Oleh : Farhan Surya Indarta
Hari ini cuaca cerah, matahari memancarkan sinar cahayanya yang begitu terang dan terik seakan tersenyum. Aku selalu bersemangat ketika bel sekolah berbunyi tanda pembelajaran sudah berakhir. Seperti biasanya aku pulang sekolah berjalan kaki menyusuri jalan sambil bersenandung dan mengamati orang-orang disekitar yang sedang melakukan aktivitasnya masing-masing. Memang lelah rasanya, tetapi langkah kakiku begitu ringan karena sudah terbiasa berjalan kaki sejuh 2 km setiap harinya.
......
“Assalamualaikum, ibu !” Panggilku bersemangat.
“Waalaikumsalam nak, bagaimana perasaanmu sekolah hari pertama setelah libur semester selama 2 minggu?” Tanya ibuku.
“Senang sekali bu, tadi ibu guru yang mengajarku sangat ramah sekali. Beliau begitu telaten mengajariku dan teman-teman lainnya yang kesulitan dalam memahami materi.” Ceritaku dengan penuh semangat.
“Alhamdulillah kalau kamu senang, yaudah sana makan siang dulu ibu tadi sudah masak tempe penyet kesukaanmu.” Suruh ibuku.
“Baik bu.” Jawabku sambil bergegas menuju meja makan.
Sore harinya setelah tidur siang aku minta izin ibu untuk pergi bermain bola di lapangan karena kemarin sudah janji dengan Joko, teman bermain di rumah yang sepantaran denganku tetapi beda sekolah.
“Bu, aku izin pergi main dulu ya?” tanyaku sambil memohon.
“Iya Dika, hati-hati ya. Ingat jangan pulang larut malam, jam 4 kamu sudah harus ada di rumah.” Jawab ibuku dengan nada yang agak tinggi
“Siap bu.”
Sebelum pergi ke lapangan aku terlebih dahulu ke rumah Joko yang tidak terlalu jauh dari rumahku.
“Assalamualaikum, Joko!” Seruku.
“Waalaikumsalam, eh nak Andika.” Jawab ibu joko.
“Iya, Jokonya ada bu?” Tanyaku kepada ibu Joko.
“Ada nak Dika, sebentar ibu panggilkan.”
“Joko.. Joko.. Joko! dicari nak Andika di depan” Panggil ibu Joko
“Iya bu.” Jawab Joko.
“Ayo Ko main bola di lapangan!” Ajakku kepada Joko
“Baiklah, sebentar aku mau ambil bola dulu ya.”
Aku dan Joko pun bergegas menuju lapangan. Setelah bermain bola cukup lama, aku dan Joko beristirahat sambil bersandar di bawah pohon besar yang berada di tepi lapangan sembari berbincang-bincang.
“Eh Dika, tidak terasa ya kita sekarang sudah kelas 5 SD.” Ujar Joko memulai perbincangan.
“Iya Ko, habis kelas 5 naik kelas 6 habis itu kita akan masuk SMP.” Jawabku sambil memejamkan mata dan menikmati hembusan angin yang sangat sejuk.
“Oh iya, rencana kamu nanti mau masuk SMP mana?” Tanya Joko.
“Sepertinya aku mau masuk SMP Wijaya, kamu tau sendiri kan Ko bagaimana kondisi perekonomian keluargaku.” Jawabku sambil menghela nafa panjang.
“Jangan gitu dong Dika, bagaimanapun keadaannya kita harus tetap bersyukur.” Jawab Joko memberi semangat.
“Iya Ko, bagaimanapun keadaannya aku sudah berjanji pada diriku sendiri kalau aku harus tetap sekolah sampai jenjang yang paling tinggi.” Jawabku sambil mengepalkan tangan dan mengangkatnya tinggi-tiggi.
“Nah gitu dong semangat.” Jawab Joko sambil tersenyum.
“Eh Ko, udah sore nih ayo pulang.” Ajakku sambil bergegas karena takut dimarahin ibu kalau pulangnya kesorean.
