Malam ini, aku duduk sendiri di tepian sungai Han. Disebuah bangku panjang berwarna putih, menatap aliran sungai yang tampak tenang. Angin berhempus menerpa dingin kulit wajahku. Tersenyum sumbang saat dinginnya angin menjalar ke seluruh tubuh.
“Ku cari di rumah, tak tahunya kau ada disini..” atensiku teralihkan oleh suara bariton milik lelaki yang aku kenal menghampiri gendang telinga. Ku tolehkan kepala pada sumber suara. Netraku menangkap satu sosok dengan senyum lebarnya.
“Ada apa kau mencariku?” tanyaku kemudian dengan menggeser duduk memberi dia ruang untuk menempati tempat tersebut.
“Hanya, mencarimu saja... tidak boleh? Salah ya?” hanya tersenyum. Itulah jawabanku untuk lelaki yang kini sudah duduk disamping kananku. Helaan nafasnya terasa berat saat di dengar.
“Ceritalah, bila kau ingin bercerita.. kau tahu kan kalau aku bisa menjadi kotak surat berjalan?”
“Aku merasa lelah dengan hubunganku bersama Haera. Dia seperti anak kecil yang selalu merengek. Selalu ingin dimengerti tapi dia tidak mau mengerti padaku.” Kembali, helaan nafas itu masuk dalam gendang telingaku.
“Lalu, kau masih ingin bertahan dengannya?”
“Tidak, aku tidak ingin.. aku sudah lelah dengannya. Bantulah aku memikirkan cara untuk memutuskan hubungan laknat ini dengannya.”
“Yak! Hubungan laknat katamu? Oh Tuhan.. di awal kau sangat menikmati hubunganmu itu bukan? Dan sekarang kau mengatakan itu hubungan laknat? Kau pria kejam Sungjin-ah!” sungguh, aku sudah tidak bisa menahan amarahku pada lelaki satu ini. Bagaimana mungkin, ia mudah bosan saat menjalin hubungan? Tak bisa ku pikirkan.
“Kau tahu sifat asliku Han, kau mengerti dengan amat sangat jelas. Dan, yah beginilah aku.”
“Dari pada kau marah, lebih baik kau bantu aku untuk memutuskan hubungan dengannya..” Sungjin menjambak rambutnya frustasi. Selalu seperti ini apabila ia sudah bosan dengan hubungan percintaanya. Datang, dan meminta saran padaku. Aku tak masalah, hanya saja....
“Bertengkar. Setahuku, itu cara yang paling ampuh untuk memutuskan hubungan bukan?!”
“Sudah ku lakukan..” ada jeda sesaat sebelum ia melanjutkan kata-katanya.
“Tak berhasil.. dan aku kehabisan akal untuk meminta putus dengannya.”
“Selingkuh?” Sungjin membulatkan netranya. Tak percaya dengan kata yang baru saja terucap dari mulutku.
“Kau gila Han!” mendengar ucapan itu, aku tersenyum masam. Memandang lelaki itu dengan tatapan dalam.
‘Ya, aku gila.. dan kamu penyebabnya.’ Jawabku dalam hati.
Menjadi seorang wanita itu sulit. Banyak yang tidak bisa dilakukan karena tuntutan menjadi seorang wanita yang lemah lembut serta penuh dengan kehormatan. Banyak pula ucapan yang ingin dilontarkan namun tidak bisa terucap karena takut dengan martabat dan kodrat sebagai wanita.
Soal perasaan, wanita lebih sering memendam dan tidak mau mengutarakan. Entah itu hal yang diinginkan atau tak diinginkannya. Wanita lebih memilih untuk diam dan menutupi segalanya. Berpura-pura bahwa ia baik-baik saja. Mungkin tak semua, namun, mayoritas dari wanita itu sama.
Begitu pula denganku, yang lebih memilih untuk diam tanpa berucap dan menutupi segalanya dengan berkata bahwa ‘aku tidak apa-apa’ atau ‘aku baik-baik saja’. Karena bagiku, itu adalah sebuah tameng yang bisa menjaga hati agar tidak terluka. Membatasi diriku agar tidak menangis karena hal yang sia-sia.
