
Urgensi Pengesahan RUU Perampasan Aset
Urgensi RUU Perampasan Aset kembali disuarakan sejumlah pihak seiring munculnya kasus aparatur negara dengan penambahan harta kekayaan yang tidak wajar dan tidak sesuai dengan profilnya. Selain itu, merosotnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pun membuat urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset kembali mengemuka. Merespon laporan Transparency International terbaru, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mengalami penurunan sebesar 4 poin dari tahun sebelumnya. Dimana pada tahun 2022, Indonesia mencatat skor IPK sebesar 34 yang kemudian menurun dan menyentuh skor IPK sebesar 38. Skor tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat ke-110 dari 180 negara yang telah disurvei, yang mana penurunan tersebut juga menjadi penurunan tertinggi sejak tahun 1995.
Dalam menanggapi hal ini, Presiden Joko Widodo telah memberikan instruksi tegas yang mendorong RUU Perampasan Aset dapat segera disahkan dan dapat digunakan sebagaimana mestinya. Sebagaimana diketahui, RUU Perampasan Aset telah dikaji dan diusulkan selama lebih dari satu dekade, namun nyatanya RUU Perampasan Aset tak kunjung disahkan. Bahkan mengingat saat ini RUU Perampasan Aset telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023, sehingga seharusnya tidak perlu menunggu waktu yang cukup lama untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset tersebut. Namun, pada nyatanya hingga kini pembahasan RUU Perampasan Aset belum tampak meskipun telah masuk dalam daftar prioritas pemerintah.
Diketahui, sejumlah pihak telah menyuarakan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset agar dapat segera disahkan, namun tak jarang orang mempertanyakan apa urgensi RUU Perampasan Aset sebenarnya? Dilansir dari koran.humas.ugm.ac.id, bahwa urgensi Pengesahan RUU Perampasan Aset adalah sebagai berikut:
- Solusi efektif mengatasi permasalahan korupsi di Tanah Air
- Menjadi salah satu cara untuk mengembalikan kekayaan negara
- Menghemat waktu dan biaya penanganan perkara
- Memperluas jangkauan perampasan aset sehingga meningkatkan potensi asset recovery
- Substansi aset untuk aset yang tidak dapat disita di luar negeri
- Memberikan efek jera kepada koruptor
- Tidak hanya menangani tindak pidana koruptor, RUU Perampasan Aset dapat menangani tindak pidana lain, yaitu:
- Pendanaan terorisme
- Penyelundupan
- Perdagangan manusia
- Narkotika
- Kejahatan ekonomi lain
Tak hanya itu, dilansir dari kompasiana.com alasan RUU Perampasan Aset harus segera dibahas dan ditetapkan menjadi undang-undang, yaitu karena proses perampasan aset dan instrumen tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi oleh penegak hukum dirasa kurang fleksibel walaupun telah diatur asas pembuktian terbalik. Kemudian, adanya konsep perampasan aset tanpa penghukuman atau pemidanaan terhadap pelaku yang dikenal dengan non conviction based asset forfeiture.
Disisi lain, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset diharapkan menjadi sebuah sarana penting dalam memberantas tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya. RUU ini dapat memberikan sinyal kuat bahwa pemerintah atau negara tidak lagi bertoleransi terhadap kejahatan-kejahatan tindak pidana tersebut. RUU Perampasan Aset juga diharapkan menjadi instrumen penting dalam hal penyitaan aset yang diperoleh dari hasil tindak kejahatan maupun dalam hal pengembalian aset yang telah dirampas oleh para pelaku kejahatan.
Selain itu, menurut Yenti Ganarsih seorang pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), mengatakan bahwa RUU Perampasan Aset bukan hanya dijadikan sebagai alat untuk merampas aset dari koruptor. Namun juga digunakan untuk pelaku tindak pidana lainnya, seperti pada kasus yang ramai dibincangkan pada beberapa pekan terakhir yakni kasus Rafael Alun hingga kasus-kasus terkait harta atau kekayaan yang didapatkan dari perdagangan narkoba. Seorang peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter juga mengharapkan RUU Perampasan Aset dapat membuat pengusutan perolehan harta seperti pada kasus Rafael Alun tidak berbelit atau bahkan tidak berulang di masa yang akan datang.