Sesampainya dirumah aku langsung mandi kemudian sholat ashar. Setelah selesai sholat aku bersama ibu menonton televisi di ruang tengah sambil menunggu ayah pulang kerja. Tak lama kemudian terdengar suara montor ayah.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Jawab ibu sambil membukakan pintu rumah.
“Andika dimana bu?” Tanya ayah kepada ibu.
“Ada di ruang tengah lagi nonton televisi” Jawab ibu sambil melepaskan jaket yang dipakai ayah.
Ayahku berprofesi sebagai tukang ojek, maka dari itu setiap hari beliau mengenakan jaket untuk melindungi tubuhnya yang tak lagi muda dari teriknya matahari dan guyuran air hujan.
“Andika!” Panggil ayah sambil menghampiriku di ruang tengah.
“Ayah!” Sautku sambil memeluk ayah erat-erat.
“Nak, jangan lama-lama ya nonton televisinya. Ingat, jangan lupa belajar yang rajin supaya apa yang kamu cita-citakan bisa terwujud.” Pesan ayahku.
“Siap komandan.” Jawabku sambil sikap hormat dan kemudian bergegas ke kamar untuk belajar.
Hari sudah semakin malam, aku mengakhiri belajarku dan bersiap untuk tidur. Sebelum aku tidur terlebih dahulu aku ke kamar mandi untuk menggosok gigi. Setiap kali aku mau ke kamar mandi aku selalu mendengar ayah batuk. Entah kenapa setiap malam tiba-tiba ayah sering sekali batuk, aku selalu bertanya-tanya dalam hati. Sampai akhirnya suatu ketika aku bertanya langsung kepada ibuku mengenai hal tersebut. Ibuku bilang kalau ayah hanya sakit batuk biasa saja dan akan reda kalau sudah minum obat dari warung. Tetapi aku merasa ada yang disembunyikan oleh ibuku.
.....
Karena aku sudah berjanji untuk menomersatukan pendidikan, kulalui hari-hari dengan senang hati. Hingga aku merasa memiliki sayap yang bisa membawaku kesana kemari dengan ringannya. Aku membayangkan kalau sayap yang kumiliki ini merupan perwujudan dari kedua orang tua yang selalu mendampingiku dan menjadi motivasi terbesarku untuk terus belajar agar bisa mencapai apapun yang aku cita-citakan.
“Andika Pratama, putra dari Bapak Sujono.”
Pembawa acara wisuda dengan lantangnya memanggil namaku. Tak terasa aku sudah purna dalam menempuh pendidikan selama 6 tahun di SD Utomo. Aku sangat senang dapat lulus dengan nilai tertiggi. Senyum lebar terpancar pada wajah kedua orang tuaku yayangelihatky menaiki panggung untuk diberi penghargaan karena telah lulus dengan nilai tertinggi.
.....
Aku melanjutkan jenjang pendidikan sekolah menengah pertama di SMP Wijaya walapun sekolah ini bukan termasuk sekolah favorit. Aku masuk SMP Wijaya karena menyesuaikan kondisi perekonomian keluargaku yang bisa dibilang pas-pasan. Selain itu, sekolah ini tidak terlau jauh dari rumah sehingga aku tidak menghabiskan terlalu banyak waktu untuk berjalan kaki pulang ke rumah agar bisa segera membantu ibu berjualan di pasar.
Setelah beberapa bulan masuk sekolah, wali kelasku Ibu Sundarsih memberithukan bahwa akan ada seleksi untuk mengikuti lomba olimpiade matematika tingkat kabupaten mewakili sekolah. Berhubung aku sangat suka dengan pelajaran matematika, begitu mendengar informasi tersebut aku langsung mendaftar dan mengikuti seleksi. Sebelum mengikuti seleksi aku mempersiapkan diri dengan belajar dengan sungguh-sungguh. Seringkali ibu mendapatiku tertidur di meja belajar dengan kondisi buku yang masih terbuka dan pena yang masih dalam genggaman.
