Carut Marut LKPM FISIP, Tanggung Jawab Siapa

 

Nita, bukan nama sebenarnya, seharusnya melaksanakan praktikum kebijakan sosial—salah satu mata kuliah wajib prodi jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial—pada semester 6 lalu. Absennya Nita bukan tanpa alasan, pelaksanaan praktikum kebijakan sosial yang seharusnya ditempuh sejak bulan Maret harus mundur hingga awal Juni karena belum adanya surat pengantar praktikum dari LKPM (Laboratorium Kajian Pemberdayaan Masyarakat) FISIP UNEJ.

“Gak praktikum karena surat dari fakultas baru turun jadi 2 minggu sebelum jadwal selesai praktikum. Dinas terkait menolak surat izin praktikum yang sudah ada saat itu karena waktu yang tertera di surat (Maret-Juni) gak sesuai sama waktu yang nantinya kita akan praktikum di situ”, jelasnya ketika diwawancarai oleh tim Redaksi PRIMA.

Disisi lain, pada praktikum dan semester yang sama, Ani tetap dapat melaksanakan praktikum sejak bulan Maret hingga Juni 2022 tanpa surat pengantar praktikum dari kampus. “Dosen pembimbing ku minta tetap praktikum, dari awal semester sampai akhir meskipun surat pengantar dari jurusan belum turun. Aku pribadi bisa masuk karena faktor kedekatan dan sudah pernah magang di Dinas Sosial Kota X, setelah itu juga harus mengurus surat pengantar sendiri ke Bangkesbangpol. Untuk keadaan teman-teman di kelompok yang sama, yang aku tahu ada beberapa yang kesulitan juga”, jelas Ani.

Berbeda dengan Ani dan Nita, Yola merasakan pengalaman yang berbeda. Praktikum konselor psikososial yang ia jalani pada semester ini mengalami hambatan karena alur surat pengantar yang tidak jelas. “Setelah dapat surat dari LKPM, aku langsung menyerahkan ke tempat ku praktikum. Namun setelah bimbingan dengan dosen penguji, aku dan teman-teman baru tahu kalau suratnya harus di proses di Dekanat dulu baru nanti akan jadi surat terjun lapang”, jelas Yola. Ia juga menambahkan bahwa pengajuan surat ke Dekanat akhirnya ia dan teman-temannya lakukan sendiri.

Setali tiga uang dengan Yola, Tias juga memiliki pengalaman yang hampir sama. Ia harus mengurus surat praktikumnya sendiri. “Kalau kemarin kita dikasih format, suruh bikin sendiri, minta tanda tangan Ketua Jurusan sama Ketua LKPM, terus diajukan ke fakultas. Udah gitu aja, tapi ya lumayan lama karena di dekanatnya juga lama kan. Terus kalau teman-teman yang lain mungkin yang lama dari fakultasnya juga”, jelasnya ketika kami wawancarai.

Pengalaman keterlambatan dan hambatan praktikum seperti halnya diatas tentu bukan hanya dirasakan oleh Nita, Ani, Yola dan Tias saja. Mahasiswa jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial yang melaksanakan praktikum tentu akan mengalami hal yang sama karena distribusi surat praktikum berasal dari satu pintu; yaitu Laboratorium Kajian Pemberdayaan Masyarakat (LKPM). Apa itu LKPM? Apa tugas dan wewenangnya? Mengapa surat pengantar praktikum kerap mengalami hambatan?

LKPM merupakan lembaga yang secara struktural berada di bawah jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Jember. Hingga berita ini turun, kami belum menemukan sumber yang komprehensif mengenai struktur organisasi dalam LKPM, pun dengan tugas dan wewenangnya secara formal. Hingga saat ini, LKPM aktif mengurusi surat-menyurat untuk kebutuhan praktikum serta sertifikasi pekerja sosial yang dilaksanakan sebelum pandemi.

