Merajut Asa Kesetaraan Gender Dalam Perhelatan Pemilu 2024 : Sebuah Hasrat yang Sirna

Kesetaraan gender menjadi isu penting yang harus digaungkan dalam setiap level, salah satunya di level politik. Jelas terlihat bahwa adanya relevansi yang terjalin antara kesetaraan gender dan politik, yaitu membuka peluang akses yang sama baik perempuan maupun laki – laki dalam menjalani seluruh aktivitas politik. Oleh karena itu dalam rangka mempersiapkan Pemilu 2024 sekaligus 21 tahun menuju Indonesia Emas 2045, perwakilan perempuan dalam kursi parlemen sangat penting untuk menyerap aspirasi publik yang lebih inklusif dan berkeadilan gender demi memanifestasikan pembangunan berkelanjutan.

Namun sayangnya, partisipasi politik perempuan pada kontestasi pemilu di Tanah Air nampaknya masih menjadi persoalan. Padahal pemerintah telah meyediakan regulasi Undang – Undang (UU) tentang pemilu, bahwa Partai Politik harus mempersiapkan politisi perempuan sekurang – kurangnya mencapai 30 persen. Mengacu pada perkara tersebut, tulisan ini berargumen bahwa adanya harapan yang “hilang” dari Indonesia untuk mewujudkan politik inklusif gender pada tahun 2024. Harapannya, tulisan ini mampu membawa butiran – butiran cahaya kepada pada pembaca terkait pentingnya kesetaraan gender dalam level politik.

Sebenarnya banyak sekali peluang yang dimiliki Indonesia untuk mendorong perempuan masuk ke dalam politik. Merujuk pada data Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS), perempuan adalah jumlah pemilih terbanyak apabila dibandingkan laki – laki. Sebanyak 103.006.478 pemilih adalah perempuan, sementara laki – laki sebesar 102.847.040. Data tersebut menunjukkan bahwa perempuan sangat potensial untuk mengisi 30 persen kursi parlemen di masing – masing tingkat.

Namun sayangnya, partisipasi politik perempuan nampaknya masih jauh dari yang diharapkan. Merujuk pada Network for Democracy and Electorial Integrity (Netgrit), dari 18 partai politik dalam pemilu 2024, hanya PKS yang mampu memenuhi perempuan 30% dalam politik. Namun, partai - partai besar seperti PKB dan PDIP menempati urutan teratas karena tidak memenuhi kuota 30% perempuan menurut Netgrit.

Sementara di sisi lain, kita juga patut untuk mempertanyakan janji KPU dalam merevisi peraturan penghitungan calon perempuan melalui UU KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota DPR RI, DPRD provisi, dan DPRD kabupaten/kota. Dalam pasal tersebut, KPU memberlakukan pembulatan ke bawah apabila perhitungan 30%, maka keterwakilan perempuan akan lebih sedikit. Contoh kasusnya yaitu, apabila di suatu daerah pemilihan (dapil) membutuhkan delapan bakal calon legislatif, maka penghitungan 30% keterwakilan perempuan seharusnya adalah 2,4 orang. Namun apabila diterapkan pembulatan kebawah, maka hanya 2 perempuan yang bisa lolos dan memenuhi syarat, berbeda dengan pembulatan keatas keterwakilan perempuan seharusnya bisa menjadi 3 orang. Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus menyampaikan bahwa tidak perlu mengubah aturan partisipasi perempuan, karena KPU telah menyatakan tingkat keterwakilan perempuan dari 18 partai politik telah lebih dari 30%. Pernyataan yang dilontarkan oleh Komisi II DPR RI tersebut diragukan karena kontradiksi dengan data yang telah dikeluarkan oleh Netgrit sebelumnya, bahwa hanya 1 partai yang mampu lolos 30% pemilih perempuan. Dengan adanya sistem penghitungan pembulatan kebawah maka ratusan hingga ribuan caleg perempuan juga berpotensi terdampak yang hendak mencalonkan diri.

Persoalan diatas nampaknya bisa dipandang dari dua sudut pandang, yaitu feminis liberal dan feminis radikal. Feminis liberal menekankan bahwa adanya kegagalan institusi negara dalam melindungi hak – hak perempuan. Bagi feminis liberal, negara wajib membuat regulasi atau peraturan yang melindungi hak – hak perempuan dari segala bentuk opresi. Dalam kasus ini, dapat diketahui adanya kegagalan implementasi pemerintah dalam memberikan akses kepada perempuan melalui undang – undang. Pengingkaran janji yang dilakukan oleh KPU menjadi salah satu bentuk opresi terhadap perempuan karena meminimalisir akses perempuan untuk masuk ke politik. Oleh karena itu masyarakat meminta institusi negara seperti KPU dan Bawaslu untuk melakukan kajian ulang terkait penyusunan UU pemilu tentang partisipasi perempuan.

Sementara di sisi lain, feminis radikal menjelaskan budaya patriarki menjadi penyebab penindasan perempuan. Jika dikaitkan dengan fenomena diatas, agaknya kita memahami bahwa hilangnya secercah harapan kesetaraan gender di Indonesia karena adanya kultur patriarkhi yang mengakar di masyarakat. Budaya patriarki dinilai sangat menghambat perwakilan perempuan untuk maju ke kursi parlemen. Munculnya kultur ini dapat dijumpai ketika perempuan dipandang sebagai entitas second person atau subordinat. Budaya partriarki yang melekat pada akhirnya memunculkan pelabelan (stereotype) negatif kepada perempuan Contohnya yaitu perempuan tidak perlu menempuh pendidikan tinggi, sehingga hal ini yang menutup potensi perempuan untuk melaju ke kursi parlemen.

Mengacu pada penjelasan diatas, sekiranya kita dapat mengetahui bahwa hilangnya hasrat kita untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam perhelatan pemilu 2024 disebabkan karena dua hal utama, yaitu kegagalan negara untuk melidungi hak – hak perempuan, dan melekatnya kultur patriarki. Harapannya tulisan ini dapat memberikan sumbangsih baru terkait topik kesetaraan gender dalam kontestasi pesta demokrasi lima tahunan, sehingga hal ini dapat menyadarkan kita terkait pentingnya kesetaraan gender sebagai langkah mewujudkan Indonesia Emas 2045.

 

Penulis: M. Rayhan Hanif

Editor: Tim Redaksi LPM PRIMA

Gempuran Berita: Masih Relevankah Berita Menjelang Pesta Demokrasi 2024

Akhir-akhir ini, media televisi maupun media sosial menjadi sorotan. Terutama dengan kondisi menjelang pemilu. Keterkaitan antara pemilu dan media televisi maupun media sosial dapat terlihat secara kuat. Media menyajikan banyak berita mengenai hiruk pikuk perpolitikan bangsa. Terutama mengenai perpolitikan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Maka tak heran jika media televisi maupun media sosial dapat menjadi reflektor bagi kandidat yang berkontestasi dalam pemilu 2024. Kedua media tersebut tentu gencar dalam memberikan berita ditengah-tengah perpolitikan.

Dewasa ini media televisi dan media sosial menjadi alat bagi para politisi untuk mensukseskan pesta demokrasi. Tentu tidak dapat di pungkiri bahwa media bukanlah alat yang benar-benar bebas dari kepentingan politik. Artinya bukan hanya kepentingan yang secara gamblang dapat merasuki media melainkan juga ada kepentingan terselubung di dalamnya. Menjelang pemilu semakin terlihat jelas kinerja media yang tidak menampilkan realitas politik, sehingga dengan mudah dapat dikendalikan.

Media tidak dapat berdiri sendiri tanpa campur tangan sebuah partai. Dalam konteks ini khususnya televisi, karena jelas tergambar bagaimana siaran televisi B akan gencar untuk memberikan berita mengenai partai politik B. Tentu untuk mengambarkan citra positif dari kader terbaik (capres dan cawapres) partai tersebut yang turun dalam kontestasi pemilu 2024. Sejauh ini siaran televisi hanya menyajikan berita yang sesuai dengan kepentingannya. Meskipun tidak secara gamblang, namun dapat ditemukan pola bahwa pemberitaan mengenai capres dan cawapres lain sulit untuk ditemukan dalam siaran tersebut. artinya televisi telah di- setting sedemikian rupa untuk mesuksekan framing-nya terhadap masyarakat.