Penulis: Sherly Ananda C. (SAC)
Sumber:
BBC. (2023, 29 Maret). Mengapa RUU Perampasan Aset penting di tengah terungkapnya kekayaan fantastis pegawai pemerintah?. Diakses pada 31 Maret 2023, dari https://www.google.com/amp/s/www.bbc.com/indonesia/articles/c7287vzd8zko.amp
Fatch, A. (2023, 27 Maret). Urgensi Pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana: Harapan dan Tantangan. Diakses pada 31 Maret 2023, dari https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/ahmadfatch7055/64212cf44addee26d976a662/urgensi-pengesahan-ruu-perampasan-aset-tindak-pidana-harapan-dan-tantangan
Rahayu, K.Y., Nurfaizah, A. (2023, 15 Maret). Pembahasan RUU Perampasan Aset Masih Terkatung-katung. Diakses pada 31 Maret 2023, dari https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/03/14/pembahasan-ruu-perampasan-aset-masih-terkatung-katung
Rahayu, K.Y. (2023, 1 Maret). RUU Perampasan Aset Tak Kunjung Dibahas. Diakses pada 31 Maret 2023, dari https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/03/01/ruu-perampasan-aset-tak-kunjung-dibahas?status=sukses_login&status_login=login
Admin Pusat Pemberitaan. (2023, 14 Februari). Urgensi Segera Disahkannya RUU Perampasan Aset. Diakses pada 31 Maret 2023, dari https://www.rri.co.id/editorial/1396/urgensi-segera-disahkannya-ruu-perampasan-aset?utm_source=editorial_main&utm_medium=internal_link&utm_campaign=General%20Campaign
Harn. (2022, 29 Oktober). Urgensi Pengesahan RUU Perampasan Aset demi Atasi kasus Korupsi. Diakses pada 31 Maret 2023, https://koran.humas.ugm.ac.id/2022/10/29/urgensi-pengesahan-ruu-perampasan-aset-demi-atasi-kasus-korupsi/

Baju Baru Hari Raya: Antara Tradisi dan Konsumerisme
Pandemi covid-19 penyakit menular yang disebabkan oleh coronavirus telah melanda Indonesia selama kurang lebih 3 tahun sejak tahun 2020. Virus ini pertama kali mewabah di Wuhan, Tiongkok. Covid-19 menjadi sebuah pandemi yang melanda banyak negara di seluruh dunia. Covid-19 dapat menyebar dari orang ke orang melalui percikan-percikan dari hidung atau mulut yang keluar saat orang yang terinfeksi batuk, bersin atau berbicara, kemudian menempel di benda dan permukaan lainnya. Orang dapat terinfeksi dengan menyentuh benda atau permukaan tersebut. Menurut databoks katadata, Indonesia telah kehilangan 160,49 ribu orang per 23 Desember 2022 akibat covid-19. Dengan jumlah tersebut, Indonesia menduduki peringkat kedua tertinggi dari Worldometer pada angka kematian covid-19 di Asia. Adanya pandemi covid-19, membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mencegah penularan virus dengan memberlakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Kebijakan PPKM membuat kehidupan masyarakat menjadi berbeda dengan sebelumnya, terutama masyarakat yang beragama Islam terpaksa melalui Bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri di rumah saja. Salah satu tradisi yang biasa dilakukan saat menjelang lebaran ialah membeli pakaian baru di pusat perbelanjaan atau pasar tradisional untuk dikenakan saat Hari Raya Idul Fitri. Namun, karena adanya pandemi dan PPKM masyarakat menjadi tidak bisa membeli pakaian baru secara langsung di mall atau pasar. Akan tetapi, pada tahun 2020 saat menjelang lebaran, masyarakat menjadi lupa kondisi pandemi. Masyarakat berbondong-bondong pergi ke pusat perbelanjaan dan pasar tradisional untuk membeli pakaian baru tanpa memperhatikan protokol kesehatan. Hal ini nyata terlihat dalam beberapa foto yang tersebar di media sosial pada bulan Mei 2020, seperti yang terjadi di Roxy Mall Kabupaten Jember dan Pasar Tradisional Tanah Abang di Jakarta Pusat. Aksi ini merupakan bentuk pelanggaran protokol kesehatan COVID-19.