“Dika!” Panggil ibuku lirih sambil mengusap kepalaku pelan berusaha membangunkanku.
“Iya bu.” Jawabku sambil merentangkan kedua tangan dan menguap.
“Kalau memang sudah benar-benar mengantuk tidurlah di tempat tidur nak, ini juga sudah larut malam.” Suruh ibuku.
“Baik bu.” Jamwabku sambil membereskan buku
Tiba saatnya seleksi berlangsung, dengan ucapan basmalah aku mulai mengerjakan soal-soal seleksi. Seleksi berjalan dengan lancar, beberapa hari kemudian hasil seleksi diumumkan di papan pengumuman. Aku terkejut dan merasa senang sekali karena namaku berada diposisi nomor 1 dan dinyatakan lolos seleksi dan berhak mengikuti lomba olimpiade matematika tingkat kabupaten mewakili sekolah. Aku langsung memberitahu kabar baik ini kepada ayah dan ibu setelah pulang sekolah.
“Ayah ibu, Andika punya kabar baik.” Kataku memulai obrolan.
“Kabar baik apa nak?” jawab serentak ayah dan ibu yang terlihat penasaran karena sebelumnya aku tidak memberitahu mereka kalau aku mengikuti seleksi olimpiade matematika.
“Mau tau aja atau mau tau banget?” Jawabku meledek.
“Kabar apa sih nak, ibu jadi tambah penasaran.” Jawab ibu sambil saling pandang dengan ayah.
“Andika berhasil lolos seleksi untuk mengikuti lomba olimpiade matematika tingkat kabupaten.” Jawabku sambil memeluk kedua orang tuaku.
“Alhamdulillah, kamu hebat nak. Ayah doakan kamu bisa menang dalam lomba olimpiade matemtika yang nantinya akan kamu ikuti.”
“Ibu juga akan terus mendoakanmu nak.” Saut ibu berkaca-kaca
“Terimakah yah, bu atas doanya, Dika janji akan berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan yang terbaik.”
.......
Aku berhasil menjadi juara 1 olimpiade matematika tingkat kabupaten berkat doa dari kedua orang tua dan juga usaha kerasku selam ini. Juara 1, 2, dan 3 olimpiade matematika tingkat kabupaten berhak untuk mengikuti olimpiade matematika tingkat provinsi. Aku sangat senang dan bersemangat menyambut olimpiade matematika tingkat provinsi yang akan berlangsung satu bulan lagi. Disamping mempersiapkan untuk mengikuti lomba olimpiade matematika tingkat provinsi aku juga tidak lupa dengan tugas-tugas sekolah yang diberikan oleh bapak ibu guru.
Aku benar-benar sudah berusaha semaksimal mungkin dan ku pasrahkan semuanya pada Allah SWT. Lagi-lagi alhamdulillah terucap, aku berhasil menjadi juara 1 lomba olimpiade matematika tingkat provinsi dan berhak mengikuti lomba olimpiade matematika tingkat nasional. Selama dua minggu aku dibimbing oleh Pak Sucipto selaku guru pengajar pelajaran matematika di sekolah untuk mempersiapkan mengikuti lomba. Selama bimbingan aku mendapatkan dispensasi untuk tidak mengikuti pelajaran dalam kelas selama dua minggu.
Saat lomba akan berlangsung aku benar-benar merasa sangat gugup dan kurang percaya diri. Pak Sucipto yang saat itu mendampingiku berusaha untuk menenangkanku.
“Andika jangan gugup ya, Pak Sucipto yakin kamu pasti bisa.”
“Iya pak, bismillah mudah-mudahan lombanya berjalan dengan lancar.”
“Aamiin.” Saut Pak Sucipto.