Jika dianalogikan, media televisi menjelang pemilu menyemburkan berita sebanyak- banyakanya tentang suatu politik tertentu. Gempuran media dalam menggambarkan berita tentu juga akan menggunakan bahasa yang hanya menguntungkan kepentingan suatu pihak. Sebenarnya jauh sebelum pemilu 2024, penggunaan bahasa dalam berita media manapun tidak ada yang benar-benar netral. Hal tersebut sudah sempat terlintas dalam kacamata Michael Foucault, bahwa tidak ada bahasa yang sesungguhnya netral, karena bahasa selalu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Oleh sebab itu gempuran berita menjelang pemilu sebenarnya cukup problematik. Pasalnya koalisi media massa dengan parta politik hanya akan meramaikan tayangan televisi untuk keuntungan media dan juga partai politik, namun masyarakat hanya akan mendapatkan informasi yang menjadikannya bias. Hal ini tentu berbahaya bagi pemahaman masyarkat, terutama masyarakat awam.

Media hanya menampilkan berita yang tangible. Baik media televisi maupun media sosial. Seperti halnya ketika media menyajikan berita capres dan cawapres suatu partai dan membentuk citra positif, lantaran tindakan yang ditonjolkan bermanfaat bagi masyarakatnya. Framing capres dan cawapres yang dilakukan media televisi dapat dengan mudah untu menanamkan sosok positif capres dan cawapres. Dalam konteks ini hal tersebut dapat dikatakan sebagai cultivation theory. Pasalnya media selalu menyuapi berita yang diminati bukan yang mendidik. Terkadang masyarakat awam lebih percaya realitas media dibandingkan dengan kenyataan sebenarnya.

Kepercayaan masyarakat terhadap televisi adalah akibat dari cultivation theory, seperti halnya ketika seseorang meyukai salah satu capres dari tayangan televisi atau media sosial. Maka algoritma tersebut akan terus mengikut. Artinya siaran televisi tersebut adala siaran yang selalu di tonton, sedangkan untuk media sosial algoritma yang terbaca dari pencarian pemilik akun akan selalu menyajikan tayangan yang menguntungkan salah satu partai dengan capresnya. Media sangat di perlukan dalam politik terutama menjelang pemilu, karena hanya medialah yang dapat dengan cepat merubah persepsi dan mengajak masyarakat dalam hal dukungan suara. Gempuran berita yang didasari oleh kepentingan pemilik modal dan partai politik tertentu menghasilkan wacana media dan hanya akan membodohi masyarakat, bukan?

 

Penulis: Yani Dwi Rahayu

Editor: Tim Redaksi LPM PRIMA

FISIP dan fasilitas yang layak

Kampus adalah tempat di mana pengetahuan dipertukarkan, kreativitas diperkaya, dan hubungan antarindividu diperkuat. Oleh karena itu, fasilitas kampus berperan penting dalam menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pembelajaran, penelitian, dan pengembangan pribadi. Namun, isu fasilitas kampus sering kali menjadi topik hangat di berbagai perguruan tinggi di seluruh dunia. Dalam tulisan ini, mari kita bahas Bersama mengenai tantangan yang dihadapi oleh fakultas dalam proses peningkatan fasilitas dan potensi peningkatannya dalam era modern. Tantangan utama yang dihadapi oleh pihak kampus mungkin adalah pertumbuhan pesat dalam jumlah mahasiswa. Seiring dengan meningkatnya akses ke pendidikan tinggi, banyak perguruan tinggi harus menghadapi peningkatan jumlah mahasiswa tanpa cukupnya ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan, dan fasilitas pendukung lainnya. Akibatnya, kualitas pendidikan dan pengalaman mahasiswa dapat terpengaruh.

Selain itu, teknologi informasi telah mengubah cara pembelajaran dan penelitian dilakukan. Kampus modern harus memastikan ketersediaan infrastruktur teknologi yang memadai, seperti akses internet cepat, laboratorium komputer, dan perangkat lunak terkini. Hal ini menciptakan tekanan tambahan pada anggaran kampus, yang harus diperbarui secara teratur untuk menjaga fasilitas teknologi tetap relevan. Isu keberlanjutan juga semakin menjadi perhatian. Perguruan tinggi diharapkan untuk meminimalkan dampak lingkungan mereka, dan ini mencakup aspek fasilitas seperti energi, limbah, dan penggunaan sumber daya alam. Kampus yang berfokus pada keberlanjutan harus memikirkan ulang desain dan operasi fasilitas mereka.

Selain tantangan tersebut, ada potensi peningkatan fasilitas kampus yang dapat diperdebatkan. Pertama, pengembangan ruang fleksibel yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari kuliah hingga acara sosial. Ini dapat meningkatkan keterlibatan mahasiswa dan memfasilitasi kolaborasi lintas disiplin ilmu. Kedua, fasilitas kampus dapat ditingkatkan untuk meningkatkan kesejahteraan mahasiswa. Perguruan tinggi dapat menyediakan ruang meditasi, pusat kesehatan mental, dan fasilitas olahraga yang baik untuk membantu mahasiswa mengatasi stres dan menjaga kesehatan mereka. Terakhir, pendekatan berbasis teknologi dapat digunakan untuk meningkatkan manajemen fasilitas kampus. Sistem pintar yang mengatur pencahayaan, suhu, dan keamanan dapat menghemat energi dan memudahkan pengelolaan fasilitas.

Kami sebagai mahasiswa FISIP Unej tentunya berharap banyak terhadap fasilitas, pelayanan dan lainnya. Untuk kegiatan perkuliahan yang nyaman, kegiatan berorganisasi yang leluasa serta kegiatan lain yang bisa berjalan dengan baik tentunya tak lepas dari fasilitas. Tidak perlu terlalu jauh membahas fasilitas, kita mulai saja dengan membandingkan bangunan FISIP dengan bangunan Fakultas-fakultas di dekatnya, coba teman-teman lihat dari ketinggian lantai 4 atau 5 IsDB, lalu lihat dari atas sana. FISIP, kuno, dan sangat berbeda jauh dengan fakultas lainnya. Kemudian masuk ke dalamnya, kita akan disuguhkan pemandangan kursi rotan yang mungkin sudah berumur lebih dari 30 tahun, ada yang jebol, dan banyak coretan-coretanmahasiswa di sana. Apakah itu sudah sebanding dengan UKT yang mahasiswanya bayarkan setiap semesternya?.

Kita bahas lebih luas, mengenai lapangan yang tidak teratur. Bukankah akan lebih bagus jika semua lapangan disediakan dan dijadikan berjejer, sepertinya itu akan membuat mahasiswa lebih mudah dan nyaman untuk latihan seperti voli, basket, maupun yang lainnyaa. Fasilitas lain seperti tempat parkir yang kurang luas dengan jumlah mahasiswa yang bertambah setiap tahunnya. Seharusnya itu yang sangat perlu untuk menjadi perhatian bagi pihak Fakultas, sebagai fakultas tertua harusnya FISIP bisa menjadi cermin bagi fakultas lain, entah itu dalam hal fasilitasnya yang memadai dan lainnya. Mengapa perlu dibahas mengenai fasilitas? Karena tentu semua mahasiswa menginginkan kenyamanan dalam perkuliahan, serta tentunya mahasiswa ingin memiliki kesan yang bisa terus terkenang setelah lulus nanti. Tak hanya bagi mahasiswa tentunya tenaga pendidik seperti dosen serta staf juga menginginkan yang sama untuk menunjang kegiatan mereka.

Kesimpulannya, karena itulah isu fasilitas kampus adalah masalah penting dalam pendidikan tinggi saat ini. Pertumbuhan mahasiswa, teknologi, dan keberlanjutan adalah beberapa tantangan utama yang harus dihadapi oleh perguruan tinggi. Namun, dengan perencanaan yang baik dan inovasi, fasilitas kampus dapat ditingkatkan untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih baik dan memenuhi kebutuhan mahasiswa serta staf pengajar di era modern. Hal ini akan memberikan dampak positif pada pengalaman mahasiswa dan kontribusi penelitian yang dihasilkan oleh perguruan tinggi.

 

Penulis: M. Wildan Al Maftuhi

Editor: Tim redaksi LPM Prima

 

Yang Kurang Dari Fakultas Usang

Kritikan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari dunia perguruan tinggi, hal ini menjadi bagian yang bisa dianggap penting sebagai pengembangan ilmu pengetahuan pada individu atau kelompok tertentu. Tanpa adanya kritikan, bisa dibilang mustahil ada sebuah keseimbangan dari kerangka berpikir dari mahasiswa. Jika kritik sudah menjadi budaya dalam lingkungan kampus, hal tersebut menjadikan pendidikan sebagai media pembentuk mahasiswa yang kritis dan inovatif. Akan tetapi, hal ini akan berbanding terbalik jika apa yang dikembangkan di kampus adalah budaya akademik yang instan, praktis dan bisa dibilang pragmatis yang pada akhirnya melahirkan budaya diam (Culture of Silence).