Ketidaktahuan publik (setidaknya mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial) tentang hal formal dan struktural LKPM menjadi isu yang serius jika kita tilik lagi korelasinya dengan keterlambatan surat pengantar praktikum Kesejahteraan Sosial. Transparansi LKPM kemudian mutlak dibutuhkan dalam hal ini. Praktikum-praktikum pada jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial merupakan mata kuliah wajib prodi 4 sks yang harus dijalankan dengan baik oleh mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial. Bukan hanya mahasiswa yang menjalani, namun juga jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial sebagai pengawas, termasuk LKPM sebagai lembaga yang memiliki andil besar dalam penyelenggaraan praktikum-praktikum ini. Jika dalam praktik akademi yang esensial dalam jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial saja masih banyak terdapat cacat formal, bagaimana dengan hal lain?

Sebut saja pengalaman Yola dan Tias serta teman-teman kelompoknya yang harus mengurusi surat praktikum secara individu ke Dekanat. Hal ini lalu menjadi tanda tanya besar, mengapa mahasiswa harus mengurus surat praktikum secara individu jika LKPM memang telah ditugaskan dalam ranah ini? Meskipun sekarang Yola, Tias dan teman-temannya dapat melaksanakan praktikum, ketidakhadiran LKPM dalam mengurusi surat sampai selesai ke Dekanat perlu ditinjau lebih lanjut lagi.

Pun dengan yang dirasakan oleh Ani pada praktikum semester lalu. Ia dan teman-temannya harus pintar-pintar memanfaatkan koneksi dan mengurus surat ke Bangkesbangpol sendiri dengan bantuan lembaga tempat ia praktikum. Padahal hal-hal formal seperti ini harusnya menjadi tupoksi LKPM. Hal yang dialami Yola, Tias dan Ani inilah yang kami maksud sebagai “kecacatan formal”

Transparansi struktural dan tupoksi LKPM sudah seharusnya menjadi isu penting bagi mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial. Terlambat dan terhambatnya alur keluarnya surat kemudian memunculkan pertanyaan lain, mengapa hal tersebut dapat terjadi?

Struktural LKPM 

Tias, salah satu narasumber kami bercerita mengenai alasan ia dan teman-teman angkatannya harus mengurusi surat sendiri. “Yang surat ini (surat praktikum), kenapa Pak Arif (Ketua LKPM) gak mau ngurusin lagi karena takutnya lama, takutnya fakultas memperlama kalau Pak Arif yang ngurusin. Makanya ke mahasiswa langsung. Jadi alasannya ke mahasiswa itu biar gak diperlama, makanya disuruh mahasiswanya yang gerak sendiri”, jelasnya kepada Redaksi PRIMA ketika diwawancarai. 

Mahasiswa FISIP (terutama pengurus Ormawa) sepertinya sudah tidak asing dengan birokrasi FISIP yang bertele-tele dan “mbulet”. Hal ini ikut menjadi salah satu faktor keterlambatan surat-surat perizinan praktikum di Ilmu Kesejahteraan Sosial. Kesemrawutan birokrasi FISIP memang sudah menjadi rahasia umum, namun benarkah hanya karena proses internal yang bertele-tele saja? Narasumber kami mengungkapkan bahwa selain faktor internal dalam birokrasi FISIP, terdapat gesekan personal antara pihak Dekanat dengan LKPM sehingga surat sering terlambat untuk di distribusikan ke mahasiswa. Hal inilah yang menjadi faktor mengapa mahasiswa akhirnya diminta untuk mengurusi surat praktikum secara individu.

Keterlibatan Mahasiswa dalam Struktural LKPM

Tak hanya berhenti pada persoalan struktural LKPM yang tidak transparan, masalah lain muncul ketika mahasiswa-mahasiswa jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial diketahui “bekerja” dibawah LKPM. Narasumber kami menjelaskan “Cara masuknya ya ditawarin aja. Misalnya ditanya, mau gak jadi ini (di LKPM) gitu. Misalnya teman yang direkrut ditanya kenapa kok mau, bakal dijawab ‘Iya soalnya aku lihat kamu rajin, makanya pas LKPM nyari orang kamu aku rekomendasikan’ gitu saja. Jadi perekrutannya mulut ke mulut gitu, bukan LKPM yang nyari. Tapi ditawari nya bukan jadi anggota LKPM, tapi membantu Pak Arif.”