Dalam foto yang beredar tersebut, terlihat masyarakat berdesak-desakan menuju pintu masuk mall, bahkan ada warga yang terlihat menggendong anak-anak dan tidak memakaikan anaknya masker. Padahal, anak-anak sangat rentan terpapar virus karena daya tahan tubuhnya yang lemah. Perintah untuk jaga jarak minimal 1 meter pun tak diindahkan sama sekali. Selain itu, terlihat salah satu warga tidak mengenakan masker, ada pula yang mengenakan masker akan tetapi masker diturunkan hingga ke leher. Fenomena ini kembali terjadi pada tahun berikutnya pada bulan Mei 2021 saat menjelang lebaran, Pasar Tradisional Tanah Abang di Jakarta Pusat kembali dibanjiri pengunjung. Masyarakat yang mayoritas beragama islam berbondong-bondong membeli pakaian baru untuk lebaran sebagai simbol rebirth atau lahir kembali ke dunia dalam keadaan bersih. Hal ini dikarenakan Hari Raya Idul Fitri merupakan momen untuk bermaaf-maafan atau biasa disebut kembali ke fitrah (bebas dari dosa). Setelah satu bulan menghapus dosa dengan menjalankan ibadah puasa, maka bulan Ramadan menjadi bulan pengampunan yang akan melahirkan kembali orang Islam seperti bayi tanpa dosa. Sehingga memakai baju baru saat lebaran menjadi simbol umat islam kembali ke dunia dalam keadaan yang bersih.
Ketika pandemi belum benar-benar berakhir, pada tahun 2022 fenomena tahunan ini tetap terjadi. Jumlah kasus positif covid-19 pada tahun 2022 memang sudah banyak mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Hal inilah yang memicu bangkitnya euforia masyarakat untuk berbelanja pakaian baru untuk lebaran. Tidak adanya lagi kebijakan PPKM, membuat masyarakat seperti harimau lapar yang siap menerkam (membeli) pakaian baru di mall dan pasar. Dari tahun ke tahun, saat menjelang lebaran Pasar Tradisional Tanah Abang memang selalu banjir pengunjung. Fenomena ini juga menyebabkan lalu lintas disekitarnya menjadi macet. Pada akhir tahun 2022 kebijakan PPKM telah dicabut, kemudian disusul pada tahun 2023 Presiden Jokowi telah memperbolehkan masyarakat tidak menggunakan masker di luar ruangan. Hal ini menunjukkan pandemi telah berakhir di Indonesia, tidak ada lagi yang akan menghalangi masyarakat untuk berbelanja baju lebaran seperti biasanya, semua back to normal. Melansir dari kompas.id, Pasar Tradisional Tanah Abang telah ramai dibanjiri pengunjung yang akan membeli baju lebaran pada 12 Maret 2023. Padahal pada saat itu bulan suci Ramadan saja belum dimulai, tapi antusias masyarakat untuk melaksanakan tradisi membeli baju baru sudah tinggi.
Bulan suci Ramadan dianggap sebagai bulan pengampunan, yang mana umat islam biasanya akan lebih rajin beribadah dan mengerjakan amalan agar mendapat ampunan dari Allah SWT. Asketisme juga menjadi sebuah ajaran dari datangnya bulan suci Ramadan, kita dianjurkan untuk berfokus ibadah dan meninggalkan segala hal yang sifatnya hanya duniawi. Akan tetapi, tradisi atau kebiasaan yang ada di umat islam Indonesia justru berbanding terbalik, konsumerisme saat bulan Ramadan justru meningkat. Adanya perkembangan teknologi membuat masyarakat menjadi semakin konsumtif dengan berbelanja online. Tak hanya pasar dan mall saja yang ramai, namun berbagai e-commerce juga banjir pembeli. Berdasarkan hasil riset Snapcart tahun 2023, sebanyak 85% responden memilih gratis ongkir sebagai promosi yang paling dicari untuk Ramadan. Lalu, sebanyak 75% responden memilih voucher diskon atau potongan harga, 68% responden memilih cashback, 65% responden memilih flash sale, dan 31% responden memilih keseruan hadiah. Riset lain dari JakPat pada tahun 2022 juga menunjukkan aktivitas belanja online meningkat pada pekan ketiga bulan Ramadan, dengan produk yang paling banyak dibeli adalah pakaian (38%). Sebanyak 28% responden menghabiskan Rp300.000 hingga Rp500.000 untuk berbelanja pakaian pada pekan ketiga bulan Ramadan.