Bicara perihal fasilitas di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember, bisa dibilang cukup memprihatinkan, bahkan bisa dibilang masih banyak kekurangan dalam segi sarana dan prasarana yang ada. Jika kita bandingkan dengan fakultas lainnya, FISIP masih tergolong “sangat rendah dan jauh dari kata layak”. Mengapa fasilitas FISIP UNEJ menurut saya pribadi masih tergolong rendah dan jauh dari kata layak? Hal ini bisa dilihat dan dibuktikan dari beberapa postingan di instagram @alrafi_official.

Album kerusakan FISIP merupakan media yang saya gunakan untuk memaparkan

betapa kurangnya fasilitas yang ada di lingkungan FISIP UNEJ dengan beberapa tempat yang saya jadikan contoh sebagai bukti kurangnya kesadaran dari pihak fakultas dalam mengoptimalkan dan mengelola dana pembangunan sarana di FISIP UNEJ. Ketidakpuasan saya terhadap fasilitas yang disediakan untuk mahasiswa menjadi dasar saya membuat akun     tersebut.

 

Alasan mengapa muncul sebuah kalimat di atas didasari dengan pertanyaan “kemana larinya Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI)?”. Bukankan sebuah keanehan jika kita

lihat dari banyaknya beberapa mahasiswa FISIP dari jalur mandiri yang dikenakan biaya SPI dengan nominal yang cukup tergolong tinggi, akan tetapi mereka tidak mendapatkan timbal balik dari apa yang mereka keluarkan dan sudah mereka upayakan. Padahal mahasiswa mandiri juga belum tentu semuanya tergolong dalam keluarga yang mampu.

Dari hal-hal kecil tersebut, seharusnya pihak fakultas mulai menyadari dan memperhatikan, apakah kebutuhan fasilitas mahasiswa FISIP UNEJ sudah terpenuhi secara menyeluruh atau tidak. Hal ini juga termasuk merupakan tanggung jawab pihak fakultas selain memenuhi kebutuhan tenaga pengajar juga memenuhi kebutuhan pendukung saat kegiatan fakultas berlangsung.

Berikut merupakan beberapa contoh dari titik yang saya masukkan ke dalam Album Kerusakan FISIP atau instagram @alrafi_official yang tergolong memprihatinkan:

  1. Kondisi Kelas

Berbicara perihal kondisi kelas, tentu saja masih sangat aneh jika sampai saat ini kursi yang digunakan pada beberapa kelas masih menggunakan bahan dasar kayu dengan tampilan yang sudah terlihat rapuh. Hal ini sangat memprihatinkan jika tempat duduk yang digunakan ketika mahasiswa melakukan pembelajaran juga seringkali bergerak karena tidak seimbang dari tinggi kaki kursi kiri dan kaki kursi kanan. Paling tidak kursi seperti ini harus diganti dengan kursi lipat yang biasanya seringkali digunakan ketika berada di kelas mata kuliah umum.

 
  1. Kondisi Lapangan Olahraga.

Perihal lapangan olahraga, saat ini bisa disyukuri bahwa sudah ada perubahan dari penambalan dasar lapangan, pengecatan dan pembersihan sekeliling lapangan. Mungkin harapannya bisa diperbaiki lebih baik lagi dan adanya perawatan lingkungan sekitar lapangan agar tidak ada tanaman liar yang mengganggu mahasiswa UKM olahraga seperti futsal dan basket ketika bola keluar dan seringkali pemain mengalami luka ringan. Dalam hal ini bisa cukup diapresiasi meskipun belum bisa maksimal sepenuhnya.

  1. Kondisi Tempat Terbengkalai.

Jika kita mau melihat di beberapa titik, seringkali kita temukan bahwa adanya bangunan terbengkalai yang sangat disayangkan. Padahal bangunan tersebut jika bisa dikelola dengan baik atau diadakan renovasi bisa lebih bermanfaat daripada hanya menjadi sebuah bangunan kosong yang mungkin pada akhirnya hanya dijadikan sebagai gudang atau bahkan hanya dibiarkan begitu saja tanpa adanya manfaat yang jelas

  1. Kondisi Taman Super Wi-Fi (TSW)

Tempat ini merupakan tempat yang seharusnya menjadi tempat nyaman bagi mahasiswa ketika menunggu pergantian mata kuliah yang akan berlangsung dan bahkan menjadi tempat istirahat bagi mahasiswa ketika mengerjakan tugas dan lain sebagainya. Namun hal yang sangat disayangkan adalah ketika hujan seringkali atap TSW mengalami kebocoran dan tidak bisa digunakan sebagai tempat berteduh yang nyaman, bahkan air sampai menggenangi lantai jika hujan yang turun terlalu deras. Dilihat dari kecepatan Wi-Fi juga masih dirasa kurang memuaskan bagi kita sebagai mahasiwa, karena ketika kita mengalami kendala dalam jaringan atau ada mahasiwa yang tidak memiliki kuota, hal ini seharunya bisa menjadi alternatif namun berbanding terbalik dengan arti nama TSW itu sendiri.

 
  1. Kondisi Samping Gedung.

Ada beberapa titik di samping gedung FISIP yang menurut saya pribadi masih terlihat kumuh . Seharusnya kondisi seperti ini bisa menjadi perhatian lebih agar lingkungan FISIP bisa jauh lebih bersih dari sudut pandang manapun. Harapannya juga disediakan tempat penyimpanan sendiri agar sisa-sisa pembangunan juga tidak terlihat berserakan.

  1. Kondisi Sudut Fakultas.

Kenapa tempat ini bisa disebut sebagai “bagian hampa?”, hal ini dikarenakan bagian ini merupakan salah satu mading informasi yang seharusnya bisa digunakan untuk promosi kegiatan baik dari UKM, HMJ, BEM, BPM dan infomasi lainnya. Akan tetapi salah satu tempat seperti ini juga kurang mendapatkan perhatian sehingga terlihat ada namun tidak berfungsi dan saya menyimpulkan bahwa tempat ini memang menjadi bagian hampa dari FISIP UNEJ. Harapannya semoga tempat seperti ini bisa mendapatkan perhatian khusus agar bisa lebih berguna dari sebelumnya.

Dari beberapa pemaparan yang saya jelaskan melalui akun instagram @alrafi_official, bukan berarti saya pribadi sebagai admin Album Kerusakan FISIP ingin mencemarkan nama baik FISIP UNEJ, akan tetapi saya berharap pihak fakultas bisa memperhatikan beberapa hal yang bisa dibilang masih kurang dalam segi fasilitas. Semoga tulisan ini juga bisa menjadi salah satu kritikan yang bisa dilihat, dibaca dan diterapkan oleh pemegang kekuasaan (pihak fakultas) agar bisa menjadi sebuah renungan yang bisa dipertimbangkan apakah hal ini memang benar bisa dijadikan faktor adanya perubahan atau bahkan diacuhkan karena para pemegang kekuasaan sudah menutup rapat-rapat perihal saran dan masukan dari seorang mahasiswa. Salam Perubahan!.

 

Penulis: Yoga Parulian Panggabean

Editor: Tim redaksi LPM Prima

Selamat Datang di Fakultas Eksklusif

Selamat datang di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember, di mana fasilitas yang tidak memadai adalah norma. Kami memiliki WiFi supercepat... untuk ukuran zaman Mesozoikum! Jika Anda berencana untuk nyaman, kursi kayu 'eksklusif' kami akan memberi Anda pengalaman nyeri punggung yang tak terlupakan. Perihal birokrasi, kami melatih mahasiswa menggunakan standar tertinggi dengan membuat hal sederhana menjadi berbelit-belit. Terimakasih, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, kami tidak akan bisa bertahan tanpa rasa humor yang Anda ciptakan.

Apa yang bisa kami katakan tentang Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember? Oh ya, 'fasilitas unggulan' yang tak terlupakan. WiFi yang seolah-olah sedang merenungkan makna hidup, kursi kayu yang memanggil-manggil seorang ahli pijat, dan birokrasi yang akan memberi pengalaman puncak kepada mahasiswa dalam hal mengisi formulir. Jadi, jika Anda suka tantangan, menyukai suasana 'zaman dahulu', dan bermimpi untuk menguasai seni menghadapi hambatan tak perlu, inilah tempat yang tepat!