Aku mencintai seseorang yang tak akan pernah bisa aku miliki. Meskipun tahu seperti apa akhirnya, hatiku tak mau berhenti untuk mendamba serta memuja. Setiap hari aku dibuatnya jatuh cinta. Kepada laki-laki yang saat ini tengah gundah karena ikatan yang ia buat. Kepada kawanku, kepada partnerku.
Ini hanyalah sebuah kisah klasik. Berawal dari ikatan pertemanan, yang merasa nyaman satu sama lain, dan berujung pada salah satu dari mereka yang meginginkan lebih. Dalam kisah ini, akulah yang menginginkan kelebihan itu. terdengar tidak tahu diri, namun itulah yang sedang ku hadapi.
“Ah! Molla! Apapun yang terjadi, aku harus putus dengannya esok.”\
“Lakukan semaumu.. ku beri saranpun kau tak menggubris.”
&&&
Siklus kehidupan ‘percintaan’ yang aku jalani terdengar sangat monoton. Siklus itu bergantung pada satu sosok. Seseorang yang mampu membuat hatiku berdebar lebih cepat dari biasanya. Apabila pria itu tengah menjalin hubungan dengan seorang wanita, secara otomatis aku akan membuat jarak dengannya.
Bukan karena aku membencinya, bukan. Namun aku tak ingin hatiku terluka melihat keduanya. Karena aku berusaha menghargai diriku juga wanita itu. Seberapa lama hubungan itu aku terus bertahan untuk menghindar atau bahkan menghilang. Hanya sesekali aku memantau keduanya. Memastikan keadaan.
Ketika dia datang dan meminta saran padaku, seperti malam itu, barulah aku mendekat kearahnya lagi. Mencoba memahami dan mengerti kepribadiannya. Berusaha menjadi kotak surat yang mau mendengarkan keluh kesahnya. Aku senang. Karena itu, menandakan bahwa ia percaya sepenuhnnya kepadaku. Aku sungguh menghargai itu.
“Hentikanlah cinta sepihakmu itu Han.” Tegur Alea padaku sembari memberikan cup americano yang ku pesan beberapa waktu lalu.
“Sudah saatnya kau bahagia Han. Jangan terbelenggu oleh cinta sepihakmu itu.”
“Aku tidak terbelunggu Al, dan aku bahagia dengan perasaanku ini.” Sergahku.
“Bahagia katamu? Kau gila?! Bagaiaman kau bahagia disaat dia terus menyakitimu dengan mengencani wanita lain seperti itu?! Tuhan! Sadarkanlah kawanku ini!”
“Selama aku bisa dekat dengannya, aku bahagia Al.. toh kalau nanti jadian bisa putus.. sedangkan hubunganku dengannya tidak akan pernah putus. Dia juga tidak mengetahui perasaanku.”
‘semoga’ tambahku dalam hati.
“Dia itu tahu perasaanmu Han! Tapi dia berpura-pura tidak tahu dan dengan brengseknya menyakiti hatimu secara terus menerus! Dia tak pernah melihatmu lebih dari sekedar teman. Dia tak pernah melihatmu sebagai seorang wanita! Mengertilah.” Alea terus saja memekik. Meluapkan amarahnya kepadaku. Aku mengerti perasaannya, tapi apa mau dikata? Hatiku terus menolak untuk melupakan dia.
“Aku tahu Alea, aku tahu..”
“Kalau kau tahu dan mengerti, lepaskan dia Han. Aku tak kuasa melihatmu terus menerus disakiti oleh pria brengsek itu. Dia hanya menghamprimu jika dia butuh.. selanjutnya? Tidakkan?!”
“Aku yang memintanya seperti itu.” Alea menggeram. Berusaha menetralkan emosinya dan menengguk cappucino miliknya.
“Aku akan berhenti Al. Sungguh. Ketika dia sudah bahagia dan tidak bosan dengan pilihannya. Aku berhenti. Setidaknya, aku ingin melihatna bahagia, tersenyum tanpa beban dan tanpa sesal. Setelah itu, aku akan berhenti.” Jelasku kemudian.
