Aku menyebutnya September Hitam.
Bulan dengan tanda tanya yang bahkan aku sendiri tidak pernah tahu jika dalam sebuah kesunyian terdapat beberapa peristiwa kelam.
Berbicara dengan suara lantang, banyak sekali peristiwa menyedihkan yang bahkan sampai sekarang tidak menemukan sebuah penyelesaian.
Membicarakan Keadilan? Keadilan seperti apa yang pemerintah inginkan?
Membicarakan Hak Asasi Manusia? Hak mana yang akan diperjuangkan setiap individu yang tertindas dan hak mana yang akan dijaga dengan aturan yang katanya mengikat, tapi pada kenyataannya hal itu hanya berpihak.
Mengedepankan kebijakan? Tidak, banyak sekali adanya pembungkaman!
Menceritakan kebenaran? Tidak, semuanya penuh kebohongan!
Mengedepankan kepentingan suatu golongan, ya itu adalah jawabannya!
Mungkin seringkali kita melihat beberapa tulisan di media sosial tentang “September Hitam” dan bahkan dalam lingkungan umum juga seringkali kita mendengar kalimat “September Hitam”.
Arti dari September Hitam merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk memperingati beberapa peristiwa kelam dalam sebuah tragedi kemanusiaan yang bisa dikatakan sangat berhubungan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Beberapa kasus yang harusnya bisa ditemukan penyelesaiannya, tapi pada kenyataannya malah berbanding terbalik bahkan sampai termakan oleh derasnya laju waktu.
Membicarakan tanggung jawab terhadap kasus pelanggaran HAM atau adanya sebuah ketidakadilan yang dilakukan oleh suatu golongan, harus-lah kita mendesak pemerintah untuk menyelesaikan dan memberikan sebuah titik terang dari beberapa peristiwa kelam dalam kasus pelanggaran HAM dengan melihat aspek kebenaran secara keseluruhan.
Dalam tulisan ini, saya akan sedikit membahas beberapa kasus perihal kurangnya keadilan dan kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh suatu golongan karena memiliki kepentingan tertentu dan sampai saat ini bisa dikatakan kasus yang tidak terselesaikan.
- Pembunuhan Munir Said Thalib (7 September 2004)
Kasus pembunuhan Munir Said Thalib sampai saat ini merupakan sebuah kasus yang bisa dikatakan sebagai kasus kelam dalam sejarah Indonesia dan sangat identik dengan peringatan peristiwa September Hitam. Munir merupakan seorang individu yang bisa dikatakan sebagai aktivis di bidang pembelaan terhadao Hak Asasi Manusia.
Peristiwa ini menjadi aneh ketika Munir meninggal dalam keadaan mengenaskan yaitu diracun dengan arsenic yang mengandung dosis sangat tinggi ketika sedang melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Amsterdam. Saat proses upaya penuntasan kematian Munir, hanya Pollycarpus yang merupakan eksekutor dalam proses pembunuhan Munir. Namum, yang menjadi tabu atau masih belum terselesaikan ketika tokoh utama atau otak pembunuhan Munir masih belum ditemukan dan kasus ini bisa dikatakan belum bisa terselesaikan.
- Tragedi Tanjung Priok (12 September 1984)
Pada peristiwa ini, telah terjadi adanya bentrokan antara tentara dengan warga sipil yang berakibat puluhan warga yang menjadi korban dan tewas. Hal ini terjadi ketika ada seorang tentara yang memasuki Masjid As-Sa’adah di Tanjung Priok namun tidak melepas sepatunya dengan tujuan untuk mencopot spanduk yang mengkritik pemerintah pada waktu itu. Hal ini tentu saja membuat warga marah dan bentrokan tidak dapat dihindari.
Seringkali kita mengetahui bahwa pemerintah pada masa orde baru bisa dikatakan pemerintah anti kritik, dari kasus ini bisa dilihat bahwa adanya perilaku tidak terpuji mengenai pentingnya menghargai aturan dalam rumah ibadah yang dimana tempat ini merupakan tempat suci. Jika melihat dari sudut pandang negatif, tentara jelas salah, karena mereka tidak melepas alas sepatu yang dimana Masjid sendiri memiliki batas suci. Jika kita melihat dari sudut pandang positif, ya memang mereka hanya sebagai alat pemerintah yang hanya menjalankan pemerintah. Dari hal ini, warga juga berhak memberikan kritikan terhadap pemerintah tanpa adanya batasan yang terlalu mengikat bahkan untuk melakukan pembelaan jika ada suatu golongan yang menyalahi aturan keagamaan.