Selamat datang di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember, tempat di mana kata 'kemajuan' adalah sesuatu yang memang selalu kami dengar. Kami sangat bangga dengan fasilitas kami yang sangat memadai; kami berkomitmen untuk memberikan pengalaman kuliah yang benar- benar tak terlupakan. Jika Anda merindukan kecepatan cahaya, WiFi 'eksklusif' kami akan membantu Anda mengevaluasi sabar Anda, karena hanya memerlukan beberapa menit untuk membuka halaman web yang sederhana. Sementara itu, kursi kayu kami, dengan desain yang terinspirasi dari masa prasejarah, akan membantu Anda merasakan sensasi punggung terbaik yang pernah Anda rasakan.

Tapi itu bukanlah semua yang kami tawarkan. Birokrasi kami merupakan karya seni dalam hal menghadirkan hambatan. Mengurus administrasi atau mengisi formulir seperti berpartisipasi dalam lomba lari hantu – Anda merasa seperti Anda sudah melakukan sesuatu, tetapi pada akhirnya Anda hanya berada di tempat yang sama. Jika Anda ingin merasakan kebingungannya, tinggalah dengan kami! Kami memahami bahwa pengalaman kuliah adalah tentang mencari tantangan, dan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, kami memastikan Anda mendapatkan lebih dari yang Anda inginkan. Jadi, jika Anda mencari tempat yang mengesankan dengan kemunduran teknologi, benda-benda keras untuk duduk, dan teka-teki birokrasi yang tak ada habisnya, selamat datang di surga kami!

 

Penulis: Sardo hasiholan pardede

Editor: Tim redaksi LPM Prima

Fisip Unej Adalah Rumahku

Banyak mahasiswa yang menganggap kampusnya merupakan rumah keduanya. Tentu saja hal tersebut memiliki alasan yang kuat, karena kampus merupakan tempat mahasiswa untuk berkreasi dan memperoleh ilmu yang bermanfaat. “Kampusku rumahku” merupakan kalimat yang sangat dekat dan sangat bermakna bagi banyak mahasiswa, lantaran mahasiswa merasa bahwa kampus adalah wilayah yang seharusnya aman, tentram, rapi dan nyaman untuk ditempati sama seperti rumah bersama orang tua. “FISIP UNEJ rumahku” sangat sulit jika ingin dipahami dan dipercayai oleh mahasiswa FISIP UNEJ. Rumah seharusnya merupakan tempat yang mempunyai hawa yang membuat yang menempat tinggali nyaman dengan fasilitas-fasilitas yang diberikan. FISIP UNEJ sekarang ini masih sulit untuk bisa mendeskripsikan diri sebagai “lingkungan rumah” mahasiswa karena fasilitas-fasilitasnya  yang kurang memadai. 

Rumah seharusnya mempunyai fasilitas yang nyaman untuk dipakai oleh penghuninya. FISIP UNEJ mempunyai banyak fasilitas yang ditawarkan, namun “bobrok” dalam hal mempertahankan kualitasnya. Rumah seharusnya mempunyai kursi yang tidak bolong tengahnya, rumah seharusnya mempunyai meja yang memadai, rumah seharusnya mempunyai taman bermain yang tidak kotor dan banyak sampah, rumah seharusnya mempunyai infrastruktur yang baik bukan seperti bangunan zaman dahulu, dan masih banyak lagi. Tentu saja Mahasiswa FISIP UNEJ tidak bisa melihat kriteria-kriteria tersebut di dalam “rumah kedua” nya.

Tentu saja ketika rumah terlihat “bobrok” maka perbaikan harus segera dilaksanakan. Banyak hal yang harus diperbaiki dalam lingkungan FISIP UNEJ, tapi kata banyak di sini tidak bisa dijadikan alasan lamanya proses perbaikan tersebut. Bisa saja alasan lamanya proses tersebut adalah birokrasi FISIP UNEJ yang juga terkenal lama dan tidak jelas. Banyak sumber dan mulut yang sudah mengeluarkan suaranya mengenai kurang baiknya birokrasi FISIP UNEJ. Hal keterlambatan surat,hilangnya surat,keselipnya surat merupakan beberapa hal yang sudah sering didengar dan dialami oleh Mahasiswa FISIP UNEJ. Maka itulah ketika rumah sedang memerlukan perbaikan maka hal tersebut harus segera dilakukan agar tidak merugikan penghuninya.

Bobroknya fasilitas di FISIP UNEJ pastinya ada yang harus bertanggung jawab. Tentu saja tidak hanya pihak dekanat yang mungkin kurang memadai aspirasi mahasiswa dan yang harus bertanggung jawab perihal fasilitas di FISIP UNEJ. Tentunya mahasiswa juga harus berperan dalam hal ini. Mungkin tidak dapat memberikan sumbangan material. akan tetapi mahasiswa juga dapat berperan dalam hal menjaga fasilitas yang sudah diberikan. Mahasiswa sekarang sering hanya menyuarakan, namun tidak bertindak yang seharusnya. Contohnya saja mahasiswa sering bersuara mengenai fasilitas FISIP UNEJ yang kurang baik, namun kenyataannya banyak mahasiswa sendirilah yang sering merusak fasilitas yang ada. Sebagai orang berpendidikan sudah seharusnya mahasiswa yang merupakan penghuni rumah FISIP UNEJ menghargai, merawat, dan menjaga rumahnya. Tindakan-tindakan tersebut harus dilaksanakan agar mahasiswa FISIP UNEJ dapat mengatakan dengan lantang bahwa “FISIP UNEJ RUMAHKU!!”

Penulis : Sandi Satya Laksono.

Editor: Tim redaksi LPM Prima

Ada Larangan Parkir, Mahasiswa Tetap Terobos

Seperti yang kita ketahui, terdapat larangan untuk parkir di area depan IsDB (Islamic Development Bank) Universitas Jember. Sayangnya masih banyak mahasiswa yang acuh terhadap larangan tersebut. Bukannya tidak melihat, banyak mahasiswa yang memang sengaja masih tetap parkir di sana meskipun sudah melihat larangannya dengan berbagai alasan. 

IsDB sendiri berlokasi di antara FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Politik) dan FIB (Fakultas Ilmu Budaya).  Tempat ini menjadi lokasi favorit mahasiswa untuk memarkirkan kendaraannya lantaran lokasinya yang cukup strategis dan dekat dengan kelas. Dengan begitu, mahasiswa tidak perlu berjalan terlalu jauh setelah memarkirkan kendaraannya. 

Sejauh ini belum ada masalah serius terkait dengan mahasiswa yang parkir di depan IsDB. Hanya saja, bagi mahasiswa yang berjalan kaki harus lebih waspada ketika melewati gedung IsDB. Hal ini dikarenakan khawatir mereka terserempet pengendara motor. Selain itu, mereka harus memiringkan tubuhnya untuk melewati motor-motor yang ada di depan gedung IsDB. 

Sampai saat ini tanda larangan parkir di depan gedung IsDB masih tetap melekat di tempat. Mahasiswa juga semakin banyak memarkirkan kendaraan di sana. Tidak adanya penjaga parkir menjadi penyebab berantaknya penataan sepeda motor di IsDB, ditanbah lagi area di depan gedung IsDB yang belum memadai untuk dijadikan lahan parkir.

Kegigihan mahasiswa untuk memarkirkan kendaraannya di depan gedung IsDB kemungkinan karena tidak adanya hukuman bagi pelanggar. Hanya di awal-awal saja para mahasiswa yang memarkirkan kendaraannya di sana ditegur oleh pihak terkait. Namun, hingga saat ini belum ada hukuman yang serius bagi para pelanggar.

Seharusnya, ketika mahasiswa mengetahui adanya larangan parkir, mahasiswa harus mematuhi aturan yang berlaku dengan tidak parkir di sana. Selain itu, mahasiswa juga harus mengingatkan satu sama lain jika ada pelanggaran yang dilakukan oleh mahasiswa. 

 

Penulis: Rima Kumara Dewi (RKD)

Editor: Tim Redaksi LPM PRIMA FISIP

Tipsen, Kebiasaan Buruk Mahasiswa yang Dilestarikan Bersama

Fenomena titip absen atau tipsen di kalangan mahasiwa, merupakan sebuah fenomena buruk yang tidak jarang kita temui selama masa perkuliahan dan mungkin, kita juga pernah melakukan tipsen semasa perkuliahan kita. Sebenarnya, mengapa tipsen ini masih marak dilakukan oleh mahasiswa?

