Hak tolak adalah yang yang dimiliki wartawan untuk menolak mengungkapkan nama/identitas dari sumber berita yang harus dirahasiakannya. Hak ini akan menolong wartawan ketika ia takut namanya dicantumkan dalam penulisan sebuah berita yang berisiko tinggi. Kedua, adalah hak jawab. Hak jawab adalah hak seseorang atau kelompok untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Meski wartawan telah mengungkap fakta, adakalanya fakta tersebut merugikan seseorang yang diberitakan. Untuk itu, wartawan wajib memberikan hak jawab kepada orang yang bersangkutan supaya wartawan terhindar dari represi yang lebih buruk. Sepertihalnya wartawan yang boleh memberikan kebenaran melalui berita, seorang individu/ kelompok juga boleh memberikan klarifikasinya atas kebenaran yang ia miliki sendiri. Hak ketiga adalah hak koreksi. Hak koreksi adalah hak untuk mengoreksi atau memberitahukan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, terhadap suatu informasi, data, fakta, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan. Apabila ada kesalahan dalam pemberitaan, maka wartawan memiliki hak koreksi atas pemberitaan yang telah  dikeluarkan.

Apabila semua hak ini dipahami dan dilakukan dengan baik, maka tak ada lagi yang perlu ditakutkan untuk menjadi wartawan. Mengapa hal ini terjadi?  Sontak mengira, bahwa instrumen untuk meyuarakan ‘kebenaran’, ‘kejujuran’ dan ‘keadilan’ yang keberpihakannya kepada kaum tertindas menyoal hak asasi manusia salah satunya melalui keberadaan media pers mampu memberikan manfaat. (1) Kebenaran yang dapat ditegakkan merupakan bagian dari dakwah. Artinya, seluruh bentuk kawalan menjadi keharusan saat memandang realita sosial (fakta sosial) tanpa adanya suatu kebohongan. Umumnya ketika seorang individu meyukai kata-kata pujian, ataupun ucapan yang membesarkan hati. Ternyata melalui media pers dapat mengobarkan semangat kebangsaan pada antusiasme perlawanan dengan segala konsekuensinya yang tidak selalu menyenangkan, sebab ada kebenaran yang menyakitkan susah untuk diterima. Namun kabar itu tetap harus disampaikan. (2) Kejujuran pers juga memiliki keharusan untuk mengambil sikap bernai yang diungkapkan denga ucapan ataupun perbuatan secara spontan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Keadaan sebenarnya tanpa ada rekayasa sedikit pun. Menurut (Kesuma, 2022), 2012:16 mendefinisikan jujur adalah suatu keputusan seseorang untuk mengungkapkan perasaaanya, kata-katanya atau perbuatannya bahwa realitas yang ada tidak dimanipulasi dengan cara berbohong atau meniru orang lain untuk keuntungan dirinya. Kemudian, (3) Aristoteles mengungkap keadilan merupakan tindakan yang terletak di antara memberikan terlalu banyak atau pun terlalu sedikit. Maksudnya, yakni beliau menyatakan bahwa keadilan merupakan aktivitas memberikan sesuatu kepada orang lain (kewajiban) yang setara denga napa yang kita dapatkan dari orang lain (hak). Maka, pers mahasiswa memahami dan menerapkan konsep kebenaran, kejujuran, serta keadilan mampu memerikan support/dorongan lebih pada pengejawantahan secara kontekstual.    

Era serba-serbi modern dengan perkembangan pesat teknologi, pers mahasiswa perlu kiranya beradaptasi dengan zaman tanpa merubah dan melanggar aturan pakem yang berlaku (prinsip dan kode etik jurnalistik). Modern ini, media pers masih diyakini sebagai kekuatan negara dalam sistem demokrasi di Indonesia yang tidak tertandingi. Media pers merupakan simpul dari pilar keempat negara demokrasi. Pilar keempat adalah usaha-usaha pers dalam menjalankan peranannya di era modern melalui pelaku atau disebut sebagai jurnalis/wartawan modern. Dalam menjalankan perannya pers tujuan awal atau dasarnya adalah untuk pengabdian kepada masyarakat, namun seiring berjalannya waktu pers lebih berubah ke arah aspek komersial (dunia bisnis). Pengabdian kepada masyarakat melalui media pers, akhirnya tidak menjaga idealisme wartawan sebagai pilar keempat dengan pemilik perusahaan yang menerbitkan wadah untuk menjalankan pemberitaan. Sehingga, banyaknya terjadi konflik didasarkan kepentingan masing-masing yang menyebabkan lembaga pers sebagai self regulation, kini berubah menjadi mediator sebelum pada orde baru dewan pers menjadi regulator. Pemikir modern sudah seharusnya berpikir maju pada konteks realita yang sedang terjadi dalam memandang polemik, saat ini pers mampu menjadi mediator semacam pemilik perusahaan dan wartawan sebagai pekerjanya. Maka, sebagai pilar keempat demokrasi pada lembaga pers tetaplah bersikap independen salah satu keberadaannya dapat ditemukan di lembaga Pendidikan yaitu kampus. 