Fenomena tahunan ini merupakan wujud dari gaya hidup yang konsumtif sebagai ciri dari konsumerisme. Konsumerisme adalah “atribut masyarakat” (Bauman, 2007: 28), lebih dari sebuah tindakan konsumsi yang dilakukan tidak dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan (Lodziak, 2002: 2). Konsumerisme selama bulan Ramadan yang meningkat menjadi perdebatan karena sebagian orang berpikir menyambut lebaran harus dengan membeli pakaian baru apapun situasinya, sedangkan sebagian masyarakat yang lain memilih tidak berbelanja dengan mengedepankan kerasionalan pemikiran untuk membeli pakaian hanya jika sudah tidak layak pakai dan ingin mengurangi limbah pakaian. Fenomena konsumerisme setiap lebaran ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu pertama, tradisi yang sudah tertanam secara turun temurun sulit diubah. Tradisi berbelanja pakaian baru sudah tertanam sejak dahulu pada masyarakat beragama Islam. Hal ini didasarkan atas pemikiran Hari Raya Idul Fitri memiliki arti kembali suci, berarti masyarakat mengenakan sesuatu yang baru dan suci dalam menyambut dan merayakan lebaran.
Kedua, stigma negatif yang diberikan oleh sebuah kelompok masyarakat sebagai konsekuensi dari tradisi yang sudah tertanam. Stigma itu akan muncul ketika salah satu dari anggota kelompok masyarakat tidak menjalankan tradisi. Mereka akan dianggap sudah melenceng dari tradisi dan terkesan tidak menghargai datangnya Hari Raya yang suci. Dalam Islam saat merayakan Hari Raya Idul Fitri hal yang harus kembali suci adalah diri seseorang, bukan penampilan luar seseorang. Maka merayakan lebaran tanpa mengenakan pakaian baru bukan suatu kewajiban melainkan hanya sebuah kebiasaan. Ketiga, rasa gengsi dan eksistensi. Dahulu ada ungkapan cogito ergo sum oleh Descartes seorang filsuf ternama asal Prancis yang berarti aku berpikir maka aku ada. Sekarang di era konsumerisme seolah muncul ungkapan baru yaitu aku belanja maka aku ada. Dimana masyarakat berlomba-lomba berbelanja untuk memenuhi rasa gengsi dan menjaga eksistensi agar diakui oleh masyarakat. Pemenuhan rasa gengsi dan eksistensi dapat terpenuhi dari simbol yang melekat pada barang yang dibeli.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jean Baudrillard bahwa yang dikonsumsi bukan lagi use atau exchange value, melainkan “symbolic value”, maksudnya orang tidak lagi mengkonsumsi objek berdasarkan karena kegunaan atau nilai tukarnya, melainkan karena nilai simbolis yang sifatnya abstrak dan terkonstruksi (Boudrillard, 2004). Simbol yang dimaksud adalah sesuatu yang bersifat abstrak yang melekat pada barang yang dibeli, sehingga mengenakan pakaian baru menjadi simbol yang tersorot pada saat merayakan lebaran atau lambang merayakan. Eksistensi yang berusaha dibangun justru melupakan nilai kebenaran, hal ini dapat dilihat ketika masyarakat nekat berdesak-desakan untuk belanja pakaian saat pandemi covid-19. Mereka rela untuk tidak menjaga jarak (melupakan kebenaran), demi menjaga eksistensi saat lebaran dengan berpakaian baru. Hal ini menunjukkan tindakan yang dilakukan bukanlah tindakan rasional instrumental, yang mana seharusnya tindakan ini dilakukan apabila antara keinginan memenuhi tradisi berpakaian baru saat lebaran (tujuan) dan pembelian pakaian baru sesuai protokol COVID-19 (cara) masuk akal.