Titip absen masih marak dilakukan bisa disebabkan oleh banyak hal. Contohnya seperti kurangnya rasa tanggung jawab atas dirinya-sendiri. Dengan kurangnya rasa tanggungjawab ini, mahasiswa akan menggampangkan perkuliahan dan merasa “yang penting presensi aja”. Selain itu, kegiatan tipsen yang sebenarnya adalah pelanggaran justru dianggap sebagai sesuatu yang biasa (dinormalisasi oleh mahasiswa). Sebab itu, kebiasaan buruk ini terus berlangsung hingga sekarang, dan tentunya dampak tipsen ini merugikan mahasiswa itu sendiri. Walaupun jumlah presensi mahasiswa tetap penuh 100% tetapi tentu saja mahasiswa melewatkan pembelajaran penting yang disampaikan dosen. 

Selanjutnya, aktivitas tipsen selain berdampak buruk untuk pelaku juga berdampak buruk bagi mahasiswa lain, terkhusus teman sekelas. Dalam perkuliahan di kelas ketika ada salah satu mahasiswa yang melakukan tipsen, dosen melakukan pengecekan presensi dan diketahui bahwa ada mahasiswa yang mengisi presensi namun tidak hadir. Maka dosen akan menilai kelas tersebut sebagai kelas yang buruk dan mereka yang datang yang mendapatkan getahnya, seperti; omelan dan sindiran. Sehingga kebiasaan tipsen ini harus diubah. Dengan berubahnya kebiasaan buruk tipsen ini, mahasiswa bisa menjadi manusia yang lebih bertanggungjawab atas dirinya-sendiri dan sekitarnya sebagai seorang mahasiswa.

Untuk mengurangi kebiasaan tipsen selain dari mahasiswa, dosen juga perlu mengambil peran dengan cara melakukan pengecekan ulang mengenai siapa saja yang presensi dan siapa yang hadir, apakah sesuai atau tidak. Dosen juga bisa menggunakan wewenangnya untuk menindak lanjut siapa-siapa saja yang melakukan tipsen. Dengan upaya aktif dari pihak mahasiswa dan dosen, kita bisa meminimalisir para oknum mahasiswa tipsen ini. 

Terimakasih. Jangan tipsen, ayo kelas!

 

Penulis: Rima Kumara Dewi (RKD) 

Editor: Tim Redaksi LPM PRIMA FISIP

Satu Dekade Lebih RUU Perampasan Aset Belum Disahkan, Sampai Mana Progresnya

Satu dekade lebih pengerjaan draft RUU Perampasan Aset bukan merupakan waktu yang singkat, namun hingga kini RUU Perampasan Aset tak kunjung disahkan. Tentu hal ini membuat pertanyaan besar dari berbagai kalangan pihak yang mendengar, sampai mana progresnya? Mengingat RUU tersebut dibutuhkan sebagai payung hukum untuk merespons kasus-kasus korupsi yang ada di tanah air. Perlu diketahui, RUU Perampasan Aset sebenarnya telah dibuat oleh pemerintah tepatnya Kementerian Hukum dan HAM pada tahun 2012 silam. Namun seiring bergantinya tahun, perkembangan RUU tersebut tidak ada. Seorang peneliti Formappi Lucius Karus pun mempertanyakan sikap pemerintah yang tidak mengusulkan RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas 2021. 

Bahkan, pada Bulan April 2022 kemarin sangat disayangkan sikap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menolak RUU Perampasan Aset masuk dalam daftar prioritas. Padahal, melihat kondisi Indonesia yang banyak diselimuti oleh kasus korupsi seharusnya RUU tersebut sangat urgent untuk segera dibahas dan juga disahkan. Melihat kondisi tersebut, sikap pemerintah dan DPR yang sama-sama tidak memperjuangkan pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset menunjukkan lemahnya semangat pemberantasan korupsi di tanah air. 

Urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset pun kembali mengemuka setelah ramai pemberitaan kekayaan pejabat publik yang tidak sesuai dengan profil pendapatannya. Fenomena yang dikenal sebagai “flexing kekayaan” yang menunjukkan gaya hidup mewah para pejabat publik dan keluarganya, membutuhkan pembuktian terbalik. Hal ini memicu munculnya pertanyaan publik mengenai progres dari RUU Perampasan Aset saat ini.

Per tanggal 14 Februari 2023, Kantor Staf Presiden (KSP) memberikan keterangan bahwasannya pemerintah masih dalam proses pematangan draf RUU, yang mana dalam waktu tersebut RUU Perampasan Aset masih dalam pembahasan pengajuan surat presiden (surpres) agar draft tersebut dikirimkan kepada DPR. 

Selain Kantor Staf Presiden (KSP), Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly setelah menghadiri acara penandatanganan komitmen pelaksanaan Aksi Pencegahan Korupsi 2023-2024, beliau menyampaikan bahwa draft RUU Perampasan Aset sudah diharmonisasi oleh Menkumham. Beliau juga berharap draft RUU tersebut bisa dikirimkan ke DPR tahun ini.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Edward Omar Sharif Hiariej juga mengungkapkan bahwasannya progres RUU Perampasan Aset per tanggal 10 Maret 2023 masih dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Beliau juga menambahkan bahwa dalam waktu dekat RUU Perampasan Aset tersebut akan diserahkan kepada presiden, yang kemudian akan dikirimkan kepada DPR setelah Surat Presiden (Surpres) terbit. 

Sebagaimana diketahui, RUU Perampasan Aset merupakan salah satu hal yang menjadi prioritas pemerintah, yang mana saat ini RUU Perampasan Aset telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah memberikan instruksi dan mewanti-wanti agar RUU Perampasan Aset segera disahkan. Seperti yang telah dipaparkan beliau dalam Konferensi Pers di Istana Merdeka pada Selasa (07/02/23), beliau mendorong agar RUU tentang perampasan aset dalam tindak pidana dapat segera diundangkan dan segera memulai pembahasan RUU pembatasan transaksi uang kartal. Oleh sebab itu, RUU Perampasan Aset ini harus segera disahkan dan dapat segera digunakan dengan sebagaimana mestinya karena peraturan ini bernilai penting, tidak merugikan siapapun selain orang yang melakukan korupsi dan tentunya peraturan ini dapat memberikan keuntungan bagi negara.

 

Penulis: Sherly Ananda C. (SAC)

 

Sumber: 

Jogjatribunnews.com. (2023, 10 Maret). RUU Perampasan Aset Masih Diharmonisasi, Wamenkumham: Kita Serahkan ke Presiden. Diakses pada 24 Maret 2023, dari https://www.google.com/amp/s/jogja.tribunnews.com/amp/2023/03/10/ruu-perampasan-aset-masih-diharmonisasi-wamenkumham-kita-serahkan-ke-presiden

Kompas.com. (2023, Maret 8). "Menkumham Ungkap Progres RUU Perampasan Aset yang Sudah Lama Mandek" [video]. Youtube, https://youtu.be/6xBgoauD9fo

Telusur.co.id. (2023, 6 Maret). PSI: Yang Menghambat Pengesahan RUU Perampasan Aset, Berarti Pro Korupsi. Diakses pada 24 Maret 2023, dari https://telusur.co.id/detail/psi-yang-menghambat-pengesahan-ruu-perampasan-aset-berarti-pro-korupsi

RRI.co.id. (2023, 14 Februari). Pemerintah Masih Matangkan Draft RUU Perampasan Aset. Diakses pada 24 Maret 2023, dari https://www.rri.co.id/anti-korupsi/163295/pemerintah-masih-matangkan-draf-ruu-perampasan-aset

M.kumparan.com. (2022, 14 April). RUU Perampasan Aset yang Terombang-ambing Selama 10 Tahun. Diakses pada 24 Maret 2023, dari https://www.google.com/amp/s/m.kumparan.com/amp/mfandra55/ruu-perampasan-aset-yang-terombang-ambing-selama-10-tahun-1xse9omEQj7

Jendelanasional.com. (2022, 21 April). RUU Perampasan Aset Ditolak DPR, Politik Kita Tidak Berpihak pada Rakyat. Diakses pada 24 Maret 2023, dari https://jendelanasional.id/headline/ruu-perampasan-aset-ditolak-dpr-politik-kita-tidak-berpihak-pada-rakyat/

Kompas.com. (2021, 15 April). RUU Perampasan Aset: Dibutuhkan tetapi Tak Kunjung Disahkan. Diakses pada 24 Maret 2023, dari https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/nasional/read/2021/04/15/10152721/ruu-perampasan-aset-dibutuhkan-tetapi-tak-kunjung-disahkan

 

Mempertanyakan Urgensi Perppu Cipta Kerja

Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja diterbitkan Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022 dan telah disahkan menjadi Undang-Undang oleh DPR RI dalam Rapat Paripurna, Selasa 21 Maret 2023. Penerbitan Perppu Ciptaker mendapat banyak dikritik oleh pakar hukum dan aktivis masyarakat sipil. 