Lomba berakhir, aku dan Pak Sucipto cemas menunggu hasil lomba yang akan langsung diumumkan segera. Setelah 2 jam menunggu, akhirnya hasilnya diumumkan. Namaku disebut pertama kali dan dinobatkan sebagai pemenang lomba olimpiade matematika tingkat nasional dan mendapatkan beasiswa masuk SMA favorit. Ucapan hamdalah tak henti-hentinya ku ucapkan sambil memeluk Pak Sucipto yang menangis bangga kepadaku. Setelah acara berakhir aku diantar Pak Sucipto pulang ke rumah. Sesampainya di rumah entah kenapa raut wajah ibu terlihat sedih.
“Bu, ada apa?” Tanyaku penasaran.
“Ayah nak, ayah masuk rumah sakit.” Jawab ibu terbata-bata.
“Kok bisa bu? Sebenarnya ayah sakit apa?” Tanyaku semakin penasaran.
“Ayah sebenarnya sakit paru-paru.” Jawab ibu sambil meneteskan air mata.
“Jadi selama ini batuk yang dialami ayah itu sudah parah? Kenapa ibu baru cerita sekarang.” Sedikit kecewa.
“Maafin ibu nak, ibu merahasiakan ini karena biaya untuk berobat ayah itu mahal dan ibu takut kamu cemas.”
“Seharusnya ibu tidak perlu seperti itu.”
Aku dan ibu pergi ke rumah sakit untuk mengetahui kondisi ayah.
“Yah, bagaimana kondisi ayah sekarang?” Tanyaku sambil berkaca-kaca.
“Ayah baik-baik saja nak tidak usah khawatir.” Jawab ayah berusaha kuat dan baik-baik saja.
“Alhamdulillah, ayah sehat-sehat terus ya jangan sampai kecapean.”
“Iya nak.”
“Yah, bu sebenarnya aku mau memberitahukan sesuatu.”
“Ada apa nak?” Tanya ayah.
“Aku berhasil menang lomba olimpiade matematika tingkat nasional.” Jawabku sambil meneteskan air mata karena masih tidak menyangka.
“Alhamdulillah Ya Allah.” Ucap ibuku sambil sujud syukur.
“Ayah bangga nak padamu.” Sambil meneteskan air mata dan berusaha memelukku dengan kondisi yang masih lemas.
.....
Sungguh tak disangka aku bisa masuk SMA Bangsa yang merupakan slah satu sekolah favorit. Sekarang aku tidak perlu memikirkan lagi mengenai biaya sekolah, karena aku masuk sekolah favorit ini melalui beasiswa yang dIberikan saat aku berhasil menjadi juara pada lomba olimpiade matematika tingkat nasional.
Satu tahun telah ku lalui di SMA Bangsa, menginjak kelas 11 aku mencoba mendaftarkan diri untuk mengikuti OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). Setelah mengikuti berbagai tahapan seleksi, pada akhirnya aku terpilih untuk mengemban jabatan sebagai ketua OSIS. Disela-sela kesibukan sekolah dan juga kegiatan OSIS aku juga tidak lupa untuk membantu ibu berjualan di pasar. Dari hasil jualan inilah ibu bisa membayar biaya rumah sakit ayah yang masih dirawat. Aku juga memberikan sedikit tabunganku kepada ibu untuk tambahan membayar biaya rumah sakit ayah walaupun sedikit memaksa karena sebenarnya ibu tidak mau menerima uang pemberianku.
Aku juga menyempatkan menjenguk ayah ke rumah sakit beberapa kali ditengah-tengah kesibukanku disekolah.
“Yah, sudah waktunya makan siang ini Dika bawakan makanan kesukaan ayah.”
“Iya nak, terima kasih ya.” Jawab ayah sambil meraih sendok yang ku pegang.
“Biar Dika suapin aja yah.”
“Baik nak.”
“Ayah harus makan yang banyak ya, biar cepat sehat dan bisa kumpul bareng lagi di rumah.” Ucapku sambil menyuapi ayah.
“Ayah sudah sehat nak, kamu jangan cemas.” Saut ayah.