Penulis: Fatimah Alya (FA)
Referensi:
Darmawan, Agus Dwi. (2022). Total Kematian Covid-19 Indonesia Urutan Ke-2 di Asia. Diakses pada 30 Maret 2023, dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/12/23/total-kematian-covid-19-indonesia-urutan-ke-2-di-asia.
Dihni, Vika Azkiya. (2022). Belanja Online Meningkat Jelang Lebaran, Ini Produk yang Banyak Dibeli. Diakses pada 30 Maret 2023, dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/05/01/belanja-online-meningkat-jelang-lebaran-ini-produk-yang-banyak-dibeli.
Rahayu, Isna Rifka Sri. (2023). Tren Perilaku Konsumen Jelang Ramadhan: Pilih Gratis Ongkir Ketimbang Promo Lainnya. Diakses pada 30 Maret 2023, dari https://money.kompas.com/read/2023/03/18/183000226/tren-perilaku-konsumen-jelang-ramadhan.
Ramadhan, Azhar Bagas. (2023). Jokowi: Di Luar Ruangan Sudah Tak Wajib Pakai Masker. Diakses pada 30 Maret 2023, dari https://news.detik.com/berita/d-6584262/jokowi-di-luar-ruangan-sudah-tak-wajib-pakai-masker.

Diskusi, Ibarat Senjata Perang bagi Mahasiswa
Diskusi mampu menciptakan iklim kompetitif yang akan melahirkan ide untuk diangkat sebagai topik pembicaraan. Mencari ide untuk topik diskusi terkadang sulit untuk beberapa orang, tetapi bagi sebagian orang lain menciptakan ide adalah hal yang biasa. Sebagai contoh topik pembicaraan dapat menemukan kejadian yang sedang hangat di lingkungan sekitarnya dan isu atau wacana baru yang sedang terjadi.
Berstatus sebagai mahasiswa di kampus, dugaan saya mereka hanya berorientasi untuk mendapatkan nilai “A” atau “AB”; tanpa ada kebolongan kehadiran; lulus cepat; dan cari kerja. Lebih jauh dari itu, seorang mahasiswa akan dihadapkan dengan tanggung jawab dibenaknya, atas yang didapatkan selama dibangku perkuliahan. Mahasiswa yang memang benar-benar berjuang dan meniti proses pembelajaran di kampus akan merasakan pahitnya menjalani proses itu. Belum lagi gelarnya, belum lagi peranannya di kala pengabdian kepada masyarakat.
Kehidupan kampus merupakan dunia yang menyimpan begitu banyak potensi yang dapat dieksplorasi dengan baik. Potensi itu ada di dalam diri seorang mahasiswa dengan memanfaatkan fasilitas yang ada. Diri seorang mahasiswa akan berkembang jika ada dukungan dari faktor lingkungan yang mumpuni, serta faktor usaha kesadaran akademik sehingga mampu memupuk kemajuan intelektual mahasiswa dari adanya interaksi positif. Faktor usaha tersebut menyoroti bahwa mahasiswa merupakan generasi muda yang memiliki peranan penting dalam proses maju dan berkembangnya suatu bangsa. Sebab, tanggung jawab mahasiswa salah satunya adalah “Meneruskan keberlangsungan negara yang merupakan tugas kaum muda, termasuk mahasiswa di dalamnya”.
Jika dicermati, arah perkembangan mahasiswa lebih kepada tuntutan akan potensi dan semangat untuk melahirkan motivasi. Menjadikan mahasiswa yang luar biasa, cerdas, serta berbudi pekerti luhur yang sejalan dengan negara dan bangsa ini memang tidaklah mudah. Untuk itu, mahasiswa benar-benar harus mengasah kepribadiannya dengan kesadaran di mana dirinya berada. Budaya membaca, diskusi, dan menulis merupakan budaya yang mengakar secara turun-temurun yang masih melekat menjadi tradisi.