Selain penerbitan Perppu Ciptaker dianggap menyalahi aturan, isi Perppu juga dianggap merugikan warga negara, utamanya pekerja. Masyarakat merasa tidak puas dengan produk kebijakan pemerintah, akan tetapi DPR tetap mengesahkan Perppu tersebut menjadi Undang-Undang. 

Secara definitif, Perppu dijelaskan sebagai peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden karena ada kegentingan yang memaksa. Sehingga aturan ini berkedudukan sama dengan Undang-Undang dan dikeluarkan presiden dalam situasi darurat. 

Dalam konteks Perppu Cipta Kerja, sebenarnya kegentingan seperti apa yang membuat presiden mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Melansir dari kompas.com, alasan pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja yang dijelaskan oleh Menko Airlangga adalah karena adanya kebutuhan mendesak, peningkatan inflasi dan ancaman stagflasi, perang Ukraina-Rusia, perang dagang AS-Tiongkok dan ketegangan geopolitik taiwan yang belum selesai. Sehingga, pemerintah merasa perlu untuk mengeluarkan Perppu No.2 Tahun 2022 untuk memberikan kepastian hukum pada investor.

Pertanyaan pertama, mengapa pemerintah tidak memperbaiki UU No. 11 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja seperti yang diamanatkan dalam Putusan MK No.91/PUU-XVII/2020 saja? Bahkan Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk segera memperbaiki dalam jangka waktu dua tahun sejak putusan ini ditetapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilaksanakan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja dianggap inkonstitusional secara permanen. Pemerintah justru mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2022 yang memiliki materi muatan yang mirip dengan UU No.11 Tahun 2020. Apakah waktu dua tahun tidak cukup untuk membuat perbaikan? Padahal DPR kita punya track record kilat dalam pembuatan undang-undang, meskipun di tengah masa reses dan pandemi. 

Pertanyaan kedua, bukankah kondisi ekonomi yang buruk, perang Ukraina-Rusia, konflik AS-Tiongkok sudah berlangsung sejak lama? Menurut mediaindonesia.com, perekonomian Indonesia tidak baik sejak pandemi, dalam pemberitaan detik.com potensi perang Ukraina-Rusia sudah terlihat sejak November 2021, dan potensi konflik AS-Tiongkok sudah terlihat Agustus tahun 2020 seperti yang disampaikan oleh Menteri Pertahanan Tiongkok, Wei Fenghe dalam pemberitaan mediaindonesia.com. Lalu kenapa pemerintah baru saja menerbitkan Perppu dengan pertimbangan antisipasi kondisi-kondisi diatas? Jika dibandingkan, materi muatan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja mirip dengan UU No.11 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, apakah pemerintah tidak mampu melakukan antisipasi sejak awal?

 

Penulis: Amar Ardiansyah

Penerbitan Perppu Cipta Kerja Mengabaikan Partisipasi Publik

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022. Namun, perumusan dan materi muatan Perppu Ciptaker justru menjadi polemik dan mendapat banyak kritik. Perppu Cipta Kerja diterbitkan untuk menggantikan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan Inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). 

Seperti yang kita ketahui bersama, pengujian Undang-Undang Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi adalah menyangkut tata cara perumusan Undang-Undang Cipta Kerja yang tidak sesuai prosedur pembuatan Undang-Undang, sehingga cacat secara formil. Menurut DR. Ahmad Yani, SH. MH konsekuensi cacat formil itu membuat seluruh Undang-Undang Ciptaker, mulai dari pertimbangan hukum, batang tubuh hingga penjelasan Undang-Undang Ciptaker menjadi inkonstitusional. 

Cacat Formil pembentukan Undang-Undang Ciptaker memang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam banyak hal. Dalam putusannya, Makamah Konstitusi memberi waktu untuk pembuat undang-undang memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka waktu 2 tahun setelah putusan dibacakan. Artinya, apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja otomatis sinyatakan inkonstitusional bersyarat secara permanen. 

Alasan ketidakpastian hukum ternyata digunakan oleh Presiden sebagai dalil untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang memiliki materi muatan mirip dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Padahal, dalam Putusan MK No.91/PUU-XVII/2020 mengamanatkan pemerintah dan DPR agar memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja, bukan malah menerbitkan Perppu. 

Dalam proses penyusunan Undang-Undang Ciptaker tidak ada partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation). Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa selain yang ditentukan dalam aturan legal formal, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga terwujud keterlibatan masyarakat yang sungguh-sungguh. Dalam Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020, MK mengartikan partisipasi yang bermakna sebagai : pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard) kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered) dan ketiga, hak untuk mendapat penjelasan atas pendapat yang diberikan (right to be explained)

Penerbitan Perppu dapat dianggap sebagai langkah “alternatif” pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan investasi dan lapangan kerja, dari pada memperbaiki UU Cipta Kerja seperti yang diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sehingga dalam proses penyusunan peraturan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) tidak terjadi,  seharusnya dalam proses penyusunan peraturan, pemerintah harus menghadirkan ruang partisipasi masyarakat yang bermakna, khususnya bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas.

Dan hari ini, Selasa 21 Maret 2023 Perppu Cipta Kerja telah disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang. hiks.

 

Penulis: Amar Ardiansyah

Editor  : Tim Redaksi LPM PRIMA

 

Memangnya FISIP UNEJ Punya Perpus

Apapun program studinya, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) selalu mendambakan serta mengharapkan adanya kelengkapan dan kelayakan fasilitas yang ada di FISIP. Namun, sangat disayangkan hingga saat ini harapan-harapan mahasiswa FISIP masih jauh dari kata terwujud. Realitanya, proses pemenuhan harapan tersebut masih selalu menjadi  pertanyaan dari banyak mahasiswa. Sebagai contoh, kebanyakan dari mahasiswa baru tidak mengetahui bahwa FISIP memiliki perpustakaan. Bahkan, mahasiswa semester tengah (semester 4) berkata jujur bahwa dirinya kaget dan tidak tahu jika fakultasnya memiliki perpustakaan.  

Peletakan perpustakaan FISIP  berada di paling pojok lantai dua gedung C. Sehingga, jika ditinjau dari segi lokasi penempatan perpustakaan saja sudah terbilang tidak strategis. Hal ini dikarenakan lokasi tersebut jarang dilewati oleh kebanyakan mahasiswa, terutama mahasiswa baru. Lantai dua gedung C merupakan ruangan-ruangan yang sering di akses oleh mahasiswa semester akhir yang akan menuju ruang sidang. Sehingga mahasiswa baru dan mahasiswa semester tengah jarang berlalu lalang di situ. Dari tata letak perpustakaan FISIP, kita menemukan faktor pertama mengapa mahasiswa FISIP mengutarakan pertanyaan “Memang FISIP punya perpus?” atau “Dimana perpustakaan FISIP?”.

Menindaklanjuti persoalan faktor kurang eksisnya perpustakaan milik FISIP, bisa kita ingat  kembali. Saat masa penerimaan mahasiswa baru, apakah pihak Fakultas memberikan sebuah pengenalan dan sosialisasi bahwasanya FISIP memiliki perpustakaan yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh mahasiswa FISIP? Hal ini perlu ditanggapi oleh pihak Fakultas, agar keberadaan perpustakaan FISIP dapat memberikan akses literatur bagi seluruh mahasiswa FISIP. 

Berbicara mengenai literatur, faktor lain yang memunculkan pertanyaan mengapa sebagian besar mahasiswa, terutama mahasiswa baru FISIP tidak sadar bahwa fakultasnya memiliki perpustakaan ialah penyediaan akan buku literatur yang ada di perpustakaan. Buku literatur yang ada, didominasi oleh dokumentasi-dokumentasi berkas skripsi mahasiswa. Alhasil perpustakaan FISIP beralih fungsi menjadi tempat penyimpanan skripsi-skripsi mahasiswa.