“Sampai kapan kau akan bertahan Han?”
“Sampai waktunya tiba.”
&&&
Hari terus berganti menjai bulan. Bulan-bulan pun berganti menjadi tahun. Selama satu tahun ini, siklusnya masih sama. Aku masih bergantung padanya. Dan satu tahun terakhir ini, ia tak bercerinta tentang wanita. Selama satu tahun ini ia habiskan bersamaku. Melalui berbagai musim bersama. Sungguh, aku bahagia karenanya.
Pernah terbesit tanya dihatiku, apakah dia mulai emelihatku sebagai wanita? Namun pertanyaan itu tak mampu aku lontarkan. Aku terlalu takut mendengar jawabannya. Terlalu takut mengetahui sebuah fakta. Takut dengan segala resikonya.
Selama satu tahun ini, perasaanku padanya tak pernah berubah. Malah semakin menjadi karena momen-momen bahagia yang telah kami lalui bersama. Kalaupun boleh meminta, aku hanya menginginkan satu permintaan. Tuhan, bisakah kau rubah hatinya? Bisakah kau buat ia jatuh cinta kepada seorang wanita sepertku?
“Apa yang kau pikirkan?” tanya lelaki itu padaku.
“Tak ada..”
“Han, selama beberapa bulan terakhir ini aku dekat dengan seorang wanita.. aku ingin menjadikannya wanitaku, menurutmu bagaimana?” hatiku merasa nyeri saat mendengar pengakuannya. Seperti tergores dengan pisau.
“Bisa kau ceritakan dia seperti apa?”
“Dia cantik, baik.. dan dia juga pendengar yang baik sepertimu. Dia mirip dengan tipe ku.” Ia pun mulai bercerita tentang wanita itu. tentang segala perasaannya terhadap wanita itu. aku terus mendengarkannya. Membiarkannya berceloteh tentang wanita itu. rasa nyeri yang aku alami semakin menjadi saat ia mengatakan sudah mantap dan yakin akan pilihannya kali ini.
Aku hanya tersenyum saat mendengarkan celotehannya. Bukan senyum bahagia seprti biasanya, namun senyuman getir untuk menutupi luka. Luka yang teramat sakit dan mungkin sulit untuk terobati. Netraku terus saja menatap wajahnya. Menatap bagaimana binaran netranya saat ia bercerita tentang wanita itu. Terasa panas dan pedih, seolah air mataku ingin tumpah ruah dan membasahi pipi. Ingin rasanya aku berteriak, meluapkan segalanya. Namun, yang aku lakukan sekarang hanyalah tersenyum bodoh dan diam seribu bahasa.
“Doakan agar aku diterima esok hari.” Pintanya padaku. Aku hanya mengangguk, setelah itu, ia pergi meninggalkanku sendiri. Lagi, dan lagi terjadi seperti ini. Terulang kembali dengan luka yang menyayat hati.
&&&
Enam bulan berlalu. Namun, aku masih merasa terbelenggu, dengan sosok dirinya yang masih senantiasa memenuhi hatiku. Memori enam bulan lalu, saat ia bercerita tentang sosok wanita itu, masih terasa segar dalam benakku. Seakan tak ingin enyah begitu saja.
Alea menjadi saksi betapa hancurnya aku hari itu. Betapa kerasnya aku menumpahkan segala emosiku. Kini, iapun menjadi saksi, bagaimana rapuhya diriku etelah menerima kabar bahwa lelaki idamanku akan menihaki wanitanya. Menjadikan wanita itu miliknya dan untuk selamanya.
Dia memberiku sebuah undangan pernikahan yang bertuliskan namanya dan juga wanita itu. ia memberikannya dengan sebuah senyum bahagia, yang enggan untuk memudar barang sesaat.
“Aku gak akan datang Al, aku gak mau..”
“Apa aku salah kalau gak datang Al?”
“Aku bukannya apa, hanya saja aku ingin menjaga hatiku untuk terakhir kalinya..” gumaman-gumaman itu terus saja keluar dari bibirku. Disertai dengan isakan-isakan yang tak mau mereda.