Mahasiswa tanpa membaca, berdiskusi, dan menulis. Selayaknya perang tanpa membawa senjata, karena dari ketiga tradisi itu membuat pribadinya dapat menggali banyak pengetahuan. Membiasakan membaca adalah suatu hal yang dapat dikatakan wajib bagi seorang mahasiswa, dengan membaca dapat memperoleh banyak informasi dan pengetahuan baru tak terbatas. Jika mengikuti perkembangan media kini yang sedang hangat, ialah “Pengesahan Perppu Cipta Kerja” yang melahirkan isu turunan “Degradasi Check and Balances dalam Negara Hukum”, “Perppu Cipta Kerja Untuk Siapa?” ataupun “Kepentingan Rakyat atau Kepentingan Oligarki?”.
Diskusi adalah proses pertukaran pikiran, gagasan dan pendapat antara dua orang atau lebih. Tujuannya adalah untuk mencari kesepakatan dari pandangan ataupun pendapat, tetapi tidak semua proses pertukaran pikiran itu disebut diskusi. Diskusi dilakukan jika ada permasalahan yang hendak dicari alternative solusinya untuk memunculkan solusi (kesepakatan akhir dari hasil berdiskusi) tentang segala persoalan yang dijadikan bahan pembicaraan.
Kata diskusi berasal dari bahasa latin “discussus” yang berarti to examine. Discussus terdiri dari akar kata “dis” dan “cuture”. Dis memiliki arti “terpisah” sedangkan “cuture” yaitu menggoncangkan atau memukul. Secara etimologi, dicuture berarti suatu pukulan yang memisahkan sesuatu atau dengan kata lain membuat sesuatu menjadi jelas dengan cara memecahkan atau menguraikan (Arief, 2002): 145).
Lebih lanjut, kegiatan akademik dilakukan oleh individu yang berusaha mengembangkan potensi dirinya guna memperluas wawasannya. Kegiatan akademik tidak terlepas dari diskusi, sebagaimana diketahui bahwa dengan berdiskusi menjadikan sarana memperluas wawasan dan jejaring sosial melalui interaksi kedua pihak ataupun lebih.
Seorang akademisi sangat penting untuk mengedepankan etika diskusi. Sebab, akan memungkinkan terjadinya keberlangsungan diskusi yang kacau-balau, seperti praktik debat kusir yang tidak menemukan titik terang. Penggunaan bahasa yang baik, menyampaikan pendapat dengan sopan santun, menghargai pendapat lawan bicara, dan menjaga sikap adalah poin penting dalam etika berdiskusi.
Seringkali diskusi masih dipandang sebelah mata. Maka, menyamakan persepsi adalah jalan untuk memudahkan dalam menyelaraskan pandangan yang disampaikan dengan baik. Bertolak belakang dengan tujuan awal bahwa berdiskusi dapat menemukan solusi, melainkan mendapati kebingungan karena informasi yang didapat tidak utuh (simpang siur).
Menurut Killen dalam (Majid, 2013): 200) “diskusi adalah metode pembelajaran yang mengedepankan seseorang pada suatu permasalahan. Tujuan utama metode ini adalah untuk memecahkan masalah, menjawab pertanyaan, menambah dan memahami pengetahuan seseorang, serta untuk membuat suatu keputusan.”
Dari sini dapat ditelaah bahwa ada manfaat dari berdiskusi, yakni: (1) Membiasakan sikap saling menghormati dan menghargai; (2) Dapat mengembangkan daya pikir kritis, pengetahuan dan pengalaman; (3) Melatih untuk berpikir kritis; (4) Menumbuhkan kreativitas; dan (5) Melatih kemampuan berbicara di depan umum. Sehingga, tidak terlepas juga dengan manfaat lingkungan yang mendukung sebagai upaya untuk meningkatkan mutu di bidang akademik ialah dengan cara melalui perbaikan proses belajar. Berbagai konsep, wawasan, dan model tentang proses belajar yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dengan mengomparasikan konsep- konsep baru.