Lalu, apakah bisa perpustakaan FISIP ini  berfungsi dengan sebagaimana mestinya? Jawaban atas pertanyaan tersebut akan bisa diwujudkan apabila pihak fakultas menaruh perhatian dan menindaklanjuti agar perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember menjadi sumber literatur yang dapat diandalkan dan dimanfaatkan oleh seluruh civitas akademika FISIP.

Penulis: Syahrina Rojabar Rizqiyah

 

 

Angka Pengangguran Tinggi, Ngemis Online Jadi Solusi

Indonesia merupakan negara yang kaya. Tidak hanya kaya akan sumber daya alam dan kebudayaannya, Indonesia juga kaya akan sumber daya manusianya. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), sampai pada Juni 2022 jumlah penduduk Indonesia mencapai 275,36 juta jiwa. Dari angka tersebut, sebanyak 190,83 juta jiwa (69,3%) penduduk Indonesia termasuk kategori usia produktif (15-64 tahun). Sisanya sebanyak 84,53 juta jiwa (30,7%) penduduk termasuk kategori usia tidak produktif. Angka yang begitu besar ini seharusnya menjadi potensi bagi Indonesia, terutama jika mengikuti visi Pemerintah saat ini yakni SDM Unggul Indonesia Maju. Jumlah penduduk dengan usia produktif yang banyak tersebut, diharapkan bisa melahirkan individu yang produktif, memberikan manfaat serta dapat bekerja dengan cepat, tepat dan profesional.

Benarkah harapan itu bisa terwujud? Sejak dahulu Indonesia dikenal dengan negara yang memiliki angka pengangguran tinggi. Hingga bulan Agustus 2022, Badan Pusat statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,4 juta orang. Dengan jumlah pengangguran paling banyak berasal dari kelompok usia 20-24 tahun, yakni 2,54 juta orang. Angka ini tentu bukanlah angka yang kecil, pemerintah memiliki pr untuk menurunkan angka ini setiap tahunnya. Setiap tahun Indonesia menghasilkan jutaan lulusan sarjana dan diploma, akan tetapi tidak sebanding atau terjadi kesenjangan dengan lapangan kerja yang ada. Hal ini yang menyebabkan angka pengangguran menjadi tinggi setiap tahunnya.

Adanya pandemi COVID-19 turut memberi dampak terhadap lapangan pekerjaan yang ada, banyak perusahaan yang tutup dan gulung tikar. Banyak perusahaan yang mengubah sistem kerjanya menjadi online atau work from anywhere dan mengurangi jumlah pegawai. Lapangan pekerjaan semakin minim karena kita telah memasuki era yang baru, yakni disruption era (disrupsi teknologi). Perubahan besar-besaran telah dilakukan, diikuti dengan banyaknya inovasi yang menyebabkan semua pekerjaan dapat dilakukan secara digital atau by system. Bahkan saat ini, pekerjaan manusia banyak tergantikan oleh robot atau sistem. Secara otomatis, digitalisasi telah memasuki hampir semua lini kehidupan manusia. Aktivitas manusia menjadi bergeser dari dunia nyata ke dunia maya, tenaga manusia bergeser menjadi tenaga mekanik, dan komputer bergeser menjadi robot.

Beberapa hal menjadi mudah dengan adanya digitalisasi, akan tetapi beberapa hal menjadi nyeleneh dengan adanya digitalisasi. Kenapa nyeleneh? Lapangan kerja yang tidak sebanding dengan banyaknya jumlah penduduk membuat beberapa orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Mereka mencari uang dengan cara-cara yang nyeleneh, yang tidak sesuai dengan nilai dan etika dalam masyarakat. Kehadiran media sosial TikTok menjadi ladang bagi orang-orang untuk mencari uang, faktanya TikTok menjadi aplikasi yang paling banyak diunduh sepanjang 2021 di dunia menurut Apptopia, Pencapaian ini telah mengalahkan media sosial Instagram yang menjadi aplikasi paling banyak diunduh sebelumnya.

Mandi lumpur sambil live streaming merupakan hal nyeleneh yang muncul sejak TikTok menjadi aplikasi yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. TikTok merupakan aplikasi yang berfokus pada pengunggahan video singkat dan live streaming. Informasi dan berita yang baru saja terjadi dapat dengan mudah kita ketahui melalui video singkat yang masuk dalam For Your Page (FYP) kita. Mulai dari konten yang benar-benar bermanfaat dan edukatif hingga konten yang hanya ‘asal viral’, dapat dengan mudah kita temukan di TikTok. Sayangnya masyarakat lebih suka mengonsumsi konten yang hanya ‘asal viral’ dibandingkan dengan konten yang edukatif. Salah satunya yakni fenomena mandi lumpur sambil live streaming.

Ketika melakukan live streaming, penonton dapat memberikan gift yang nantinya bisa ditukar dengan rupiah. Iming-iming inilah yang membuat beberapa orang ingin mendapatkan uang dengan instan, yakni berbuat nyeleneh dalam live streaming dengan harapan bisa viral dan banyak yang menonton. Ketika banyak yang menonton dan memberikan gift, maka pundi-pundi rupiah dapat diterima. Hal ini dikarenakan gift tersebut memiliki tingkatan yang berbeda. Semakin mahal gift yang diberikan oleh penonton, maka semakin banyak pula pundi-pundi rupiah yang akan didapatkan.  Fenomena mandi lumpur ini kebanyakan dilakukan pada malam hari oleh orang yang telah lanjut usia, seperti nenek-nenek. Sehingga mereka menjual rasa iba atau rasa kasihan agar penonton mau memberikan gift yang mahal. Dengan harapan gift tersebut dapat membantu nenek tersebut.

Mengemis online namanya. Karena keinginan untuk viral yang tinggi tersebut, membuat orang rela melakukan hal-hal yang jauh dari nilai moral dan etika yang ada dalam masyarakat. Keuntungan secara instan merupakan tujuan yang dikejar dalam fenomena ini. Seseorang yang telah lanjut usia diminta untuk mandi lumpur pada malam hari, bahkan dengan aturan apabila ada yang mau memberikan gift mahal maka jumlah guyuran menjadi semakin banyak. Jika ini menjadi hiburan bagi penonton, tentu saja tidak. Hal ini lebih seperti tindakan eksploitasi yang membahayakan kesehatan seseorang, terutama jika orang tersebut termasuk kategori lanjut usia. Bukannya kasihan melihat nenek-nenek mandi lumpur pada malam hari, tetapi orang-orang malah terus menonton dan memberikan gift. Astaga, ada orang menderita kalian kok terhibur!?

Lapangan pekerjaan di Indonesia memang tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang belum bekerja, akan tetapi mari gunakan akal dan pikiran kita untuk mencari uang dengan cara yang benar. Bukan dengan cara yang tidak sesuai dengan nilai moral dan etika yang ada dalam masyarakat. Kita seakan-akan mengikuti era disrupsi dengan memindahkan pengemis di jalanan ke dalam live streaming TikTok. Dalam fenomena ini, tidak hanya yang melakukan live streaming saja yang salah, melainkan penonton yang ikut memberikan gift juga salah. Dengan memberikan gift mereka telah membuat orang lain terinspirasi mencari uang dengan cara instan. Akan semakin banyak ide nyeleneh  yang bermunculan supaya bisa menjadi viral dan banyak yang menonton.

Seharusnya jika penonton memang benar-benar merasa kasihan dengan nenek-nenek yang  dalam live streaming, berhentilah menonton. Agar live streaming tersebut menjadi sepi, bahkan jika perlu report saja. Jika live streaming tersebut tidak laris alias sepi, maka orang lain akan berpikir dua kali ketika akan membuat konten yang sama. Mari biasakan untuk tidak menonton dan tidak menanggapi konten-konten yang dibuat dengan tujuan ‘asal viral’ saja. Jika kita berkomitmen dalam melakukan hal ini, maka sumber daya manusia kita akan benar-benar unggul. Bukan sumber daya manusia yang gampang percaya pada berita hoax. Bukan pula sumber daya manusia yang berpikiran pendek.

Jika memang saat ini telah memasuki disruption era, maka mari kita cari cara lain untuk mendapatkan uang melalui platform digital. Misalkan kita dapat berjualan atau bisnis toko secara online, menjadi guru les atau mengajar secara online, menjadi content creator yang menghasilkan karya-karya edukatif, menjadi freelance writer, menjadi seorang reseller online, menjadi designer grafis lepas, dan banyak pekerjaan lain yang menggunakan skill, bukan menghalalkan segala cara demi mendapatkan uang secara instan. Sejatinya tidak ada pekerjaan yang mudah atau pekerjaan tanpa pengorbanan dengan bayaran yang tinggi. Kita bersekolah sejak TK hingga menjadi sarjana merupakan proses penggemblengan diri, agar ketika lulus nanti kita telah memiliki bekal kompetensi dan skill untuk digunakan dalam dunia kerja. 