“It’s okay Han.. gapapa.. itu tandanya kamu masih menghargai perasaan kamu sendiri.. udah ya,, jangan nangis lagi..”
“Aku mau berhenti, tapi susah Al..”
“Pelan-pelan kamu teangin diri kamu..” aku masih saja sesenggukan dalam pelukan Alea. Saat memejamkan mata, bayangan wajah bahagianya terlintas dalam pikiranku. Bayangan tawa serta senyumnya terasa nyata dan mampu menyayat hatiku.
Tuhan, apakah ini saatnya untuk aku melepas pria itu? apakah ini waktu yang tepat untuk aku memulai kehidupan yang baru? Tanpa adanya dia disampingku? Bila ini saatnya, mampu kah aku untuk bertahan? Mampukah Tuhan?!
&&&
Hari ini adalah hari pernikahannya. Aku memilih untuk tidak datang, karena aku takut merusak acara bahagianya. Aku duduk bersimpuh diatas ranjang. Ditemani oleh Alea yang masih setia bersamaku. Bila tak ada Alea, aku tidak yakin kalau aku masih hidup saat ini. Karena aku sudah lelah oleh kehidupanku, dan berpikir untuk mengakhiri hidupku. Karena setelah mendapat undangan itu, duniaku serasa berhenti berputar. Terpaku dalam satu waktu yang menyakitkan.
“Udah, jangan di inget terus.. kamu berhak bahagia Han karena kamu wanita yang baik.. kamu mempunyai banyak teman yang sayang dan penuh perhatian padamu.. kamu juga punya kerabat yag masih senantiasa mendukungmu.. you deserve someone better than him Han. You should be happy in your way.”
“Aku pamit pulang dulu, kalau ada apa-apa kamu bisa hubungi aku.”
Selepas kepergian Alea, aku terpaku. Merenungi segala ucapannya. Membuat berbagai pertanyaan tentang ucapan Alea barusan. Setelah lama aku merenung, ku rasa aku mendapatkan jawabannya. Seperti kata Alea, aku harus mampu bahagia tanpa pria itu.
Ku raih ponsel yang tergeletak di nakas dekat ranjang milikku. Jariku mengetikkan beberapa nomor pada dial pad, usai tanda hijau ku tekan, ku dekatkan ponsel itu ke telinga.
“...”
“Maaf, aku tak bisa datang ke pernikahanmu, karena ada banyak alasan yang membuatku memilih untuk tidak datang. Kau tau Sungjin-ah,, aku bahagia atas pilihan yang kau buat.. aku berharap yang terbaik untukmu.. aku bahagia melihat kau bisa menentukan pilihanmu pada seorang wanita yang kau cinta.. aku harap, ini yang terakhir ya.. hahaha”
“..”
“Kau harus bahagia dengan pilihanmu itu.. jangan sampai bosan dengannya karena aku yakin dia tidak semembosankan aku.. jangan sakiti dia, karena aku yakin jika dia adalah wanita yang sangat baik, tentunya lebih baik dariku.. perlakukan dia dengan baik, pantas dan lembut, karena aku yakin bahwa dia berhak mendapatkan hal itu darimu..”
‘Lebih pantas dariku’ imbuhku dalam hati.
“Karena kau sudah bahagia, mungkin ini saatnya untuk diriku merasakan arti kata bahagia. Kau tahu, sampai sekarang aku tak paham betul dengan arti kata itu.. sekarang, aku ingin lebih memahaminya, dan aku tidak mau memahaminya bersamamu. Aku ingin kita berjalan sendiri terlebih dahulu. Mencoba untuk melupa sesaat hingga saat yang lebih baik nantinya.. terdengar egois memang, tapi, ini adalah pertahanan terakhir dari diriku.. ku harap kau mengerti itu. terima kasih atas segalanya. Semoga kau bahagia atas pernikahanmu. Aku pergi dulu, sampai bertemu di lain waktu..”
TUT... TTUUTT.... TTTUUUTT...
Penulis : [bungsu]