Narasumber kami juga menjelaskan apa saja yang dikerjakan mahasiswa yang “bekerja” dibawah LKPM, seperti mengurus surat-surat pengantar Praktikum dan ikut andil dalam mengatur ploting tempat praktikum (khusus untuk praktikum lembaga pelayanan sosial semester ini). Keterlibatan mahasiswa yang “bekerja” di bawah LKPM kemudian memunculkan pertanyaan, mengapa mahasiswa harus dilibatkan dalam tugas-tugas yang seharusnya menjadi tupoksi LKPM? Jika memang kekurangan SDM dan anggota, mengapa bukan staf LKPM saja yang dilibatkan? 

Tidak hanya itu, diketahui bahwa mahasiswa yang “bekerja” di bawah LKPM tidak menerima upah yang pantas mereka dapatkan setelah mengerjakan “tugas-tugas” LKPM. “Sebenarnya dulu pernah ada isu, kalau yang di LKPM (mahasiswa) akan digaji, tapi akhirnya gak digaji sampai sekarang. Cuma konsumsi setiap kumpul di LKPM, ada makanan, minuman dan jajan”, jelas salah satu narasumber kami ketika kami wawancarai. 

Meskipun hingga berita ini turun kami belum bisa menemukan aturan dan regulasi mengenai struktur dan sistem upah di LKPM, namun sudah menjadi seharusnya tiap individu yang “bekerja” mendapatkan upah yang layak, apalagi pekerjaan ini berada di lingkungan akademis. Pun jika memang secara struktural mahasiswa ada di dalam struktur organisasi LKPM, sudah seharusnya jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial mengatur regulasi mulai dari perekrutan secara terbuka (bukan hanya dari mulut ke mulut seperti yang selama ini dilakukan), tugas pokok fungsinya hingga aturan upah. 

Ketika kita tilik lagi, masalah-masalah di atas bukan hanya tanggung jawab LKPM sebagai lembaga. Jurusan dan fakultas yang menaungi lembaga juga memiliki andil yang besar untuk mengawasi jalannya LKPM, baik dari sistem maupun pengorganisasiannya. 

Hubungan LKPM dan Lembaga Lain

Semrawut LKPM tidak berhenti disitu saja. Selain masalah keterlambatan surat dan upah mahasiswa, narasumber kami juga mengungkapkan bahwa ada hubungan LKPM dengan lembaga tertentu diluar FISIP dan UNEJ. Bukan hubungan sinergi yang dimaksud. Namun hubungan yang mengarah pada pencampur adukkan urusan pribadi dengan urusan lembaga LKPM sendiri, yang jika kita tilik kembali dapat disebut sebagai "penyalahgunaan" atau "penyelewengan". 

“sebenarnya masalah ini sudah menjadi rahasia umum, yaitu semenjak LKPM pindah ke ISDB teman-temanku yang mengaku akan pergi rapat mengenai urusan lembaga ini, ternyata berangkatnya ke ISDB. Padahal dulu kan tempatnya lembaga tersebut gak disitu”, ujar narasumber kepada kami.

Meskipun penyelewengan tempat ini terlihat sepele bahkan banyak mahasiswa yang tahu, namun dari sini kita dapat mengetahui bahwa pihak LKPM tidak dapat memisahkan urusan LKPM atau internal lembaganya dengan urusan pribadi. Hal ini tentu akan berdampak pada kinerja LKPM sebagai lembaga yang harusnya dapat memenuhi tanggung jawabnya.

 

REDAKSI PRIMA

Seluruh nama narasumber dalam tulisan ini kami samarkan demi keamanan narasumber.

 

 

MENILIK PERKEMBANGAN PEMBENTUKAN SATUAN TUGAS PENGAWALAN KEKERASAN SEKSUAL DI BEBERAPA PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA

Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penangan Kekerasan Seksual di beberapa kampus / Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dengan berdasar Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 hingga saat ini belum menunjukkan kejelasan. Peraturan yang telah ditetapkan dari bulan september tahun lalu itu sampai detik ini belum juga terlaksana. Padahal pembentukan Satgas saat ini telah menjadi urgensi untuk segera dimiliki oleh setiap PTN, hal ini sebagai upaya menciptakan lingkungan Kampus yang aman bagi mahaiswa.