“Sebentar lagi Dika mau naik kelas 12, Dika mau nanti ayah sama ibu bisa menghadiri acara wisuda.”
“Iya nak, ayah janji pasti bisa cepat sembuh dan akan menghadiri acara wisuda bersama ibu.”
Satu periode masa jabatan sebagai ketua OSIS sudah berakhir. Ini adalah tahun terakhirku menempuh pendidikan di SMA Bangsa. Berbagai rangkaian ujian telah terlaksana dan terselesaikan, waktu wisudapun akan segera dilangsungkan.
Aku merasa senang karena tidak lama lagi akan diwisuda untuk yang ketiga kalinya setelah wisuda SD dan SMP. Namun, disisi lain aku juga merasa sedih karena kondisi ayah yang semakin hari semakin memburuk. Disini aku merasa salah satu dari sayapku terluka parah dan aku tidak bisa terbang jauh lagi.
Undangan wali murid untuk menghadiri acara wisuda telah dibagikan kepada setiap siswa. Sampai akhirnya tiba dimana akan dilangsungkannya wisuda ayah masih terbaring di rumah sakit. Walapun ayah sudah berjanji akan datang tapi aku memaklumi karena kondisi ayah yang tidak memungkinkan untuk bisa hadir dalam acara wisuda.
“Mutiara Citra Patmasari, putri dari Bapak Sugeng.”
“Wisudawan selanjutnya, Muhammad Faisal Malik, putra dari Bapak Maliki.”
Satu per satu nama siswa sudah dipanggil, tibalah giliran namaku dipanggil.
“Andika Pratama, putra dari Bapak Sujono.”
Aku pun berjalan menaiki panggung dengan raut wajah campur aduk, tersenyum tetapi juga ada rasa sedih karena ayah tidak bisa hadir dalam acara penting ini. Ketika menuruni panggung aku melihat ibu nampak sedang berbincang-bincang ditelepon sambil sesenggukan. Ku hampiri ibu dan bertanya.
“Kenapa bu?” Tanyaku panik.
“Ayahmu nak?” Jawab ibu sambil tak berhenti meneteskan air mata.
“Ayah kenapa bu?” Tanyanku semakin panik dan cemas.
“Barusan ibu mendapat telepon dari dokter kalau ayahmu sudah dinyatakan meninggal dunia.” Jawab ibu sambil gemetar
“Tidak mungkin bu, pasti ayah baik-baik saja kan? Ayah pasti segera sembuh kan bu? Pasti ibu salah dengar.” Sambil menangis.
“Tidak nak, dokter benar-benar mengatakan kalau ayahmu sudah meninggal dunia.”
“Ayah! Ayah!” teriakku sekencang-kencangnya
Aku dan ibu segera bergegas ke rumah sakit meninggalkan acara wisuda yang masih berlangsung. Sesampainya rumah sakit, ayah sudah terselimuti oleh kain kafan. Disitulah tangisan ibu dan tangisanku pecah sejadi-jadinya.
“Ayah bangun! Yah bangun!” Seruku sambil menggerak-gerakkan badan ayah.
“Sudah nak, ikhlaskan saja ayahmu. Doakan agar ayah mendapatkan tempat terbaik disisiNya.” Ibu mencoba menenangkanku sambil mengelus bahuku.
Kemudian jenazah ayah dibawa ke rumah menggunakan mobil ambulan rumah sakit. Sesampainya dirumah jenazah ayah disholatkan kemudian segera dimakamkan di TPU (Tempat Pemakaman Umum) terdekat.
Terhitung dua bulan ayah telah meninggalkanku dan ibu untuk selamanya. Masih terasa sulit untuk melepaskan ayah, tetapi aku percaya ini semua sudah menjadi suratan dari Sang Pencipta. Sayapku patah satu, yang dulunya aku bisa terbang kesana kemari sekarang untuk berjalan saja aku sempoyongan seperti tak punya tenaga. Aku benar-benar terpuruk dengan kepergian ayah.