Artinya, setiap kampus atau instansi lembaga Pendidikan diberbagai penjuru daerah memiliki media informasi untuk memberitakan segala peristiwa untuk difungsikan sebagai alat penyampaian informasi dalam pemberitaan. Kampus FISIP Universitas Jember memiliki salah satu unit kegiatan mahasiswa yang disebut dengan “LPM PRIMA” sebagai ruang karya pengembangan bakat-minat mahasiswa dalam memproduksi seni tulisan, reportase dan  desain media informasi untuk kabar terkini. Kabar terkini tentunya tidak terlepas dari pemberitaan yang berupa maksud dan tujuan yang ada didalam isi pemberitaan. Tentunya, penyampaian pemberitaan harus lah berimbang. Berimbang juga disebut sebagai Cover Both Side yang merupakan istilah familiar di dunia jurnalistik. Secara sederhana bisa diartikan sebagai cara meliput dari dua sudut pandang yang berbeda atau berlawanan dengan menampilkan dua sisi pemberiataan. Dua sudut pandang juga terhubung dengan merespon isu atau permasalahan. Sehingga, perlunya proses pembelajaran dari seluruh aspek yang ditekuni di dunia jurnalistik, sebab pola seperti ini akan memudahkan dalam menyatakan sikap untuk keberpihakan yang jelas. Maka, perlunya menyatakan sikap didasarkan oleh hasil pengamatan yang menelan segala informasi dan menghindari hal yang bersifat kontroversial. Maksud menghindari kontroversi ialah pada kepentingan intervensi individu menjelma menjadi kepentingan kelompok, sehingga pers juga memiliki kepentingan kontradiktif, baik itu idealism berupa ideologi, hingga pada pemahaman kejadian yang tidak melebihkan maupun mengurangi, hal ini bertujuan untuk menghindari pemberitaan semacam berita “hoax”.

Penulis : Muhammad Farhan

Editor  : Tim Redaksi LPM Prima

Sumber Rujukan: 

Ishak, S. (2014). JURNALISME MODERN. Jakarta: PT Elex Media Komputido.

Kesuma, d. (2022, November 17). www.studinews.co.id. Retrieved from Pengertian Kejujuran, Karakteristik & Macam Sifat Jujur (Lengkap): https://www.studinews.co.id/pengertian-kejujuran/

NEWS, O. (2014, Januari 19). Keberpihakan Pers Mahasiswa. Retrieved from spiritmahasiswa.trunojoyo.ac.id: https://spiritmahasiswa.trunojoyo.ac.id/2014/01/keberpihakan-pers-mahasiswa-sebagai.html



 

 

Hak Asasi Mahasiswa : Dimana Kita Harus Mencari Perlindungan

Fenomena kasus bullying di kalangan remaja sudah tidak asing lagi bagi masyarakat. Banyak berita–berita yang memperlihatkan kasus bullying masih sering terjadi di zaman ini. Tak terkecuali, terjadi pada kalangan mahasiswa di kampus. Meskipun mahasiswa memiliki pendidikan yang lebih tinggi daripada siswa SMA maupun SD. Walaupun begitu, bullying tidak mengenal usia. Menurut data Komisi Perlindungan Anak (KPAI) pada tahun 2022, terdapat 226 kasus yang melibatkan hak asasi pelajar dan mahasiswa. Misalnya kasus yang diberitakan Kompas.com adanya aksi kekerasan yang dilakukan oleh senior kepada juniornya di Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang . Selain itu, ada juga kasus yang sempat viral, aksi pelecehan yang menimbulkan tindakan bullying di Universitas Gunadarma Depok. Banyak kasus bullying yang menjadi perhatian masyarakat. Akan tetapi, banyak juga kasus bullying yang mungkin tidak terlihat oleh masyarakat.

Sebagai mahasiswa rantau yang jauh dari orang tua, kita dipaksa mandiri menjalani kehidupan tanpa campur tangan orang tua. Segala masalah yang dihadapi harus dapat kita selesaikan sendiri. Mahasiswa juga diharuskan keluar dari zona nyaman, memasuki lingkungan yang berbeda, dan menjalin hubungan dengan orang-orang baru. Sebagai bentuk tindakan waspada, mahasiswa harus memilah dan memilih zona yang dimasukinya. Namun kerap sekali batasan-batasan tersebut menjadi diluar kendali, hal itulah yang menjadi penyebab bullying terjadi dalam sebuah kelompok. Bullying yang terjadi pada mahasiswa sering berupa penindasan, cemooh yang diluar batas, intimidasi, ataupun pelecehan seksual. Apabila di satuan pendidikan seperti SD, SMP, maupun SMA terdapat Bimbingan Konseling (BK) yang akan menangani siswa yang sedang bermasalah. Akan tetapi, bagaimana jika bullying terjadi pada mahasiswa. Siapa dan dimana mahasiswa bisa melaporkan masalah bullying yang terjadi?. Terlepas jauh dari orang tua dan berada pada lingkungan asing, kepada siapa mahasiswa mengeluhkan masalah yang dihadapi?.

Dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 20 berbunyi "Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak". Lembaga yang sering diketahui masyarakat,  Komisi Perlindungan Anak (KPAI) memiliki tugas untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemenuhan Hak Anak (UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Dibawahnya, terdapat Polsek atau Polres untuk melaporkan kasus bullying. Kemudian, lembaga yang paling dekat dengan mahasiswa yaitu Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di setiap Universitas. 

Akan tetapi, lembaga tersebut hanya digunakan ketika kasus bullying sudah terjadi atau hanya sebagai tempat pelaporan bagi masyarakat. Lembaga tersebut akan bergerak jika terdapat kasus bullying yang dilaporkan. Akan tetapi, bagaimana jika korban takut untuk melaporkan?. Tentunya tugas perlindungan yang terakhir ada pada orang-orang terdekat. Namun tak banyak orang-orang yang tegas membela korban HAM. Yang tersisa hanyalah diri sendiri atau masyarakat yang sudah menutup mata akan kejadian yang telah terjadi. Love yourself dan tegakkan keadilan yang seharusnya dimiliki.

Penulis: Abidah Sholsholat

Editor: Tim Redaksi LPM PRIMA FISIP