Penulis : Fatimah Alya

Editor: Tim Redaksi LPM PRIMA FISIP

Sarana Dan Prasarana FISIP: Ada Perkembangan Atau Stagnan

LPM PRIMA- Berbicara tentangpermasalahan yang ada di kampus, memang tak luput dari sarana dan prasarana yang kurang maksimal diberikan oleh pihak kampus, tak terkecuali FISIP. berbagai keluhan dilontarkan mahasiswa terkait prasarana yang kurang memadai sehingga berdampak pada keefektifan proses belajar-mengajar di lingkup Fakultas. bukan tanpa aksi nyata, beberapa bulan lalu, Aliansi Gerakan Mahasiswa FISIP SOLID yang berisikan mamahasiswa FISIP dari berbagai Organisasi Mahasiswa (ORMAWA) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) FISIP telah melaksanakan Audiensi dengan Dekanat untuk menuntut perbaikan sarana dan prasarana Fakultas. Hal ini bukan tanpa alasan, kami meyakini Sarana dan prasarana yang memadai akan berpengaruh terhadap keefektifan segala bentuk aktivitas didalamnya. 

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan pada 18 November 2022 terhadap beberapa mahasiswa FISIP mengenai kepuasaan akan sarana dan prasarana. Semua dari mereka mengeluhkan terkait sarana dan prasarana yang belum memadai dan masih banyak evaluasi yang perlu dilakukan.

"Saya merasa tidak nyaman dengan salah satu fasilitas FISIP yaitu TSW (Taman Super WIFI), lantai retak seringkali membuat saya terjatuh ketika hujan, dan penerangan yang kurang memadai ketika malam hari menjadikan FISIP terlihat menyeramkan. Selanjutnya, sampah yang berserakan karena minimnya tempat sampah di TSW, tidak mengenakan mata. Tidak hanya itu, kondisi miris juga dapat dilihat dari kursi ruang kelas yang tidak diganti selama bertahun-tahun." Ujar Krisdian Tata, mahasiswa Kesejahteraan Sosial.

Untuk fasilitas lainnya, yang diperlukan oleh mahasiswa dan menjadi keluhan beberapa dosen yaitu tidak adanya tempat penitipan helm, sehingga ketika pembelajaran di dalam kelas, terdapat mahasiswa yang harus membawanya ke dalam kelas.

Ruang belajar atau perpustakaan yang tidak terlihat di area FISIP juga menjadi problem tersendiri bagi beberapa mahasiswa.

Adnino selaku anggota BEM FISIP mengungkapkan, "Dari pihak BEM sendiri sudah pernah memberikan tuntutan terhadap fakultas mengenai sarana dan prasarana. Namun, kami masih belum mekaukan Tindakan lanjut lagi dan mengkaji terkait hal tersebut."

Tuntutan yang disampaikan oleh pihak BEM telah membuahkan hasil berupa perbaikan beberapa ruang kelas dan tempat olahraga. Walaupun terlihat kurang maksimal.

Hal tersebut menciptakan sebuah statement yang diberikan mahasiswa mengenai berbagai harapan terkait kenyamanan dan kemaksimalan sarana dan prasarana di FISIP.

"Semoga bisa terus melakukan renovasi secara bertahap, sehingga menciptakan kondisi yang nyaman dan lebih layak lagi. Terutama pada ruang kelas, yang mana merupakan tempat pembelajaran bagi mahasiswa. Karena ketika belajar, kami membutuhkan tempat yang kondusif dan nyaman." Jelas Maiguna, salah satu mahasiswa Administrasi Bisnis.

Harapan lain juga disampaikan oleh Nabila, seorang mahasiswa Sosiologi, "Harapannya, semoga pihak fakultas bisa lebih fokus terhadap perbaikan fasilitas yang ada di FISIP." Ujarnya.

Banyak harapan, doa dan semoga-semoga yang tidak dapat ditulis namun letaknya beriringan dengan aksi nyata.

Barangkali didengar, segala bentuk perbaikan terhadap sarana dan prasarana, selalu menjadi hal yang dinantikan oleh seluruh penghuni FISIP, khususnya mahasiswa. (Bagus Kurniawan)

Sarana Dan Prasarana FISIP: Ada Perkembangan Atau Stagnan

LPM PRIMA- berbicara terkait permasalahan yang ada di kampus, memang tak luput dari sarana dan prasarana yang kurang maksimal diberikan oleh pihak kampus, tak terkecuali FISIP. berbagai keluhan dilontarkan mahasiswa terkait prasarana yang kurang memadai sehingga berdampak pada keefektifan proses belajar-mengajar di lingkup Fakultas. bukan tanpa aksi nyata, beberapa bulan lalu, Aliansi Gerakan Mahasiswa FISIP SOLID yang berisikan mamahasiswa FISIP dari berbagai Organisasi Mahasiswa (ORMAWA) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) FISIP telah melaksanakan Audiensi dengan Dekanat untuk menuntut perbaikan sarana dan prasarana Fakultas. Hal ini bukan tanpa alasan, kami meyakini Sarana dan prasarana yang memadai akan berpengaruh terhadap keefektifan segala bentuk aktivitas didalamnya. 

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan pada 18 November 2022 terhadap beberapa mahasiswa FISIP mengenai kepuasaan akan sarana dan prasarana. Semua dari mereka mengeluhkan terkait sarana dan prasarana yang belum memadai dan masih banyak evaluasi yang perlu dilakukan.

"Saya merasa tidak nyaman dengan salah satu fasilitas FISIP yaitu TSW (Taman Super WIFI), lantai retak seringkali membuat saya terjatuh ketika hujan, dan penerangan yang kurang memadai ketika malam hari menjadikan FISIP terlihat menyeramkan. Selanjutnya, sampah yang berserakan karena minimnya tempat sampah di TSW, tidak mengenakan mata. Tidak hanya itu, kondisi miris juga dapat dilihat dari kursi ruang kelas yang tidak diganti selama bertahun-tahun." Ujar Krisdian Tata, mahasiswa Kesejahteraan Sosial.

Untuk fasilitas lainnya, yang diperlukan oleh mahasiswa dan menjadi keluhan beberapa dosen yaitu tidak adanya tempat penitipan helm, sehingga ketika pembelajaran di dalam kelas, terdapat mahasiswa yang harus membawanya ke dalam kelas.

Ruang belajar atau perpustakaan yang tidak terlihat di area FISIP juga menjadi problem tersendiri bagi beberapa mahasiswa.

Adnino selaku anggota BEM FISIP mengungkapkan, "Dari pihak BEM sendiri sudah pernah memberikan tuntutan terhadap fakultas mengenai sarana dan prasarana. Namun, kami masih belum mekaukan Tindakan lanjut lagi dan mengkaji terkait hal tersebut."

Tuntutan yang disampaikan oleh pihak BEM telah membuahkan hasil berupa perbaikan beberapa ruang kelas dan tempat olahraga. Walaupun terlihat kurang maksimal.

Hal tersebut menciptakan sebuah statement yang diberikan mahasiswa mengenai berbagai harapan terkait kenyamanan dan kemaksimalan sarana dan prasarana di FISIP.

"Semoga bisa terus melakukan renovasi secara bertahap, sehingga menciptakan kondisi yang nyaman dan lebih layak lagi. Terutama pada ruang kelas, yang mana merupakan tempat pembelajaran bagi mahasiswa. Karena ketika belajar, kami membutuhkan tempat yang kondusif dan nyaman." Jelas Maiguna, salah satu mahasiswa Administrasi Bisnis.

Harapan lain juga disampaikan oleh Nabila, seorang mahasiswa Sosiologi, "Harapannya, semoga pihak fakultas bisa lebih fokus terhadap perbaikan fasilitas yang ada di FISIP." Ujarnya.

Banyak harapan, doa dan semoga-semoga yang tidak dapat ditulis namun letaknya beriringan dengan aksi nyata.

Barangkali didengar, segala bentuk perbaikan terhadap sarana dan prasarana, selalu menjadi hal yang dinantikan oleh seluruh penghuni FISIP, khususnya mahasiswa. (Bagus Kurniawan)