Aku tidak mungkin membiarkan ibuku yang hampir menginjak kepala lima bekerja sendirian, aku putuskan untuk mencari pekerjaan dan mengubur sementara impianku yang ingin melanjutkan pendidikan lebih tinggi lagi di bangku perkuliahan. Lulusan SMA sepertiku mungkin nantinya tidak bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang tinggi, tetapi setidaknya aku bisa sedikit meringankan beban ibuku.
Aku diterima kerja di toko kelontong, setiap harinya aku harus menjaga toko tersebut hingga larut malam. Sebelum aku berangkat bekerja, setiap habis subuh aku membantu ibu untuk menyiapkan barang dagangan yang akan dijual di pasar. Mungkin seharusnya upah yang aku terima menyesuaikan jam kerjaku, tetapi realitanya upahku tak sebanding dengan lamanya aku bekerja. Meskipun begitu aku tetatap bersyukur menerima apa yang telah Allah SWT berikan kepadaku.
Semakin hari keadaan perekonomian keluargaku semakin memburuk karena lilitan beberapa hutang untuk tambahan biaya rumah sakit bapak dulu. Suatu ketika saat aku berangkat bekerja, aku melihat sosok laki-laki yang sudah lanjut usia menjajakan koran di lampu merah. Aku memanggil laki-laki itu dengan tujuan untuk membeli korannya.
“Pak! Pak!” Teriakku sambil melambaikan tangan kepadanya.
Sosok laki-laki itu menoleh dan menghampiriku di tepi jalan.
“Iya nak, ada apa ya?” Tanya laki-laki itu.
“Saya mau beli koran bapak.” Sambil menyodorkan uang yang sengaja kulebihkan.
“Wohh iya, ini nak korannya. Nak, ini uangnya kelebihan.” Ujar laki-laki itu.
“Tidak apa-apa pak, anggap saja itu rezeki dari Allah SWT.” Jawabku sambil menolak pengembalian dari laki-laki itu.
“Makasih ya nak. Maaf sebelumnya, ini dengan nak siapa ya?” Tanya laki-laki itu sambil mengajukan tangannya untuk bersalaman.
“Nama saya Andika pak, bapak sendiri namanya siapa?” Jawabku sambil bersalaman.
“Panggil saja Pak Sujiwo, saya lihat dari raut wajah nak Andika apa benar sedang ada masalah?” Ujar Pak Sujiwo yang seperti dapat membaca pikiranku.
“Iya pak.” Jawabku singkat sambil menundukkan kepala.
“Kalau nak Andika tidak keberatan, nak Andika bisa cerita ke bapak mungkin nanti bapak bisa memberikan solusi.”
“Baru beberapa bulan yang lalu saya ditinggal pergi selamaya oleh ayah saya, semenjak itu saya benar-benar terpuruk dan tidak tau lagi mau melakukan apa serta harus bagaimana?” Jawabku sambil menahan air mata.
“Apa ibunya nak Andika masih ada?”
“Masih pak, kenapa?” Tanyaku penasaran.
“Nak Andika, intinya kehidupan itu harus tetap berjalan bagaimanapun kondisi dan keadaannya. Kita harus tetap bersyukur dengan apa yang kita miliki saat ini. Nak Andika masih punya ibu, sudah sepatutnya kebahagian ibu nak Andika yang nomer satu. Nak Andika harus mencari dan menemukan cara bagaimana supaya ibu nak Andika selalu bahagai dalam kondisi apapun. Mungkin masalah nak Andika sekarang masih terbilang ringan karena Pak Jiwo dulu dilahirkan dalam keluarga yang terpecah, ayah dan ibu Pak Jiwo bercerai. Semenjak usia dua tahun Pak Jiwo dirawat dan dibesarkan oleh nenek hingga Pak Jiwo menemukan tambatan hati dan akhirnya menikah. Setelah usia 7 tahun pernikahan Pak Jiwo belum juga diberikan keturunan, dimana dalam berkeluarga itu yang dinanti-nantikan adalah seorang anak. Menginjak usia 8 tahun pernikahan istri Pak Jiwo mulai depresi karena permasalahan tersebut dan mulai menyalahkan diri sendiri serta yang paling parah ingin mengakhiri hidupnya. Tepat usia pernikahan ke 9 tahun, setelah pulang kerja Pak Jiwo mendapati istri Pak Jiwo gantung diri di pintu kamar. Kejadian itu juga membuat Pak Jiwo terpukul dan terpuruk. Semenjak meninggalnya istri Pak Jiwo, Pak Jiwo memutuskan tidak menikah lagi dan memilih untuk hidup sendiri. Seperti yang nak Andika bisa lihat sendiri, semangat Pak Jiwo saat ini masih membara setelah melewati masalah yang cukup berat dan juga usia yang tidak lagi muda.” Jawab Pak Jiwo panjang lebar.