- Tragedi Semanggi II (24 September 1999)
Tragedi Semanggi dimulai ketika ada mahasiwa yang melakukan aksi demo dalam rangka penolakan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan upaya mendesak pemerintah dalam mencabut Dwi Fungsi ABRI. Dalam peristiwa ini, ABRI melakukan upaya pertahanan terhadap aksi yang dilakukan oleh mahasiswa. Pada saat terjadi kericuhan, kejadian ini menewaskan 12 orang dan 217 orang mengalami luka-luka akibat dari aksi kericuhan dari dua belah pihak.
- Reformasi Dikorupsi (24 September 2019)
Pada tahun 2019, tepatnya di tanggal 24 September, ada ribuan mahasiswa dari berbagai daerah yang bisa dikatakan sebagai aliansi berbondong-bondong untuk menyerukan aksi terkait Omnibus Law dan Kumpulan RUU yang bermasalah di depan Gedung DPR RI.
Kegiatan yang dilakukan oleh mahasiwa ini mendapatkan tindakan yang represif atau upaya mengekang dan menahan dari pihak aparat keamanan sampai memakan 5 korban dari massa yang berdemo waktu itu. Dari berbagai video yang bermunculan di media sosial, banyak sekali terlihat pihak aparat memukul, menendang dan menyiramkan gas air mata kepada mahasiwa yang melakukan gerakan demo di depan Gedung DPR RI.
- Wafatnya Salim Kancil (26 September 2015)
Salim Kancil merupakan seorang petani dan bisa dikatakan sebagai aktivis lingkungan yang berasal dari Lumajang. Beliau menjadi salah satu korban dari adanya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh suatu golongan tertentu. Beliau meninggal karena mendapatkan penaniayaan dari preman pada waktu itu. Hal ini didasari karena Salim Kancil menolak keras adanya tambang pasir ilegal pada daerah tempat tinggalnya.
Tambang ilegal sendiri merupakan bagian dari kegiatan yang dilakukan tanpa izin oleh negara atau lembaga tertentu. Biasanya penambangan yang terjadi ini tanpa adanya izin penambangan dalam mengesplorasi sumber daya pada daerah tertentu. Hal ini merupakan kasus yang sampai sekarang masih belum bisa diselesaikan oleh pemerintah. Bahkan masih banyak sekali kejadian tambang ilegal yang sangat merugikan beberapa pihak yang memiliki wilayah atas hak milik secara pribadi.
- Peristiwa G 30 S PKI (30 September 1965)
Peristiwa ini dilatar belakangi oleh suatu gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh PKI dengan cara menculik perwira tinggi tentara negara Indonesia. Gerakan yang dilakukan oleh PKI ini memiliki tujuan untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno dan sebagai upaya mengubah Indonesia menjadi negara yang memiliki ideologi sebagai komunis.
Dalam peristiwa kelam ini, para anggota PKI menewaskan 6 Jendral dan 1 Perwira yang terdiri dari:
- Jenderal Ahmad Yani.
- Letnan Jenderal R. Suprapto.
- Mayor Jenderal M.T. Haryono.
- Letnan Jenderal S. Parman.
- Mayor Jenderal D.I. Panjaitan.
- Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo.
- Kapten Pierre Andreas Tendean.
Yang menjadikan peristiwa G 30 S PKI menjadi sangat kejam adalah mayat dari korban pembunuhan dimasukkan ke dalam sumur kecil yang biasa disebut Lubang Buaya.
Hal ini tidak berhenti di pembunuhan 6 Jendral dan 1 Perwira saja, namun juga ada pembataian masyarakat secara massal untuk melawan PKI tahun1965 sampai 1966. Dibawah naungan Soeharto, beliau menyusun sebuah rencana untuk pembantaian atau membasmi orang yang berhubungan dengan PKI. Ketika pembunuhan ini berlangsung kurang lebih selama 1 tahun, bisa diperkirakan sekitar satu juta lebih orang yang dianggap oleh Soeharto sebagai kelompok yang berkaitan dengan PKI.
Dalam memperingati September Hitam ini, mari kita sebagai mahasiswa dan masyarakat yang masih bisa menggunakan akal sehat kita dalam berpikir untuk tetap mengenang kejadian di bulan September ini sebagai bentuk dukungan terhadap korban yang tidak bisa mendapatkan HAM secara benar, utuh dan menyeluruh.
Melalui refleksi dari narasi singkat dan beberapa peristiwa yang sudah penulis bahas, penulis berharap para pembaca bisa memahami sejarah dan menjadikan hal tersebut sebagai pelajaran agar peristiwa yang terjadi tidak terulang kembali di masa depan.
Penulis: Yoga Parulian Pangabean
Editor: Tim redaksi