Aktualisasinya dapat berupa: diskusi kelas, diskusi kelompok kecil, simposium, diskusi panel, dan lokakarya untuk memaksimalkan proses pembelajaran di bidang akademik. Diskusi kelas merupakan kelompok pemecahan masalah yang biasanya ditemukan di ruang kelas dengan keterlibatan tenaga pendidik (guru/dosen) dan seluruh mahasiswa sebagai peserta diskusi. Lanjut, diskusi kelompok kecil dilakukan dengan melibatkan mahasiswa yang dikelompokkan secara spesifik/khusus yang biasanya beranggotakan 3-5 orang, pelaksanaannya dimulai dengan dosen menyajikan permasalahan secara umum, kemudian dilanjutkan kepada pembagian sub masalah yang harus dipecahkan oleh kelompok kecil.
Kemudian, simposium sebagai metode mengajar dengan membahas suatu persoalan yang dipandang dari berbagai sudut pandang berdasarkan kemahirannya, ciri khasnya adalah sudah ada tim perumus kongkret untuk memutakhirkan dalam menyampaikan kesimpulan. Lalu, diskusi panel biasanya membahas masalah yang dilakukan oleh beberapa panelis (orang yang bertugas untuk menilai dan memberikan tanggapan, serta fenomena untuk mengujinya), keterlibatan peserta dengan berperan sebagai peninjau para panelis yang sedang melakukan kegiatan diskusi. Selanjutnya, lokakarya sebagai bentuk pertemuan yang membahas masalah praktis, teknis, dan operasional ditandai dengan tindak lanjut dari hasil seminar untuk memelihara perihal konseptual untuk diaktualisasikan secara kontekstual.
Penulis: Muhammad Farhan (MF)
Sumber Rujukan:
Arief, A. (2002). Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press.
Majid, A. (2013). Strategi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Majid, A. (2013). TEORI METODE DISKUSI DAN MOTIVASI BELAJAR . Retrieved Maret 25,
2023, from https://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB21413112073.pdf

Satu Dekade Lebih RUU Perampasan Aset Belum Disahkan, Sampai Mana Progresnya
Satu dekade lebih pengerjaan draft RUU Perampasan Aset bukan merupakan waktu yang singkat, namun hingga kini RUU Perampasan Aset tak kunjung disahkan. Tentu hal ini membuat pertanyaan besar dari berbagai kalangan pihak yang mendengar, sampai mana progresnya? Mengingat RUU tersebut dibutuhkan sebagai payung hukum untuk merespons kasus-kasus korupsi yang ada di tanah air. Perlu diketahui, RUU Perampasan Aset sebenarnya telah dibuat oleh pemerintah tepatnya Kementerian Hukum dan HAM pada tahun 2012 silam. Namun seiring bergantinya tahun, perkembangan RUU tersebut tidak ada. Seorang peneliti Formappi Lucius Karus pun mempertanyakan sikap pemerintah yang tidak mengusulkan RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas 2021.
Bahkan, pada Bulan April 2022 kemarin sangat disayangkan sikap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menolak RUU Perampasan Aset masuk dalam daftar prioritas. Padahal, melihat kondisi Indonesia yang banyak diselimuti oleh kasus korupsi seharusnya RUU tersebut sangat urgent untuk segera dibahas dan juga disahkan. Melihat kondisi tersebut, sikap pemerintah dan DPR yang sama-sama tidak memperjuangkan pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset menunjukkan lemahnya semangat pemberantasan korupsi di tanah air.
Urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset pun kembali mengemuka setelah ramai pemberitaan kekayaan pejabat publik yang tidak sesuai dengan profil pendapatannya. Fenomena yang dikenal sebagai “flexing kekayaan” yang menunjukkan gaya hidup mewah para pejabat publik dan keluarganya, membutuhkan pembuktian terbalik. Hal ini memicu munculnya pertanyaan publik mengenai progres dari RUU Perampasan Aset saat ini.
Per tanggal 14 Februari 2023, Kantor Staf Presiden (KSP) memberikan keterangan bahwasannya pemerintah masih dalam proses pematangan draf RUU, yang mana dalam waktu tersebut RUU Perampasan Aset masih dalam pembahasan pengajuan surat presiden (surpres) agar draft tersebut dikirimkan kepada DPR.