Cerita Pak Jiwo membuat semangatku untuk melanjutkan kehidupan muncul lagi. Aku mulai mencari informasi mengenai beasiswa untuk kuliah melalui media cetak seperti koran, majalah, poster-poster di jalan hingga melaui media sosial. Aku juga menghubungi beberapa guru SMA untuk meminta bantuan agar aku diberitahu nantinya jika beliau-beliau mendapatakan informasi mengenai beasiswa untuk sekolah.
Beberapa hari kemudian setelah melakukan pencarian informasi beasiswa kuliah, Bu Sundarsih wali kelasku dulu waktu SMA menghubungiku dan memeberikan informasi terkait beasiswa masuk kuliah. Menurut informasi yang kudapatkan, beasiswa ini tidak hanya dapat digunakan untuk kuliah di dalam negeri tetapi juga dapat digunakan untuk kuliah di luar negeri. Aku segera mungkin mempersiapkan berkas-berkas yang butuhkan dan segera mendaftarkan diri. Untuk bisa mendapatkan beasiswa ini aku juga harus menempuh tes wawancara.
Satu minggu berlalu setelah aku mendaftar beasiswa. Pengumumanpun dikirim melalui email masing-masing. Beribu-ribu alhamdulillah ku ucapkan, aku dinyatakan lulus dari seleksi dan berhak mendapatkan beasiswa tersebut. Aku memberitahu ibu segara mengenai hal ini.
“Ibu!” Panggilku sambil sedikit berteriak.
“Iya nak, ada apa?”
“Ini lo bu, aku lolos seleksi beasiswa untuk kuliah.” Jawabku sambil memeluk erat ibu.
“Beneran nak?” Tanya ibu sekali lagi yang masih belum percaya.
“Iya bu, benar.”
“Ibu doakan kuliahmu nanti lancar, bisa mendapatkan nilai terbaik dan bisa lulus cepat.”
“Aamiin bu.” Sautku.
Terlihat jelas raut wajah ibu begitu sangat bahagia mendengar kabar baik dariku. Aku memutuskan menggunakan beasiwa itu untuk mendaftar kuliah di luar negeri dengan harapan bisa mendapatkan ilmu yang jauh lebih banyak dan beragam dan nantinya dapat dijadikan bekal untuk meningkatkan derajat ibu serta dapat selalu membahagiakan ibu. Sebenarnya berat meninggalkan ibu sendiri dirumah, tetapi aku benar-benar berjanji akan sungguh-sungguh dalam menempuh bangku perkuliahan agar bisa segera lulus dan kembali ke pelukan ibu.
Dengan ini, sayap patahku rasanya seperti kembali utuh dan aku bisa terbang lagi kesana kemari. Kembalinya sayapku membuatku tidak lagi merasakan beban dan aku akan terbang lebih tinggi lagi serta lebih jauh lagi untuk bisa menggapai semua yang telah aku cita-citakan. Tunggu aku bu, aku akan segera pulang dan juga akan mengajak ibu terbang bersamaku menuju kebahagiaan yang luar biasa.