Mengenai upaya pengimplementasian peraturan tersebut di beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia sendiri diketahui memiliki progress yang berbeda dari satu sama lainnya. Oleh karena itu pada tulisan ini akan menyajikan komparasi progress pengawalan isu kekerasan seksual dari beberapa universitas di Indonesia dengan tujuan dapat memperlihatkan sejauh mana langkah-langkah yang telah dilakukan Kampus-kampus dalam pengawalan isu kekerasan seksual serta pembentukan Satgas.

Diawali dari Universitas Jember, proses pembentukan satgas mengalami keterlambatan dari rencana semula pihak Rektorat Unej. Sejauh ini proses pembentukan Satgas di universitas jember masih terkendala di kementerian. Unej telah mengirimkan Panitia Seleksi (Pansel) yang selanjutnya akan membentuk satgas. Namun hingga saat ini belum ada informasi lanjut dari pihak kementerian. Di sisi lain sebenarnya Universitas Jember sendiri telah memiliki Pusat Studi Gender (PSG) yang bertugas menangani kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus, namun kerja-kerja dari PSG sendiri tidak dapat terlalu jauh mengambil langkah sebab belum ada ketetapan resmi dari kementerian.

Selanjutnya, universitas yang tengah mempersiapkan pembentukan satgasnya adalah Institut Pertanian Bogor (IPB). Hingga update terkini, IPB telah memiliki bakal calon Panitia Seleksi untuk Pembentukan Satgas PPKS. Update dari IPB ini tidak jauh berbeda dari apa yang telah dilakukan oleh kampus Universitas Jember, karena sama-sama berada pada tahap pencalonan Panitia Seleksi untuk pembentukan Satgas PPKS. Permasalahan yang juga dihadapi di IPB adalah adanya keterlambatan dalam timeline pemilihan panitia hingga terkesan molor.

Menyusul universitas lainnya, yakni Universitas Indonesia (UI). UI sendiri mengaku telah memiliki tim khusus untuk menangani kekerasan seksual dan telah berkomitmen dalam melakukan penanganan serius terkait dengan isu ini secara komperehensif. Namun demi menaati aturan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, UI wajib membentuk Satgas seperti halnya Kampus-Kampus lain. Saat ini progress yang dimiliki oleh UI sampai pada tahap perekrutan panitia seleksi untuk pembentukan satgas, di mana hal ini sama dengan apa yang sedang terjadi di Universitas Jember.

Lain halnya dengan UI, Universitas Brawijaya (UB) dalam usahanya untuk menangani permasalahan kekerasan seksual di lingkungan kampus, secara khusus di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), telah memiliki sebuah Unit Pelayanan Kekerasan Seksual dan perundungan (ULTKSP). ULTKSP ini sendiri dibuat berdasarkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Namun pengimplementasian Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 secara keseluruhan di lingkup kampus UB belum terwujud.

Masih di daerah yang sama, terdapat Universitas Negeri Malang (UM) yang saat ini telah menjajaki tahap penjaringan anggota Satgas. Berdasarkan timeline yang UM rilis dan sebarkan, pada saat tulisan ini ditulis proses penjaringan yang berlangsung adalah dilaksanakannya tahap wawancara calon anggota Satgas.

Selain beberapa kampusyang sudah disebutkan di atas, kampus di Indonesia juga masih banyak yang belum melakukan tugasnya untuk membentuk Satgas Pencegahan dan Penangan Kekerasan Seksual. Terbukti dari banyaknya kampus yang belum melakukan langkah awal sebagai permulaan pembentukan tim satgas ini.

Namun setidaknya terdapat dua kampus yang kami ketahui yang telah sukses membentuk Satgas di Jawa Timur, yaitu Universitas Surabaya (Unesa) dan Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya. Unesa dan Untag Surabay tersebut satu langkah lebih maju dibanding dengan Kampus-Kampus lain, utamanya Unej dalam pembentukan Satgas berdasar Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021.

Dengan tulisan komparasi yang telah tim PRIMA dan Amnesty Unej sajikan ini dapat disimpulkan bahwa pembentukan satgas di kampus-kampus di Indonesia hingga saat ini belum optimal dan terkesan mundur dari jadwal yang seringkali diumbar oleh pihak kampus mengingat bahwa harusnya semua kampus telah memiliki Satgas ditahun ini sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh Kementerian. (Dhavina)