Selain Kantor Staf Presiden (KSP), Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly setelah menghadiri acara penandatanganan komitmen pelaksanaan Aksi Pencegahan Korupsi 2023-2024, beliau menyampaikan bahwa draft RUU Perampasan Aset sudah diharmonisasi oleh Menkumham. Beliau juga berharap draft RUU tersebut bisa dikirimkan ke DPR tahun ini.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Edward Omar Sharif Hiariej juga mengungkapkan bahwasannya progres RUU Perampasan Aset per tanggal 10 Maret 2023 masih dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Beliau juga menambahkan bahwa dalam waktu dekat RUU Perampasan Aset tersebut akan diserahkan kepada presiden, yang kemudian akan dikirimkan kepada DPR setelah Surat Presiden (Surpres) terbit.
Sebagaimana diketahui, RUU Perampasan Aset merupakan salah satu hal yang menjadi prioritas pemerintah, yang mana saat ini RUU Perampasan Aset telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah memberikan instruksi dan mewanti-wanti agar RUU Perampasan Aset segera disahkan. Seperti yang telah dipaparkan beliau dalam Konferensi Pers di Istana Merdeka pada Selasa (07/02/23), beliau mendorong agar RUU tentang perampasan aset dalam tindak pidana dapat segera diundangkan dan segera memulai pembahasan RUU pembatasan transaksi uang kartal. Oleh sebab itu, RUU Perampasan Aset ini harus segera disahkan dan dapat segera digunakan dengan sebagaimana mestinya karena peraturan ini bernilai penting, tidak merugikan siapapun selain orang yang melakukan korupsi dan tentunya peraturan ini dapat memberikan keuntungan bagi negara.
Penulis: Sherly Ananda C. (SAC)
Sumber:
Jogjatribunnews.com. (2023, 10 Maret). RUU Perampasan Aset Masih Diharmonisasi, Wamenkumham: Kita Serahkan ke Presiden. Diakses pada 24 Maret 2023, dari https://www.google.com/amp/s/jogja.tribunnews.com/amp/2023/03/10/ruu-perampasan-aset-masih-diharmonisasi-wamenkumham-kita-serahkan-ke-presiden
Kompas.com. (2023, Maret 8). "Menkumham Ungkap Progres RUU Perampasan Aset yang Sudah Lama Mandek" [video]. Youtube, https://youtu.be/6xBgoauD9fo
Telusur.co.id. (2023, 6 Maret). PSI: Yang Menghambat Pengesahan RUU Perampasan Aset, Berarti Pro Korupsi. Diakses pada 24 Maret 2023, dari https://telusur.co.id/detail/psi-yang-menghambat-pengesahan-ruu-perampasan-aset-berarti-pro-korupsi
RRI.co.id. (2023, 14 Februari). Pemerintah Masih Matangkan Draft RUU Perampasan Aset. Diakses pada 24 Maret 2023, dari https://www.rri.co.id/anti-korupsi/163295/pemerintah-masih-matangkan-draf-ruu-perampasan-aset
M.kumparan.com. (2022, 14 April). RUU Perampasan Aset yang Terombang-ambing Selama 10 Tahun. Diakses pada 24 Maret 2023, dari https://www.google.com/amp/s/m.kumparan.com/amp/mfandra55/ruu-perampasan-aset-yang-terombang-ambing-selama-10-tahun-1xse9omEQj7
Jendelanasional.com. (2022, 21 April). RUU Perampasan Aset Ditolak DPR, Politik Kita Tidak Berpihak pada Rakyat. Diakses pada 24 Maret 2023, dari https://jendelanasional.id/headline/ruu-perampasan-aset-ditolak-dpr-politik-kita-tidak-berpihak-pada-rakyat/
Kompas.com. (2021, 15 April). RUU Perampasan Aset: Dibutuhkan tetapi Tak Kunjung Disahkan. Diakses pada 24 Maret 2023, dari https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/nasional/read/2021/04/15/10152721/ruu-perampasan-aset-dibutuhkan-tetapi-tak-kunjung-disahkan